Tuesday, October 24, 2017

Pendalaman Alkitab dari Kitab Habakuk 1:12-17

Bahan Pendalaman Alkitab
Habakuk 1:12-17

Pendahuluan
Sebelum kita mengarah kepada isi dari perikop yang akan saya bahas, izinkan saya untuk memberikan sedikit latarbelakang dari kitab Habakuk ini, meskipun memang sedikit informasi yang bisa kita dapatkan mengenai pribadi Nabi Habakuk. Habakuk adalah sebuah nama yang memang tidak diketahui secara jelas makna dan berasal dari bahasa apa. Banyak tafsiran yang muncul mengenai nama Habakuk ini sendiri, tetapi kita mengetahui dengan jelas bahwa Habakuk adalah seorang Nabi (1:1). Nabi Habakuk diperkirakan muncul pada zaman pemerintahan Yoyakim pada tahun 609 SM, dimana pada saat itu Yehuda masih berada dalam tekanan bangsa Mesir.[1] Habakuk dimungkinkan hidup hingga pada zaman dimana bangsa Kasdim (kata ini dahulu digunakan menunjuk kepada bangsa Babel[2]), mengalahkan Mesir pada perang di Karkemis pada tahun 605 SM. Oleh karena Mesir telah kalah, secara otomatis bangsa Yehuda pun kini jatuh ke tangan penguasa lainnya, yaitu bangsa Kasdim.[3]
Yoyakim sendiri memiliki kepemimpinan yang buruk dimata Allah (2 Raja-Raja 23 :37), dimana ia mempunyai tabiat kejahatan dan kemurtadan pada agama.[4] Dapat dimaklumi bahwa pada awal Kitab Habakuk (1: 1-4), Nabi mengarahkan kekesalan dan keluhannya kepada Allah mengenai tabiat pemimpinnya pada waktu itu yang menimbulkan ketidakadilan dan kejahatan (ini sudah disinggung pada PA minggu lalu). Namun, jawaban Allah (1: 5-11) menyatakan bahwa untuk membalas pemimpin Yehuda (Yoyakim) Allah akan mengirimkan bangsa Kasdim untuk menghukum Yehuda atas kejahatannya. Hal ini membuat Habakuk menjadi terkejut dan sekaligus bingung, sehingga pada perikop yang saya bahas pada hari ini, Habakuk mengungkapkan lagi keluhannya dan kebingungannya mengenai jawaban Allah atas keluhannya yang pertama (1:1-4).
Habakuk 1 : 12 -17 : Allah yang diam dan tidak adil!
Mengawali keluhannya yang kedua ini, Habakuk menyebut Allah sebagai Allah yang Kudus (ay. 12). Menurut Telnoni, penyebutan ini menunjukkan kedekatan sang Nabi dengan Allah, sehingga dengan hubungan yang dekat ini ia dapat mengungkapkan keluhan-keluhannya kepada Allah secara bebas.[5] Selain itu, dalam ayat 12 Habakuk juga memperlihatkan keyakinan dan kepercayaan yang dipunyainya dengan mengungkapkan kata tidak akan mati kami. Maria Eszenyei Szeles, juga menjelaskan hal yang sama bahwa ayat 12 (yang adalah nyanyian pujian Habakuk) memperlihatkan kepercayaan Habakuk terhadap Allah,[6] yaitu meskipun mereka dihukum, mereka tidak akan dibinasakan. Namun, tetap disini muncul kegelisahan Habakuk karena adanya bangsa Kasdim yang muncul dan akan menjadi alat Allah untuk menghukum Yehuda.
Kegelisahan dan kebingungan  yang dimiliki oleh Habakuk semakin jelas terlihat pada ayat ke 13. Di ayat ini dijelaskan mengenai pemahaman Habakuk akan Allah yang adalah suci (ini berasal dari tradisi Israel yang berakar pada tradisi Sinai[7]), sehingga IA tidak dapat dijangkau oleh manusia. Allah yang suci tentu secara etis tidak berkenan kepada orang jahat. Namun, dalam realita yang dihadapi oleh Habakuk, Allah ternyata berkenan kepada bangsa Kasdim yang jahat. Bahkan menjadikan bangsa itu menjadi alatnya untuk menghukum Yehuda. Cara Allah ini menjadi permasalahan dasar bagi Habakuk, karena menurutnya bangsa Kasdim tidaklah layak untuk menghukum mereka[8], sebab mereka lebih buruk dari Yehuda.
Saya disini melihat adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh Habakuk. Mengapa Allah malahan memandang (atau membangkitkan, kalau sesuai dengan ay. 6) bangsa Kasdim dan menjadikannya alat penghukum? Bahkan disini Habakuk merasa bahwa Allah hanya berdiam diri saja melihat orang jahat menelan orang benar (ay. 13). Atau bahkan bisa saja Allah yang mengarahkan agar orang-orang benar tersebut dimakan oleh orang jahat. Pada ay. 14 dijelaskan bahwa IA yang menjadikan manusia selayaknya ikan tanpa pemimpin sehingga mudah ditangkap oleh para musuhnya. Mereka diumpan dan diangkat dengan kail, bahkan mereka pun dikumpulkan dengan jala (ay.15). Ini dapat dipahami sebagai gambaran dari cara bangsa Kasdim ‘memakan’ Yehuda, dengan mengumpan (dalam hal politik) dan menjeratnya dengan kail (kekuasaannya), sehingga Yehuda akhirnya takluk di tangan bangsa Kasdim.[9]
Pada akhir ayat 15 hingga ayat 17, dituliskan bahwa bangsa Kasdim yang akan menjadi alat Allah menghukum Yehuda bersukaria dan bersorak-sorai, karena penghukuman yang dilakukannya untuk bangsa Yehuda.[10] Menanggapi pemahaman Telnoni, saya sendiri meragukan apakah bangsa Kasdim mengetahui bahwa mereka menjadi alat Allah dalam menghukum Yehuda (mungkin ini bisa didiskusikan dalam PA kelompok masing-masing). Dalam kesukariaan bangsa Kasdim, mereka melakukan persembahkan kurban untuk ‘jala’ dan ‘pukatnya’. Hal ini ditafsirkan sebagai sebuah kesombongan dalam diri bangsa Kasdim yang mengutamakan dan mendewakan kekuasaan dan kekuatannya.[11] Oleh karena kesombongan yang dimiliki oleh bangsa Kasdim, Habakuk menjadi semakin kesal, karena alat yang dipilih oleh Allah nyatanya tidak mengucapkan syukur kepada Allah itu sendiri. Melainkan mereka malahan mengucap syukur kepada kekuatan yang dimilikinya. Mereka membanggakan diri dan menjadi bersukacita dan bahkan menikmati kekayaan (ay. 17) yang mereka dapatkan melalui jarahan bangsa-bangsa taklukannya.
Penutup
Dalam membaca teks ini, saya selalu mengingat Film Silence  yang juga memperlihatkan bagaimana sikap Allah yang diam dan bungkam melihat umat Kristen di Jepang ditindas oleh pemerintahnya waktu itu. Keterdiaman Allah yang dirasakan oleh Habakuk, mungkin hampir sama dengan yang dialami dalam film ini (bedanya mungkin Yehuda dihukum, sedangkan dalam film Silence entah tujuan apa yang ingin dicapai Allah). Umat yang menderita terus menerus membuat sang Nabi berteriak kepada Allah. Terlebih lagi adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh sang Nabi, dengan alat yang dipakai Allah untuk menghukum mereka.
Namun, seringkali dalam melihat teks ini, seringkali kita sungkan dan takut untuk membaca secara jujur mengenai sikap Allah. Saya sendiri secara jujur memang melihat ketidakadilan Allah yang dilakukan-Nya terhadap kaum Yehuda. Konsep Allah yang Suci yang dimiliki umat, ternyata berbeda dengan pengalaman yang mereka alami. Allah dirasakan diam terhadap penindasan tersebut. Namun, saya sendiri meragukan, apakah Allah memang diam atau memang semua penindasan yang terjadi pada umat pilihanNya adalah ‘ulah’ sang Allah itu sendiri dengan alasan menghukum umatnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin saja kita sering merasakan keterdiaman Allah atas penderitaan kita. Apa tujuan Allah? Entahlah, bagi saya sendiri, ini masih menjadi  misteri dari Allah.


Hujan, 10 Oktober 2017
Kezia Tiaraleeosha Boru Tambunan 




[1] J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016. H. 6
[2] J.D. Douglas (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini; Jilid 1 A-L, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992. H. 524
[3] Prof. S. Widmoady Wahono, Ph.D, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. H. 152.
[4] Prof. S. Widmoady Wahono, Ph.D, Di Sini Kutemukan. H. 152
[5] J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk. H. 39
[6] Maria Eszenyei Szeles, Habakkuk and Zephaniah; Wrath and Mercy, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1987. H.24
[7] Baca J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk. H. 41
[8] Maria Eszenyei Szeles, Habakkuk and Zephaniah. H. 24
[9] Baca penjelasan ayat 15 dari,  J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk. H. 44-45
[10] J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk. H. 44
[11] J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk. H. 46



Tanggapan atas Bahan PA yang Disajikan oleh Kezia T Tambunan
Habakuk 1:12-17

Habakuk: Kenabian, Waktu dan Nama
Saya tidak keberatan dengan latar belakang singkat dan materi yang telah dipaparkan Kezia, namun saya ingin menambahkan beberapa hal menarik untuk memperkaya pembacaan kita atas teks Habakuk ini.  Saya berusaha agar tanggapan ini tidak menjadi materi tandingan, namun menjadi pelengkap dialogis yang mewarnai keseruan kita dalam membaca Habakuk.

Hal yang pertama adalah kesimpulan yang ditarik Kezia di awal, bahwa Habakuk adalah seorang Nabi (1:1). Dalam tradisi apokrif, nama Habakuk juga disebut dalam Tambahan-tambahan pada Kitab Daniel 14:33-39. Habakuk diceritakan sebagai nabi di Yudea yang baru saja selesai memasak bubur dan memotong-motong roti bagi para pekerja di ladang, tiba-tiba seorang malaikat datang padanya dan menyuruhnya ke Babel (padahal jauh banget tuh!) untuk memberikan makanan itu pada Daniel yang sedang ada dalam gua singa. Habakuk rupanya agak keberatan dengan tugas itu, ia beralasan bahwa ia belum pernah ke Babel dan juga gak tahu dimana gua itu (maklum, belum ada GPS). Sang malaikat lalu memegang Habakuk di ubun-ubunnya, rambutnya “dijambak” dan ia diangkat secepat kilat menuju ke gua singa tempat dimana Daniel berada. Setelah selesai memberikan makanan, Habakuk langsung kembali ke tempat dimana ia berada. Narasi apokrif ini jelas tak dapat dijadikan rujukan untuk menentukan masa pelayanan Habakuk (mengingat tokoh Daniel juga tidaklah riil), namun penyebutan namanya di tulisan yang jauh lebih muda ini sering dipakai untuk memberi bukti tentang kenabiannya. Namun, apakah Habakuk yang dimaksud dalam Tambahan Kitab Daniel adalah Habakuk yang sama dengan yang kita bicarakan nampaknya perlu didiskusikan lebih lanjut. Menurut Szeles, psl 2:1-5 menjelaskan “model” kenabian Habakuk dengan lebih detil. Habakuk digambarkan sebagai bukan hanya juru bicara Tuhan, namun ia adalah nabi yang melihat berbagai penglihatan (visions)  dan sekaligus mendengar suara Tuhan (oracles).[1] Sampai di sini kita bisa melihat bahwa Habakuk adalah nabi yang memiliki hubungan unik dengan Tuhan.

Hal menarik yang kedua adalah perkiraan waktu kiprah Nabi Habakuk. Kezia memilih tahun 609 SM sebagai kemunculan Habakuk. Menarik, karena tahun yang dipilih Kezia adalah sebelum Babel menaklukkan Yehuda (597 SM). Namun mari mengingat penjelasan Pak DKL saat menanggapi Gilbert beberapa minggu lalu (ehkok kebetulan ya?), bahwa baru pada tahun 612 SM Babilonia bersama sekutunya berhasil menumbangkan Asiria dan sejak itu ia menjelma menjadi kekuatan besar yang baru. Jadi, jika Kezia berpendapat bahwa Habakuk muncul tahun 609 SM, ya masuk akal! Karena di tahun-tahun itulah Babilonia (Kasdim) berkembang pesat dan bersifat sangat ekspansif. Kerajaan semungil Yehuda hanya menunggu waktu saja untuk dihajar Kasdim.

Selanjutnya adalah perihal nama (karena nama selalu memuat arti dan persepsi tertentu), dalam LXX, Habakuk diterjemahkan sebagai ambakoum yang nampaknya berasal dari akar kata hbq yang berarti: embrace, comprehend, enfold, clasp to the heart. Arti kata “hbq” nampaknya diidentikkan dengan sesuatu yang dekat, melekat dan erat. Menurut Szeles, secara etimologis nama Habakuk dapat ditafsirkan dengan dua kemungkinan, yang pertama dapat ditafsirkan sebagai nabi yang perasaannya amat dalam terlibat bersama bangsa yang sedang menderita. Kemungkinan tafsir yang kedua adalah nama Habakuk menggambarkan hubungan yang sangat dekat dan intim antara sang nabi dengan Tuhan, dimana ia berani mengeluh dan menantang Tuhan. Di bagian-bagian tertentu dalam kitab ini, terasa pula bahwa sang nabi bahkan bertarung dan bergulat dengan Tuhan.[2] Sekali lagi, kita menemukan konfirmasi hubungan unik antara Tuhan dan Habakuk. Menurut saya, kitab ini harus dibaca dengan sebuah kesadaran bahwa Habakuk memiliki hubungan unik dan intim dengan Tuhan.


Keluhan Kedua
Dalam hubungan yang sangat dekat itulah, Habakuk tidak sungkan untuk kembali mengutarakan keluhan untuk kedua kalinya (bahan PA yang dibahas dua minggu lalu adalah keluhan pertama Habakuk) dalam psl. 1:12-17 ini. Keluhan ini agak berbeda dengan keluhan pertama yang mengesankan ketidaksabaran, keputusasaan dan rasa diabaikan. Kali ini, Habakuk menyampaikan keluhannya dengan kesadaran bahwa ia sedang didengar Tuhan. Saya setuju saat Kezia menyebut bahwa ay.12-13 adalah ungkapan kepercayaan sekaligus kegelisahan Habakuk atas Bangsa Kasdim. Tapi, yang jadi pusat kegelisahan dan kegusaran Habakuk bukan Kasdim melainkan TUHAN.  Habakuk seakan menyindir TUHAN yang disebutnya sebagai Allah Yang Mahakudus” (ay.12) dan yang mata-Nya terlalu suci untuk melihat kejahatan (ay.13), namun membiarkan orang fasik (Kasdim) menelan orang yang lebih benar (Yehuda -meskipun sama fasiknya). Sekali lagi perlu kita ingat bahwa sindiran ini dilontarkan dalam hubungan dekat antara Habakuk-Tuhan. Kegusaran Habakuk pada Tuhan lebih diakibatkan karena ia merasa mengenal Tuhan dengan baik, sehingga tak masuk akal baginya jika Tuhan mengeksekusi Yehuda dengan anomali macam ini.

Ay.13-15 telah dijelaskan Kezia dengan baik, namun saya ingin menambahkan bahwa bagian ini adalah refleksi Habakuk mengenai situasi historisnya.[3] Tuhan disebut sebagai pencipta manusia, namun Habakuk menyatakan bahwa Tuhan jugalah yang membiarkan manusia bak ikan dan binatang melata yang sama sekali tak mampu mempertahankan dirinya dihadapan kail dan pukat. Demikianlah Sang Pencipta membiarkan mahkota ciptaan setara dengan mahluk melata.
Ay.16 menggambarkan kadar kefasikan Kasdim (yang menurut Habakuk lebih parah tinimbang Yehuda) yang menuhankan keberhasilan dan kekuatannya (bnd. Ay.11). Keluhan Habakuk lalu berpuncak di ay.17 (yang sayangnya tidak dibahas Kezia dengan cukup dalam) dalam bentuk pertanyaan yang mendalam. Berbeda dengan pertanyaannya di ay.2 yang merujuk hanya pada penindasan yang dilakukan Yehuda, pertanyaan kali ini lebih universal dan esensial. Habakuk bertanya, apakah kekuasaan manusia akan selalu berujung pada pedang yang membunuh tanpa belas kasih? Pertanyaan (yang isinya adalah gugatan) ini dengan jelas menunjukkan bahwa Habakuk lebih membela kemanusiaan ketimbang “ke-Tuhan-an”.

Refleksi
Pertanyaan puncak Habakuk memang diajukan dalam konteks kefasikan Kasdim, namun menurut saya ini pun masih berlaku bagi jaman ini. Apalagi minggu lalu kita sebagai rakyat (dan simpatisan) DIY punya Gubernur “baru”, dan hari ini DKI juga punya pemimpin baru. Mereka-lah para pejabat yang memiliki kuasa. Pertanyaan (tambahan) untuk kita refleksikan bersama adalah: apakah benar kekuasaan akan selalu membuat manusia kehilangan belas kasihnya? Ingat bahwa dalam kadar tertentu, setiap kita juga punya kuasa. Entah kita sebagai dosen, sebagai pacar, sebagai ketua angkatan, dll. Apakah kekuasaan akan membutakan kita?
(Jelang Malang-Rhe)




[1] Maria Eszenyei Szeles, Habakuk and Zephaniah: Wrath and Mercy, Michigan: Grand Rapids, 1987, h. 5-6
[2] Ibid.
[3] Ibid, h. 24

Sunday, October 22, 2017

Siapa Sebenarnya Muhammad itu..?

Muhammad

Dalam paper ini, kelompok ingin menanggapi paper dari kelompok I yang membahas tentang kehidupan Muhammad sekaligus memberi tambahan informasi dari sudut pandang yang lain. Kelompok juga sekaligus memberi tanggapan terhadap tulisan dari buku-buku yang menjadi acuan kelompok dalam penulisan paper ini dan sekaligus mencoba mendialogkan tanggapan-tanggapan para penulis dari buku-buku acuan tersebut. Kelompok akan mencoba membahas lebih banyak perihal Nabi Muhammad dari sudut spiritualitas umat Islam memandangnya pasca wafatnya. Karena itu paper ini akan dibagi ke dalam dua bab besar yaitu kehidupan Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad Pasca Wafat. Semoga melalui paper ini kita dapat memiliki pengenalan yang lebih mendalam terhadap sosok Nabi Muhammad.


Kehidupan Nabi Muhammad
a.      Kelahiran Muhammad
Nabi Muhammad merupakan kalangan Bani Hasyim dari keluarga besar Quraisy yang – seperti disebutkan oleh kelompok I – diyakini lahir pada sekitar tahun 570 M, namun menurut perhitungan M. Hamidullah, Nabi Muhammad lahir tepatnya pada bulan Juni 569 M.[1] Dalam perkembangannya, kisah hidup Muhammad sepertinya mendapat banyak kisah-kisah ajaib di dalam tradisi Islam. Menurut Schimmel, ada tradisi penuturan Muslim yang berkembang yang mengatakan bahwa pada hari kelahiran Muhammad ada suatu kejadian yang diyakini sebagai mukjizat pertama Nabi Muhammad yaitu tercerai-berainya sekelompok pasukan asing yang sedang mengepung kota Mekah disaat Nabi Muhammad lahir. Selain itu, ada juga kisah yang mengatakan bahwa ketika Muhammad diasuh oleh Halimah, keledai Halimah yang sudah tua dan sangat kelelahan tiba-tiba menjadi lincah dan segar ketika ditunggangi oleh Muhammad. Kisah ini dipercaya sebagai salah satu tanda awal dari keagungan masa depan Muhammad.[2]
Dalam buku yang ditulis oleh Schimmel ini, kita akan mendapati banyak sekali cerita-cerita mukjizat yang mengiringi perjalanan hidup Nabi Muhammad. Para penyair-sufi pun banyak menulis puji-pujian mereka terhadap sosok Nabi Muhammad  dan juga terhadap sosok orang-orang yang dekat dengan Muhammad seperti Aminah (ibu Muhammad), Khadijah (istri pertama Muhammad), Bilal (budak asal Ethiopia yang ditebus dan memeluk Islam), dan lainnya. Schimmel mengatakan bahwa semua hal ini dapat kita lihat sekaligus sebagai ungkapan yang menunjukkan bagaimana masyarakat memandang sosok Nabi Muhammad. Sehingga melalui tulisan-tulisan puisi dan legenda-legenda yang muncul tentang kisah hidup Nabi Muhammad seperti yang sudah disebutkan diatas pun kita dapat karisma seorang pemimpin sejati dari seorang Nabi Muhammad dengan lebih baik dibandingkan dengan fakta-fakta historisnya.[3]
b.      Kenabian Muhammad
Seperti dituliskan oleh Kelompok I, Nabi Muhammad mendapatkan wahyu pertamanya di Gua Hira yang memerintahkannya untuk “membaca” (QS Al-‘Alaq, [96]: 1-5). Sebagai tambahan, Nabi Muhammad mengalami masa “kekeringan spiritual” setelahnya yang membuat ia ingin menerjunkan di dari Gunung Hira. Selain itu,  Nabi Muhammad juga diriwayatkan sering menderita ketika wahyu diturunkan kepadanya dengan berbagai gejala seperti unta yang menjadi gelisah dan berjongkok, dan wahyu yang datang bagai suara lonceng  yang merupakan cara turunnya wahyu yang paling menyakitkan bagi Muhammad.[4]
Mengenai kehidupan keagamaan di Mekah, Schimmel menuliskan bahwa kita dapat mengabaikan kemungkinan adanya pengaruh kuat agama Kristen-Yahudi pada gagasan-gagasan penduduk Mekah. Bahkan muncul spekulasi bahwa gamba-gambar dan patung-patung yang dikeramatkan di Ka’bah mungkin saja berupa ikon-ikon Kristen, karena dilaporkan bahwa ada patung Perawan Maria dan patung Yesus Kristus diantara patung-patung yang ada disana.[5]
c.       Penyebaran Islam
Pada masa-masa awal turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad, penduduk Mekah tidak merasa yakin akan wahyu tersebut, sehingga ketegangan antara mereka dan sekelompok kecil pengikut Nabi Muhammad meningkat dari tahun ke tahun. Hingga kemudian – seperti yang telah dituliskan oleh Kelompok I – Nabi Muhammad dan pengikutnya berhijrah ke Yastrib (kemudian dikenal sebagai Madinah al-Nabi disingkat Madinah) pada bulan September 622 M, yang kemudian ditetapkan sebagai awal penanggalan tahun Hijriah yang diawali pada bulan Muharram dalam tahun qamariyyah yang berjangka 354 hari.[6] Muhammad diundang ke Madinah untuk memcahkan beberapa masalah sosial dan politik yang muncul disana yang diakibatkan oleh perpecahan kelompok-kelompok yang berbeda di Madinah.[7]
Mengenai Piagam Madinah yang disebut sebagai perjanjian yang memperdamaikan suku-suku di Madinah berikut suku-suku Yahudi, Montgomery Watt memberikan data yang menunjukkan bahwa ternyata Piagam Madinah yang ada bukanlah suatu perjanjian yang dibuat pada masa yang sama. Ada perbedaan pendapat diantara para ahli, namun jelas terlihat bahwa poin-poin dalam Piagam Madinah banyak mengalami pengulangan namun memiliki perubahan. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa ada poin yang dituliskan sebelum Perang Badar, dan ada yang dituliskan setelah Perang Badar. Misalnya saja poin 23 dan 36, pada poin 23 dikatakan bahwa jika ada pertentangan yang terjadi, maka permasalahan itu harus dibawa kepada Muhammad. Pada poin 36 kita dapat melihat perubahan posisi Muhammad yang semakin kuat di Madinah yang mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh berperang tanpa seizin Muhammad. Dalam dua poin ini bisa dilihat bahwa ada pergeseran waktu yang cukup jauh diantara poin 23 dan 36. Perbedaan juga dapat dilihat dalam penggunaan penyebutan yang tidak konsisten, seringkali menggunakan kata ‘orang-orang beriman’ namun dua kali menggunakan kata ‘Muslim’(poin 25 dan 37) dan banyak perbedaan lainnya.[8]
Kelompok I menguraikan proses terjadinya perang Badar dengan mengutip tulisan dari Fazlur Rahman dengan terlalu sederhana. Padahal, kelompok mendapati bahwa Rahman secara terang-terangan menunjukkan adanya muatan politis yang kuat di dalam Perang Badar ini. Dimana Muhammad sepertinya memiliki keinginan yang besar untuk menguasai Mekah dan mengislamkan sukunya agar Islam memperoleh dukungan yang besar dan dapat menyebarkan Islam keluar sehingga dapat berkembang pesat.[9] Perang Badar pada akhirnya benar-benar menjadi peristiwa monumental yang mengubah sejarah Islam awal dimana sekelompok kecil Muslim menang melawan sepasukan besar tentara Mekah yang jauh lebih kuat sehingga peristiwa ini dianggap sebagai suatu mukjizat  yang besar. Nama Badar menjadi bukti tak terbantah tentang kepemimpinan Muhammad atas umatnya dan sebagai bukti bahwa Allah berada di pihak Nabi Muhammad yang dilukiskan dalam Al-Quran : Bukanlah engkau yang melempar saat engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar (QS Al-Anfal [8]: 17).[10]
Setelah melalui Perang Badar pada bulan Maret 624 M, Perang di dekat Bukit Uhud pada tahun 625 M, Perang melawan serangan penduduk Mekah pada tahun 627 M, kekuatan Nabi Muhammad meningkat sangat pesat sehingga pada tahun 630 M, Nabi Muhammad dapat menaklukkan Mekah tanpa perlawanan. Musuh-musuhnya yang memeluk Islam diberikan amnesti dan Ka’bah menjadi pusat ibadah kaum Muslim sejak saat itu.[11]
d.      Penghormatan dan Wahyu
Setelah wafatnya Khadijah, Nabi Muhammad menikah beberapa kali, dimana hanya Aisyah yang masih gadis ketika dinikahinya sedangkan istri-istrinya yang lain adalah janda-janda para pejuang yang gugur. Meskipun Al-Quran membatasi jumlah istri maksimal empat orang, namun Muhammad mendapat keistimewaan untuk boleh menambah jumlah ini. Istri-istri Muhammad mendapat gelar terhormat sebagai Umm al-Mu’minin atau Ibu Kaum Beriman (QS Al-Ahzab [33]:6) dan mendapat beberapa larangan khusus bagi mereka, seperti tidak diizinkan untuk menikah lagi setelah Muhammad wafat (QS Al-Ahzab [33]:53)[12]
Baik Schimmel maupun Rahman, menyinggung mengenai persoalan sumber wahyu Nabi Muhammad tentang kisah tokoh-tokoh  dari tradisi Yahudi-Kristen dalam konteks yang sama sekali berbeda dengan kisah-kisah Injil. Rahman menjelaskan bahwa tidak penting untuk mempertanyakan dari mana sumber-sumber riwayat Nabi-nabi tersebut dalam menegaskan makna dan keaslian risalah Nabi karena yang utama adalah bagaimana kita bisa memahami fungsi dan makna cerita-cerita tersebut. Menurut Rahman, “Apa yang diwahyukan adalah tujuan dan makna yang terkandung dalam ceritera-ceritera tersebut.[13] Namun dalam kalimat berikutnya Rahman terkesan menafikan keterkaitan pendekatan historis dengan keaslian suatu cerita. Karena tanpa penjelasan historis yang jelas, Rahman kemudian menuliskan:
Sungguh, kalau Nabi Muhammad tidak tahu sebelumnya secara ‘historis’ (yang dibedakan dari ‘melalui wahyu’) tentang materi ceritera-ceritera Nabi-nabi tersebut, pastilah beliau tidak akan mampu memahami maksud wahyu yang mengenai Nabi-nabi yang diwahyukan itu.[14]
Kalimat ini mengesankan upaya Rahman untuk memberi gambaran bahwa Nabi Muhammad sesungguhnya tahu bagaimana kisah historis sebenarnya tentang para Nabi tersebut namun Muhammad hanya menceriterakan kisah para Nabi sesuai dengan apa yang diwahyukan kepadanya (walaupun tidak sesuai dengan historis?). Kelompok merasa sesungguhnya penjelasan ini tidak cukup baik.
Schimmel terasa lebih jujur dalam menjawab pertanyaan ini. Menjawab kebingungan mengenai dari mana sumber Muhammad, dia mengutip pandangan Johan Fuck yang mengatakan bahwa  kita tidak akan bisa mengungkapkan rahasia kepribadian sosok Nabi Muhammad tentang bagaimana dia mampu memiliki keyakinan bahwa Tuhan memilihnya sebagai rasul dan pemberi peringatan.[15] Schimmel kemudian memaparkan pandangan bahwa bagi kaum muslim, perbedaan antara versi Injil dan Al-Quran dalam kisah para Nabi tersebut justru membuktikan  bahwa Al-Quran adalah benar-benar firman Allah. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa Nabi Muhammad yang buta aksara diyakini tidak mungkin mengetahui kisah-kisah para Nabi tersebut dari Injil, sehingga pastilah Nabi Muhammad menerima kisah-kisah tersebut langsung dari wahyu Allah. Pandangan ini kemudian diperhadapkan Schimmel dengan pandangan Gunther Luling yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad benar-benar mengenal dan mengetahui tradisi Yahudi-Kristen dan memanfaatkan kisah-kisah ini dengan piawai. Schimmel menyimpulkan bahwa kisah-kisah para Nabi tersebut menjadi paradigma bagi kehidupan Muhammad, dimana dia yakin bahwa umat-umat sebelumnya (pada masa para Nabi tersebut) dibinasakan oleh Allah karena tidak mengimani bahkan menganiaya para Nabi, sehingga penduduk Mekah yang tidak mau menerima pesan yang disampaikan olehnya akan menerima nasib yang sama.[16]
Pada tahun 632 M, Nabi Muhammad berhaji ke Mekah. Tindakan Nabi Muhammad ini kemudian dijadikan contoh yang mengikat bagi kaum Muslim untuk melaksanakan ibadah haji.


Masa Setelah Nabi Muhammad Wafat
a.      Kepemimpinan Pasca Wafatnya Nabi Muhammad
Muhammad wafat pada tanggal 8 Juni 632 M (11 H) di kamar Aisyah yang saat itu berumur 18 tahun. Nabi Muhammad diyakini tidak meninggalkan petunjuk khusus tentang pergantian kepemimpinannya. Yang meneruskan garis keturunannya adalah anak perempuannya yang bernama Fatimah yang menikah dengan Ali (saudara sepupu ayahnya). Fatimah dijuluki al-Zahra’ (“Yang Berkilauan”) karena diriwayatkan bahwa kelahiran Fatimah dikelilingi oleh cahaya, benar-benar suci, dan tidak pernah mengalami menstruasi. Fatimah juga dijuluki al-batul (“sang perawan suci”) yang kemudian menjadi simbol Mater Dolorosa (“Sang Bunda yang Berduka”) sejati setelah kematian Husain, puteranya.[17]
Setelah kematian Muhammad, Abu Bakar (mertua Muhammad) melontarkan peringatan keras kepada kaum Muslim yang tengah berdukacita, “Barangsiapa menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa Muhammad kini telah wafat. Akan tetapi, barangsiapa menyembah Allah maka Dia tetap hidup dan tidak akan mati.” Abu Bakar kemudian dipilih sebagai khalifah atau pengganti Nabi. Setelah Abu Bakar yang dijuluki al-Shiddiq  wafat pada tahun 634 M, ia kemudian digantikan oleh Uman bin al-Khaththab yang dijuluki al-Faruq (“yang mampu membedakan kebenaran dari kebatilan”) sebagai khalifah. Setelah Umar dibunuh pada tahun 644 M, ia digantikan oleh Utsman bin Affan. Utsman berjasa dalam memerintahkan penyusunan Al-Quran dalam bentuk yang dikenal sekarang, yang dibagi ke dalam 30 juz dan 114 surah. Utsman dibunuh pada tahun 656 M dan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.[18]
b.      Penghormatan dan Hadis
Penghormatan kepada keluarga Nabi Muhammad sangatlah penting bagi umat Islam. Bukan hanya dari sudut pandang keagamaan, namun juga sebagai faktor penentu dalam sejarah politik Islam.[19] Sesungguhnya Nabi Muhammad sendiri tidak pernah menyatakan diri memiliki sifat adimanusiawi. Dia selalu mengatakan bahwa satu-satunya mukjizat dalam hidupnya adalah wahyu yang turun kepadanya dalam bahasa Arab (Al-Quran). Nabi Muhammad menyadari bahwa dia hanyalah manusia biasa yang menerima wahyu ilahi sebagai satu-satunya hak istimewanya.[20] Namun ada beberapa ayat Al-Quran yang menunjukkan keistimewaan Muhammad dibanding yang lainnya, seperti bahwa Nabi Muhammad merupakan “rahmat bagi alam semesta”, rahmatan lil-‘alamin (QS Al-Anbiya’ [21]: 107), Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi Muhammad (QS Al-Ahzab [33]: 56), dan lainnya.[21] Dalam Al-Quran juga dapat ditemukan rumusan-rumusan dimana Allah memerintahkan untuk “mematuhi Allah dan utusan-Nya”. Nabi Muhammad dipercaya sebagai manusia pilihan Allah (al-Musthafa) sehingga cara hidup (Sunnah)-nya menjadi satu-satunya aturan perilaku yang sah bagi umat Muslim.[22] Sunnah Nabi Muhammad terdiri dari segenap tindakan (fi’l), ucapan (qaul), dan persetujuan diam (taqrir)-nya atas fakta-fakta tertentu.[23]
Contoh perilaku nabi Muhammad ini banyak terdapat dalam hadis. Hadis adalah catatan tentang  ucapan atau perbuatan Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh sahabat terpercaya Nabi Muhammad kepada orang lain di generasi sesudahnya yang kemudian menyampaikan kembali kepada generasi sesudanya dan demikian seterusnya. Hadis yang sahih adalah hadis yang rangkaian perawinya terbukti dan dapat dipercaya. Hadis-hadis yang bisa dipercaya ini jumlahnya terus bertambah dan hal ini menunjukkan perkembangan dari masalah-masalah teologis dan praktis yang dihadapi oleh umat Muslim pada abad-abad pertama sejarahnya.[24] Hadis-hadis yang paling bisa dipercaya ini kemudian dihimpun dalam sebuah koleksi besar pada pertengahan abad ke-9 M. Diantaranya adalah Shahih al-Bukhari, dan Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan an-Nasa,dan Sunan Ibn Majah. Selain hadis  yang sahih ini, ada juga banyak hadis yang tidak lagi menyebutkan rangkaian perawinya yang dipelajari diseluruh dunia Islam dan juga banyak disukai.[25] Ada berbagai kumpulan hadis dalam Islam, dimana kitab-kitab ini diyakini mengandung rahmat dan berkah dari ucapan Nabi Muhammad dan hadis-hadis ini sering digubah menjadi syair-syair oleh para penyair-sufi besar Persia, Jami, pada akhir abad ke-15 M.[26]
Bagi umat Islam, ketekunan membaca hadis-hadis nabi akan membawanya lebih dekat dengan Nabi Muhammad. Selain itu, hadis Nabi juga dianggap sebagai langkah pertama dalam penafsiran Al-Quran. Namun kemudian muncul masalah dimana terdapat pertentangan isi diantara hadis sehingga kemudian membawa kepada masalah autentisitas atau keaslian hadis tersebut. Mengenai permasalahan ini, Schimmel menyajikan pendapat-pendapat dari berbagai sudut pandang yang menarik. Terlihat bahwa ketika sarjana-sarjana Eropa semenjak Ignaz Goldziher bersikap sangat kritis terhadap hadis, maka kaum Muslim yang saleh akan menolak kritik tersebut karena melihat kritik tersebut sebagai upaya untuk menghancurkan dasar-dasar Islam.[27] Kelompok melihat bahwa umat Islam cenderung berupaya untuk “mengabaikan” dan atau menolak pendekatan historis-kritis yang dilakukan untuk menguji keabsahan  suatu hadis. Seperti kutipan dari Seyyed Hossein Nasr dalam karyanya Ideals and Realities of Islam yang dikutip oleh Schimmel berikut :
Dengan berlagak sok-ilmiah dan memanfaatkan metode sejarah yang dikenal – atau, lebih tepatnya, tidak dikenal – untuk mereduksi makna seluruh kebenaran agama menjadi fakta-fakta sejarah belaka, para pengkritik hadis itu menyimpulkan bahwa hadis bukan berasal dari Nabi Saw., melainkan “dipalsukan” oleh generasi-generasi sesudahnya. Di balik kedok keilmiahan ini, tersembunyi asumsi a priori bahwa Islam bukanlah Wahyu Ilahi … Seandainya para pengkritik hadis itu bersedia menerima bahwa Muhammad adalah seorang nabi, tidak akan ada argumen apa pun yang secara ilmiah sah terhadap isi pokok hadis.[28]
Dari kutipan ini, kelompok melihat bahwa sepertinya bahkan seorang pemikir Muslim terkemuka yang dididik di Harvard, menghadapi berbagai kritik yang datang dengan penuh curiga dan alih-alih memberi jawaban secara ilmiah, ia mengembalikan setiap jawaban dari kritik tersebut kepada iman. Namun Schimmel mengakui bahwa di dunia Muslim modern terjadi perbedaan sikap terhadap hadis, dimana ada yang menerima tanpa syarat semua hadis dan ada yang selektif terhadap hadis,[29] dan ada juga yang menolak hadis dan hanya menerima Al-Quran sebagai satu-satunya sumber nilai-nilai moral etika.[30] Sekalipun demikian, menurut Schimmel kebanyakan kaum Muslim lebih suka semboyan Abu Bakar untuk tidak membuang apa pun dari semua hal yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad.[31]
c.       Perkembangan Pandangan Terhadap Nabi Muhammad
Schimmel mencatat bahwa penghormatan kepada Nabi Muhammad dan perhatian yang cermat kepada rincian terkecil dari perilaku dan pribadinya tumbuh sejalan dengan semakin jauhnya rentang waktu kehidupan kaum Muslim dengan Nabi Muhammad. Para juru dakwah suka menggambarkan figur Muhammad dalam warna-warna yang indah, bahkan menambahinya dengan rincian-rincian yang remeh seperti “Nabi memiliki tujuh belas uban di jenggotnya”. Muncullah koleksi-koleksi kategori dala il al-nubuwwah (“bukti-bukti kenabian”) yang dilengkapi dengan syama il (karangan-karangan kesusastraan yang mendeskripsikan sifat-sifat mulia dan ketampanan lahirian Nabi Muhammad.  Dua karya dari kategori ini yang paling awal disusun oleh Abu Nu’aim al-Ishfahani (w. 1037 M) dan al-Baihaqi (w. 1066 M) yang menceritakan tentang mukjizat-mukjizat Nabi pada masa sebelum dan sesudah lahir, sebelum dan sesudah penunjukannya sebagai nabi dan penunjukan dirinya sebagai nabi terakhir. Ada juga Kitab al-Syifa’ fi Ta’rif Huquq al-Mushthafa yang melukiskan kehidupan Nabi Muhammad, sifat-sifat dan mukjizat-mukjizatnya secara terperinci, sering digunakan dan diulas dan juga dikagumi di dunia Islam Abad Pertengahan sehingga dipandang sebagai barang keramat, bahkan digunakan sebagai azimat.[32]
Lukisan-lukisan tentang ketampanan fisik Nabi Muhammad banyak ditemukan dalam tradisi-tradisi awal. Nabi Muhammad digambarkan sebagai manusia yang memiliki akhlak yang paling bagus dan manusia yang paling tampan. Nabi Muhammad digambarkan bertubuh sedang, tidak gemuk; wajahnya bulat dan berkulit putih, matanya lebar dan hitam, bulu mata panjang, rambut tidak lurus dan tidak keriting, memiliki tanda kenabian diantara kedua bahu, tubuhnya besar, wajahnya bersinar seperti bulan purnama, tinggi namun tidak jangkung, jalinan rambut dibelah, roman mukanya bersinar, alisnya bagus, lehernya bagaikan patung gading, dadanya bidang dan berbahu lebar, dan rincian-rincian lainnya. Digambarkan juga bahwa tangannya sejuk dan wangi, bahkan ada sebuah legenda yang mengatakan bahwa dalam perjalanannya ke langit, keringat Nabi menetes ke bumi dan berubah menjadi bunga mawar yang wangi sehingga orang beriman masih bisa menikmati aroma tubuh Nabi dari wangi bunga mawar.[33] Awalnya masih ada gambar-gambar yang melukiskan wajah Nabi Muhammad, namun kemudian wajah Nabi Muhammad dalam lukisan-lukisan ditutup. Namun kemudian kaum Muslim menemukan cara lain untuk membuatnya hadir di depan mata mereka melalui hilyah (“ornamen” yang berisi berbagai gambaran dan lukisan ringkas tentang sifat-sifat lahiriah dan batiniah Nabi Muhammad. Mengenai hilyah, ada hadis yang mengatakan bahwa orang yang melihat hilyah Nabi dan kemudian merindukan Nabi, maka Allah tidak akan membiarkan api neraka menyentuhnya.[34] Selain itu, ada banyak benda yang dipakai Nabi yang kemudian menjadi pusaka berharga dan sangat dihormati, seperti kemeja, sandal (yang dianggap telah menyentuh Singgasana Allah), jejak kaki Nabi Muhammad, batu dari tempat jejak kaki tersebut (batu-batu qadam rasul), rambut dan jenggot Nabi Muhammad.[35]
Disamping menghormati benda-benda pusaka yang berkaitan dengan Nabi Muhammad, umat Islam juga menelaah secara teliti cara Nabi Muhammad merawat tubuhnya karena dalam hal ini pun Muhammad dianggap sebagai panduan dalam perilaku. Bahkan dari hal terkecil seperti bangun dengan menggunakan miswak (ranting yang digunakan sebagai sikat gigi), menggunakan batu serawak untuk menghitamkan mata, memoles rambut dan janggut dengan henna, makan dengan tangan kanan, dan lainnya.[36] Makanan yang disukai atau tidak disukai Nabi Muhammad juga dicatat dengan teliti.[37] Air yang digunakan untuk membersihkan diri sering digunakan oleh para sahabat sebagai obat karena dipercaya mengandung berkah (barakah), air ludah Nabi juga dipercaya dapat dipakai untuk terapi, penggunaan bekam dan obat pencahar yang disarankan Nabi juga mendapat perhatian yang penting oleh umat Islam.[38]
Lebih lanjut, Schimmel mengatakan bahwa ketampanan lahiriah Nabi Muhammad merupakan cermin dari keindahan dan kemuliaan hatinya karena Allah telah menciptakannya sempurna dalam akhlak dan moral (khalqan wa khulqan) dan akhlak yang ditekankan disini adalah kerendahan hati dan kebaikannya.[39] Kebaikan hati Muhammad banyak diceritakan lewat kisah-kisah yang dituturkan oleh sahabat-sahabatnya dan para penyair. Mengenai perkawinan Nabi Muhammad dengan sembilan perempuan, Schimmel mengatakan bahwa beberapa tokoh pembela Islam menekankan bahwa pernikahan Nabi Muhammad setelah wafatnya Khadijah adalah bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi para janda syuhada dan sepanjang hidup pernikahan Nabi Muhammad, Khadijah tetaplah menjadi istri ideal baginya walaupun Khadijah telah wafat. Kaum Muslim juga merasa bahwa kemampuan Nabi Muhammad dalam menggabungkan bidang duniawi dan bidang spiritual merupakan bukti bagi ketinggian derajatnya. Kelebihan Nabi Muhammad dalam hal ini juga dapat dilihat dari bagaimana Nabi Muhammad tidak pernah dapat dipalingkan dari Tuhan dan perjuangan spiritualnya meskipun dia memiliki banyak istri mengingat banyaknya Nabi dan tokoh agama yang jatuh karena wanita.[40]
Menurut Schimmel, bagi para pengamat Barat tentulah agama dan politik harus dipisahkan karena agama adalah masalah batin dan untuk diri sendiri, sehingga dari sana mereka mengkritik Nabi Muhammad yang merupakan seorang Nabi namun sekaligus seorang negarawan (politisi). Akan tetapi bagi kamu Muslim, agama dan negara merupakan dua sisi mata uang yang harus saling melengkapi.[41]
d.      Kedudukan Istimewa Nabi Muhammad
Secara umum, umat Muslim meyakini Nabi Muhammad sebagai habib Allah (“sahabat terkasih Allah”). Dalam buku-buku pegangan teologi mendefenisikan empat sifat penting seorang nabi seperti jujur (shidq) dan bisa mengemban amanat (amanah), pasti menyampaikan Firman Allah (tabligh), dan harus bijaksana serta cerdas (fathanah). Seorang Nabi mustahil untu berdusta (kidzb), tidak setia atau berkhianat (khiyanah), menyembunyikan risalah Ilahi (katman), atau bodoh (baladah).[42] Hal ini membawa kita kepada doktrin ‘ishmah (“terjaga dari kesalahan dan dosa”). Dalam doktrin ini dipercaya bahwa Nabi Muhammad terbebas dari semua cacat moral.[43] Namun beberapa mazhab tertentu menganggap bahwa mungkin saja bagi seorang nabi untuk melakukan dosa, bahkan dosa-dosa besar. Sebagian ulama tafsir dalam mazhab Mu’tazilah awal, beranggapan bahwa Nabi Muhammad bisa saja melakukan dosa karena khilaf. Akan tetapi dalam doktri Mu’tazilah di kemudian hari, diakatakan bahwa Muhammad tidak mungkin berbuat dosa sama sekali.[44]
Kedudukan nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dan penutup para nabi sebelumnya mendorong kaum Muslim untuk membahas hubungan Nabi Muhammad dengan para rasul sebelumnya. Al-Quran telah memperingatkan kaum Muslim : “Kami tidak membeda-bedakan di antara para rasul dan nabi!” (QS Al Baqarah [2]: 285 dan QS Ali ‘Imran [3]: 84. Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan  beredar hadis lain yang menjelaskan keunggulan Nabi Muhammad atas yang lain melalui kerelaan dan kemampuannya untuk menjadi wasilah dan pemberi syafaat bagi umatnya. Seperti hadis Najmuddin Razi Daya yang dikutip oleh Schimmel berikut ini :
Nabi Saw. Bersabda: “Aku telah diberi keunggulan atas nabi-nabi lain dalam enam perkara: bumi dijadikan masjid untukku dengan tanahnya dinyatakan suci; harta rampasan perang dihalalkan untukku; aku diberi kemenangan luar biasa pada jarak satu bulan perjalanan; aku diizinkan oleh Allah untuk memberikan syafaat; aku diutus untuk seluruh umat manusia; dan aku adalah penutup para nabi.”[45]
Schimmel kemudian banyak memberikan contoh-contoh hadis yang menunjukkan keunggulan Nabi Muhammad atas nabi-nabi lain seperti nabi Musa dan nabi Isa.[46] Berhubungan dengan ini, maka kedudukan luhur dan unik Nabi Muhammad dipandang perlu untuk dilindungi dari fitnah, kebencian, dan pencemaran nama baik. Puji-pujian kepada Nabi Muhammad dipandang tidak boleh disejajarkan dengan puji-pujian kepada yang lain, dimana dalam hal ini banyak penyair Persia yang dianggap merendahkan Nabi Muhammad dalam syair-syairnya yang menempatkan Nabi Muhammad sejajar dengan yang lain dalam pujiannya. Penggunaan ganjil nama Nabi Muhammad di dalam tulisan-tulisan syair dianggap sebagai sesuatu yang hampir sama dengan kemurtadan. Melangkah lebih jauh, ahli-ahli lain menganggap bahwa pemfitnah Nabi layak diberi hukuman berat bahkan dalam perkembangannya, layak diberi hukuman mati tanpa pemeriksaan pengadilan.[47] Schimmel kemudian menutup Bab 3 dari bukunya “Cahaya Purnama Kekasih Tuhan” dengan suatu contoh ketika seorang Hindu dibunuh oleh pemuda muslim karena menerbitkan buku dengan judul Rangela Rasul (Nabi yang Suka Berfoya-foya). Pemuda muslim yang membunuhnya kemudian dinyatakan bersalah dan dihukum mati, namun masyarakat Muslim di India memberikan simpati yang besar terhadapnya. Schimmel mengatakan bahwa:
“Setiap orang yang pernah memberikan kuliah dalam sebuah lingkungan Muslim pun tahu bahwa suatu ucapan yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghina bisa disalahtafsirkan oleh para pendengarnya, yang menjadi terlalu peka bila sudah menyangkut Nabi yang mereka cintai.”[48]

Tanggapan Kelompok
Dari pembahasan dalam paper ini, kelompok melihat bagaimana sosok Nabi Muhammad menjadi sangat penting dalam kehidupan umat Muslim. Kita dapat melihat bagaimana seluruh detail kehidupannya menjadi hal yang dapat dikatakan “sakral” bagi umat Muslim. Terlepas dari semua perdebatan yang mengiringinya, sosok Nabi Muhammad merupakan sosok seorang yang memberikan pengaruh besar didalam keimanan seorang Muslim.




[1] Annemarie Schimmel, Cahaya Purnama Kekasih Tuhan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2012). 23
[2] Ibid
[3] Ibid. 22
[4] Ibid. 25
[5] Ibid. 26
[6] Ibid. 28
[7] Ibid. 27
[8] Lihat Montgomery Watt, Muhammad at Medina, (London: Clarendon Press, 1962). 221-226
[9] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984). 16
[10] Annemarie Schimmel, op. cit. 28, 29
[11] Ibid. 30, 31
[12] Ibid. 31
[13] Fazlur Rahman. Op. cit. 8, 9
[14] Ibid.
[15] Annemarie Schimmel, op. cit. 32
[16] Ibid. 33
[17] Ibid. 34
[18] Ibid. 34, 35
[19] Ibid. 36
[20] Ibid. 42
[21] Ibid. 43
[22] Ibid. 44
[23] Ibid. 45
[24] Ibid. 45, 46
[25] Ibid. 46
[26] Ibid. 47
[27] Ibid. 49
[28] Ibid. 50
[29] Ibid.
[30] Ibid. 51
[31] Ibid.
[32] Ibid. 54, 55
[33] Ibid. 56, 57
[34] Ibid. 58
[35] Ibid. 62 - 67
[36] Ibid. 67-68
[37] Ibid. 68
[38] Ibid. 69-70
[39] Ibid. 70-71
[40] Ibid. 76-78
[41] Ibid. 81
[42] Ibid. 89
[43] Ibid. 90
[44] Ibid. 93
[45] Ibid. 96
[46] Lihat Ibid. 97-100
[47] Ibid. 101

[48] Ibid. 102

Pendalaman Alkitab dari Kitab Habakuk 1:12-17

Bahan Pendalaman Alkitab Habakuk 1:12-17 Pendahuluan Sebelum kita mengarah kepada isi dari perikop yang akan saya bahas, izinkan sa...