Bahan
Pendalaman Alkitab
Habakuk
1:12-17
Pendahuluan
Sebelum kita mengarah kepada isi dari perikop
yang akan saya bahas, izinkan saya untuk memberikan sedikit latarbelakang dari
kitab Habakuk ini, meskipun memang sedikit informasi yang bisa kita dapatkan
mengenai pribadi Nabi Habakuk. Habakuk adalah sebuah nama yang memang tidak
diketahui secara jelas makna dan berasal dari bahasa apa. Banyak tafsiran yang
muncul mengenai nama Habakuk ini sendiri, tetapi kita mengetahui dengan jelas
bahwa Habakuk adalah seorang Nabi (1:1). Nabi Habakuk diperkirakan muncul pada
zaman pemerintahan Yoyakim pada tahun 609 SM, dimana pada saat itu Yehuda masih
berada dalam tekanan bangsa Mesir.[1] Habakuk
dimungkinkan hidup hingga pada zaman dimana bangsa Kasdim (kata ini dahulu
digunakan menunjuk kepada bangsa Babel[2]), mengalahkan
Mesir pada perang di Karkemis pada tahun 605 SM. Oleh karena Mesir telah kalah,
secara otomatis bangsa Yehuda pun kini jatuh ke tangan penguasa lainnya, yaitu
bangsa Kasdim.[3]
Yoyakim sendiri memiliki
kepemimpinan yang buruk dimata Allah (2 Raja-Raja 23 :37), dimana ia mempunyai
tabiat kejahatan dan kemurtadan pada agama.[4] Dapat
dimaklumi bahwa pada awal Kitab Habakuk (1: 1-4), Nabi mengarahkan kekesalan
dan keluhannya kepada Allah mengenai tabiat pemimpinnya pada waktu itu yang
menimbulkan ketidakadilan dan kejahatan (ini sudah disinggung pada PA minggu
lalu). Namun, jawaban Allah (1: 5-11) menyatakan bahwa untuk membalas pemimpin
Yehuda (Yoyakim) Allah akan mengirimkan bangsa Kasdim untuk menghukum Yehuda
atas kejahatannya. Hal ini membuat Habakuk menjadi terkejut dan sekaligus
bingung, sehingga pada perikop yang saya bahas pada hari ini, Habakuk
mengungkapkan lagi keluhannya dan kebingungannya mengenai jawaban Allah atas
keluhannya yang pertama (1:1-4).
Habakuk
1 : 12 -17 : Allah yang diam dan tidak adil!
Mengawali keluhannya yang kedua ini, Habakuk
menyebut Allah sebagai Allah yang Kudus (ay. 12). Menurut Telnoni, penyebutan
ini menunjukkan kedekatan sang Nabi dengan Allah, sehingga dengan hubungan yang
dekat ini ia dapat mengungkapkan keluhan-keluhannya kepada Allah secara bebas.[5] Selain
itu, dalam ayat 12 Habakuk juga memperlihatkan keyakinan dan kepercayaan yang
dipunyainya dengan mengungkapkan kata tidak
akan mati kami. Maria Eszenyei Szeles, juga menjelaskan hal yang sama bahwa
ayat 12 (yang adalah nyanyian pujian Habakuk) memperlihatkan kepercayaan
Habakuk terhadap Allah,[6] yaitu meskipun
mereka dihukum, mereka tidak akan dibinasakan. Namun, tetap disini muncul
kegelisahan Habakuk karena adanya bangsa Kasdim yang muncul dan akan menjadi
alat Allah untuk menghukum Yehuda.
Kegelisahan dan kebingungan yang dimiliki oleh Habakuk semakin jelas terlihat
pada ayat ke 13. Di ayat ini dijelaskan mengenai pemahaman Habakuk akan Allah yang
adalah suci (ini berasal dari tradisi Israel yang berakar pada tradisi Sinai[7]),
sehingga IA tidak dapat dijangkau oleh manusia. Allah yang suci tentu secara
etis tidak berkenan kepada orang jahat. Namun, dalam realita yang dihadapi oleh
Habakuk, Allah ternyata berkenan kepada bangsa Kasdim yang jahat. Bahkan
menjadikan bangsa itu menjadi alatnya untuk menghukum Yehuda. Cara Allah ini
menjadi permasalahan dasar bagi Habakuk, karena menurutnya bangsa Kasdim
tidaklah layak untuk menghukum mereka[8], sebab
mereka lebih buruk dari Yehuda.
Saya disini melihat adanya
ketidakadilan yang dirasakan oleh Habakuk. Mengapa Allah malahan memandang (atau membangkitkan, kalau sesuai dengan ay. 6)
bangsa Kasdim dan menjadikannya alat penghukum? Bahkan disini Habakuk merasa
bahwa Allah hanya berdiam diri saja melihat orang jahat menelan orang benar
(ay. 13). Atau bahkan bisa saja Allah yang mengarahkan agar orang-orang benar
tersebut dimakan oleh orang jahat. Pada ay. 14 dijelaskan bahwa IA yang
menjadikan manusia selayaknya ikan tanpa pemimpin sehingga mudah ditangkap oleh
para musuhnya. Mereka diumpan dan diangkat dengan kail, bahkan mereka pun dikumpulkan
dengan jala (ay.15). Ini dapat dipahami sebagai gambaran dari cara bangsa
Kasdim ‘memakan’ Yehuda, dengan mengumpan (dalam hal politik) dan menjeratnya
dengan kail (kekuasaannya), sehingga Yehuda akhirnya takluk di tangan bangsa
Kasdim.[9]
Pada akhir ayat 15 hingga ayat
17, dituliskan bahwa bangsa Kasdim yang akan menjadi alat Allah menghukum
Yehuda bersukaria dan bersorak-sorai, karena penghukuman yang dilakukannya
untuk bangsa Yehuda.[10] Menanggapi
pemahaman Telnoni, saya sendiri meragukan apakah bangsa Kasdim mengetahui bahwa
mereka menjadi alat Allah dalam menghukum Yehuda (mungkin ini bisa didiskusikan
dalam PA kelompok masing-masing). Dalam kesukariaan bangsa Kasdim, mereka melakukan
persembahkan kurban untuk ‘jala’ dan ‘pukatnya’. Hal ini ditafsirkan sebagai
sebuah kesombongan dalam diri bangsa Kasdim yang mengutamakan dan mendewakan
kekuasaan dan kekuatannya.[11] Oleh
karena kesombongan yang dimiliki oleh bangsa Kasdim, Habakuk menjadi semakin
kesal, karena alat yang dipilih oleh Allah nyatanya tidak mengucapkan syukur
kepada Allah itu sendiri. Melainkan mereka malahan
mengucap syukur kepada kekuatan yang dimilikinya. Mereka membanggakan diri
dan menjadi bersukacita dan bahkan menikmati kekayaan (ay. 17) yang mereka
dapatkan melalui jarahan bangsa-bangsa taklukannya.
Penutup
Dalam membaca teks ini, saya selalu mengingat
Film Silence yang juga memperlihatkan bagaimana sikap Allah
yang diam dan bungkam melihat umat Kristen di Jepang ditindas oleh
pemerintahnya waktu itu. Keterdiaman Allah yang dirasakan oleh Habakuk, mungkin
hampir sama dengan yang dialami dalam film ini (bedanya mungkin Yehuda dihukum,
sedangkan dalam film Silence entah
tujuan apa yang ingin dicapai Allah). Umat yang menderita terus menerus membuat
sang Nabi berteriak kepada Allah. Terlebih lagi adanya ketidakadilan yang
dirasakan oleh sang Nabi, dengan alat yang dipakai Allah untuk menghukum
mereka.
Namun, seringkali dalam melihat
teks ini, seringkali kita sungkan dan takut untuk membaca secara jujur mengenai
sikap Allah. Saya sendiri secara jujur memang melihat ketidakadilan Allah yang
dilakukan-Nya terhadap kaum Yehuda. Konsep Allah yang Suci yang dimiliki umat,
ternyata berbeda dengan pengalaman yang mereka alami. Allah dirasakan diam
terhadap penindasan tersebut. Namun, saya sendiri meragukan, apakah Allah
memang diam atau memang semua penindasan yang terjadi pada umat pilihanNya
adalah ‘ulah’ sang Allah itu sendiri dengan alasan menghukum umatnya.
Dalam kehidupan sehari-hari,
mungkin saja kita sering merasakan keterdiaman Allah atas penderitaan kita. Apa
tujuan Allah? Entahlah, bagi saya sendiri, ini masih menjadi misteri dari Allah.
Hujan, 10 Oktober 2017
Kezia Tiaraleeosha Boru Tambunan
[1] J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab
Kontekstual-Oikumenis Habakuk, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016. H. 6
[2] J.D. Douglas (ed.), Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini; Jilid 1 A-L, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992.
H. 524
[3] Prof. S. Widmoady Wahono, Ph.D,
Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. H. 152.
[4] Prof. S. Widmoady Wahono, Ph.D,
Di Sini Kutemukan. H. 152
[6] Maria Eszenyei Szeles, Habakkuk and Zephaniah; Wrath and Mercy,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1987. H.24
[8] Maria Eszenyei Szeles, Habakkuk and Zephaniah. H. 24
[9] Baca penjelasan ayat 15 dari, J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis
Habakuk. H. 44-45
[11] J. A.
Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk. H. 46
Tanggapan
atas Bahan PA yang Disajikan oleh Kezia T Tambunan
Habakuk
1:12-17
Habakuk:
Kenabian, Waktu dan Nama
Saya tidak keberatan dengan latar
belakang singkat dan materi yang telah dipaparkan Kezia, namun saya ingin
menambahkan beberapa hal menarik untuk memperkaya pembacaan kita atas teks
Habakuk ini. Saya berusaha agar
tanggapan ini tidak menjadi materi tandingan, namun menjadi pelengkap dialogis
yang mewarnai keseruan kita dalam membaca Habakuk.
Hal yang pertama adalah kesimpulan
yang ditarik Kezia di awal, bahwa Habakuk adalah seorang Nabi (1:1). Dalam
tradisi apokrif, nama Habakuk juga disebut dalam Tambahan-tambahan pada Kitab
Daniel 14:33-39. Habakuk diceritakan sebagai nabi di Yudea yang baru saja
selesai memasak bubur dan memotong-motong roti bagi para pekerja di ladang,
tiba-tiba seorang malaikat datang padanya dan menyuruhnya ke Babel (padahal
jauh banget tuh!) untuk memberikan
makanan itu pada Daniel yang sedang ada dalam gua singa. Habakuk rupanya agak
keberatan dengan tugas itu, ia beralasan bahwa ia belum pernah ke Babel dan
juga gak tahu dimana gua itu (maklum,
belum ada GPS). Sang malaikat lalu memegang Habakuk di ubun-ubunnya, rambutnya
“dijambak” dan ia diangkat secepat kilat menuju ke gua singa tempat dimana
Daniel berada. Setelah selesai memberikan makanan, Habakuk langsung kembali ke
tempat dimana ia berada. Narasi apokrif ini jelas tak dapat dijadikan rujukan
untuk menentukan masa pelayanan Habakuk (mengingat tokoh Daniel juga tidaklah
riil), namun penyebutan namanya di tulisan yang jauh lebih muda ini sering
dipakai untuk memberi bukti tentang kenabiannya. Namun, apakah Habakuk yang
dimaksud dalam Tambahan Kitab Daniel adalah Habakuk yang sama dengan yang kita
bicarakan nampaknya perlu didiskusikan lebih lanjut. Menurut Szeles, psl 2:1-5 menjelaskan
“model” kenabian Habakuk dengan lebih detil. Habakuk digambarkan sebagai bukan
hanya juru bicara Tuhan, namun ia adalah nabi yang melihat berbagai penglihatan
(visions) dan sekaligus mendengar suara Tuhan (oracles).[1]
Sampai di sini kita bisa melihat bahwa Habakuk adalah nabi yang memiliki
hubungan unik dengan Tuhan.
Hal menarik yang kedua adalah
perkiraan waktu kiprah Nabi Habakuk. Kezia memilih tahun 609 SM sebagai
kemunculan Habakuk. Menarik, karena tahun yang dipilih Kezia adalah sebelum
Babel menaklukkan Yehuda (597 SM). Namun mari mengingat penjelasan Pak DKL saat
menanggapi Gilbert beberapa minggu lalu (eh…kok kebetulan ya?), bahwa baru pada
tahun 612 SM Babilonia bersama sekutunya berhasil menumbangkan Asiria dan sejak
itu ia menjelma menjadi kekuatan besar yang baru. Jadi, jika Kezia berpendapat
bahwa Habakuk muncul tahun 609 SM, ya masuk akal! Karena di tahun-tahun itulah
Babilonia (Kasdim) berkembang pesat dan bersifat sangat ekspansif. Kerajaan
semungil Yehuda hanya menunggu waktu saja untuk dihajar Kasdim.
Selanjutnya adalah perihal nama
(karena nama selalu memuat arti dan persepsi tertentu), dalam LXX, Habakuk
diterjemahkan sebagai ambakoum yang
nampaknya berasal dari akar kata hbq yang
berarti: embrace, comprehend, enfold,
clasp to the heart. Arti kata “hbq” nampaknya
diidentikkan dengan sesuatu yang dekat, melekat dan erat. Menurut Szeles, secara
etimologis nama Habakuk dapat ditafsirkan dengan dua kemungkinan, yang pertama dapat
ditafsirkan sebagai nabi yang perasaannya amat dalam terlibat bersama bangsa
yang sedang menderita. Kemungkinan tafsir yang kedua adalah nama Habakuk
menggambarkan hubungan yang sangat dekat dan intim antara sang nabi dengan
Tuhan, dimana ia berani mengeluh dan menantang Tuhan. Di bagian-bagian tertentu
dalam kitab ini, terasa pula bahwa sang nabi bahkan bertarung dan bergulat
dengan Tuhan.[2] Sekali
lagi, kita menemukan konfirmasi hubungan unik antara Tuhan dan Habakuk. Menurut
saya, kitab ini harus dibaca dengan sebuah kesadaran bahwa Habakuk memiliki
hubungan unik dan intim dengan Tuhan.
Keluhan
Kedua
Dalam hubungan yang sangat dekat
itulah, Habakuk tidak sungkan untuk kembali mengutarakan keluhan untuk kedua
kalinya (bahan PA yang dibahas dua minggu lalu adalah keluhan pertama Habakuk)
dalam psl. 1:12-17 ini. Keluhan ini agak berbeda dengan keluhan pertama yang
mengesankan ketidaksabaran, keputusasaan dan rasa diabaikan. Kali ini, Habakuk
menyampaikan keluhannya dengan kesadaran bahwa ia sedang didengar Tuhan. Saya
setuju saat Kezia menyebut bahwa ay.12-13 adalah ungkapan kepercayaan sekaligus
kegelisahan Habakuk atas Bangsa Kasdim. Tapi, yang jadi pusat kegelisahan dan
kegusaran Habakuk bukan Kasdim melainkan TUHAN.
Habakuk seakan menyindir TUHAN yang disebutnya sebagai Allah Yang
Mahakudus” (ay.12) dan yang mata-Nya terlalu suci untuk melihat kejahatan
(ay.13), namun membiarkan orang fasik (Kasdim) menelan orang yang lebih benar
(Yehuda -meskipun sama fasiknya). Sekali lagi perlu kita ingat bahwa sindiran
ini dilontarkan dalam hubungan dekat antara Habakuk-Tuhan. Kegusaran Habakuk
pada Tuhan lebih diakibatkan karena ia merasa mengenal Tuhan dengan baik,
sehingga tak masuk akal baginya jika Tuhan mengeksekusi Yehuda dengan anomali
macam ini.
Ay.13-15 telah dijelaskan Kezia
dengan baik, namun saya ingin menambahkan bahwa bagian ini adalah refleksi
Habakuk mengenai situasi historisnya.[3]
Tuhan disebut sebagai pencipta manusia, namun Habakuk menyatakan bahwa Tuhan
jugalah yang membiarkan manusia bak ikan dan binatang melata yang sama sekali tak
mampu mempertahankan dirinya dihadapan kail dan pukat. Demikianlah Sang
Pencipta membiarkan mahkota ciptaan setara dengan mahluk melata.
Ay.16 menggambarkan kadar
kefasikan Kasdim (yang menurut Habakuk lebih parah tinimbang Yehuda) yang
menuhankan keberhasilan dan kekuatannya (bnd. Ay.11). Keluhan Habakuk lalu berpuncak
di ay.17 (yang sayangnya tidak dibahas Kezia dengan cukup dalam) dalam bentuk
pertanyaan yang mendalam. Berbeda dengan pertanyaannya di ay.2 yang merujuk
hanya pada penindasan yang dilakukan Yehuda, pertanyaan kali ini lebih
universal dan esensial. Habakuk bertanya, apakah kekuasaan manusia akan selalu
berujung pada pedang yang membunuh tanpa belas kasih? Pertanyaan (yang isinya
adalah gugatan) ini dengan jelas menunjukkan bahwa Habakuk lebih membela
kemanusiaan ketimbang “ke-Tuhan-an”.
Refleksi
Pertanyaan puncak Habakuk memang
diajukan dalam konteks kefasikan Kasdim, namun menurut saya ini pun masih
berlaku bagi jaman ini. Apalagi minggu lalu kita sebagai rakyat (dan
simpatisan) DIY punya Gubernur “baru”, dan hari ini DKI juga punya pemimpin baru.
Mereka-lah para pejabat yang memiliki kuasa. Pertanyaan (tambahan) untuk kita
refleksikan bersama adalah: apakah benar kekuasaan akan selalu membuat manusia
kehilangan belas kasihnya? Ingat bahwa dalam kadar tertentu, setiap kita juga
punya kuasa. Entah kita sebagai dosen, sebagai pacar, sebagai ketua angkatan,
dll. Apakah kekuasaan akan membutakan kita?
(Jelang Malang-Rhe)