Monday, October 16, 2017

Asal-usul Religi, Bahasa Simbol, Bentuk-bentuk primitif dari Agama

Asal-usul Religi, Bahasa Simbol, Bentuk-bentuk primitif dari Agama


A.    Asal Usul Religi
    Religi dengan uraian tentang perkembangan religi, dimulai dari asal mulanya dan dibuat berdasarkan pemahaman evolusionisme. Pada tahap pertama adalah animisme yang pada dasarnya merupakan keyakinan kepada roh-roh yang mendiami alam semesta sekeliling tempat tinggal manusia. Hal tersebut merupakan bentuk religi yang tertua. Tahap kedua dalam evolusi religi, manusia yakin bahwa proses kerja alam disebabkan oleh adanya jiwa dibelakang peristiwa-peristiwa dan gejala gejala alam itu. Jiwa alam itu kemudian dipersonifikasikan dan dianggap sebagai makhluk yang memiliki suatu kepribadian dengan kemauan dan pikiran yang disebut dengan dewa alam. Pada tahap ketiga, timbul keyakinan bahwa dewa-dewa alam itu digerakan oleh dewa tertinggi. Akibat dari keyakinan itu adalah berkembangnya keyakinan kepada satu tuhan dan timbulnya religi-religi yang bersifat monoteisme sebagai tahap terakhir dalam evolusi religi manusia. Berikut penulis memaparkan bentuk kepercayaan kuno sampai ke kepercayaan-kepercayaan  modern.
1.      Animisme
Animisme yang di pahami oleh E.B. Taylor mempunyai dua arti. Yang pertama, yaitu sebagai suatu sistem kepercayaan di mana manusia religius, orang-orang primitif membubuhkan jiwa pada manusia dan pada benda mati atau hewan. Kedua, animisme sebagai jiwa manusia yang merupakan akibat pemikiran tentang beberapa pengalaman psikis manusia seperti mimpi dan ide tentang mahkluk-mahkluk yang berjiwa, yang di turunkan berdasarkan ide tentang jiwa manusia. Tylor memperkenalkan istilah animisme untuk menyebutkan semua kepercayaan terhadap mahkluk-mahkluk berjiwa. Ada dua bentuk dalam mempercayai mahkluk-mahkluk yang berjiwa, yaitu manusia mempercayai bahwa manusia mempunyai jiwa yang tetap bertahan sesudah kematian dan kepercayaan bahwa ada mahkluk-mahkluk berjiwa lainnya (mahkluk yang di pribadikan). Animisme juga mau menjelaskan yaitu tentang keadaan lahir dan batin, tidur, terjaga, trance atau keadaan tidak sadarkan diri, penyakit, hidup, mati, dan penglihatan. Hal-hal ini bsa terjadi kalau seseorang meninggal, sesuatu tampaknya meninggalkan tubuhnya. Bisa juga dalam mimpi orang yang melihat orang lain dalam mimpinya dan juga bisa melihat mereka dalam keadaan-keadaan yang aneh. Dari semua pengalaman ini orang akan mengandaikan bahwa jiwa bisa meninggalkan tubuhnya untuk sementara waktu atau selamanya dan pergi ke tempat lain. Hal ini yang memunculkan upacara untuk orang mati terutama dalam bentuk pemujaan leluhur. Setelah itu manusia mulai sampai pada ide tentang jiwa yang terpisah dan menumbuhkan tentang mahkluk perasa. Tetapi bagi Tylor bahwa ide tersebut seperti model atau kerangka dari manusia primitif.
Namun teori seperti ini mempunyai kekurangan evidensi dan bukti dan mengenai cara berpikir orang primitif cara ini adalah keliru. Fenomena religius, animisme bersifat secara universal ada dalam semua agama. Animisme juga biasa di kaitkan pada mahkluk yang adikodrati (melebihi atau di luar kodrat alam, supernatural). Ada empat macam roh yaitu :
1.   Roh yang berhubungan dengan manusia, yaitu jiwa-jiwa yang meninggal secara tak wajar, roh leluhur, roh jahat.
2.     Roh yang berhubungan dengan objek-objek alamiah bukan manusia, yaitu seperti air terjun, pohon yang berbentuk aneh, roh yang berbahaya.
3.      Roh yang berhubungan dengan kekuatan alam seperti kilat, banjir, angin.
4.  Roh yang berhubungan dengan kelompok-kelompok sosial seperti dewa-dewi, setan, malaikat.
Kepercayaan pada roh termasuk suatu rasa kebutuhan bentuk komunikasi dengan menanggalkan kejahatan, menghilangkan musibah, atau menjamin kesejahteraan. Banyak suku bangsa yang mempercayai roh dan menyembahnya, bahkan dijadikan sebagai suatu yang suci. Dengan menyembah kepada patung, pohon, batu atau tempat yang lainnya sebagai tempat tinggalnya dewa  atau di manapun objek tempat para dewa menampakkan diri. Berkat Tylor kita mengerti bahwa seorang memuja objek material hanya sebagai objek material dan memperlihatkan minatnya dalam membedakan antara symbol material dan kenyataan ilahi yang di simbolkannya. Anggapan yang keliru bahwa roh mempunyai watak yamg sama dengan manusia yang secara haqiqi, seolah-olah bahwa roh dapat mempunyai kodrat seperti dengan jiwa manusia. Menurut Tylor ada tiga macam kepercayaan umum animisme tentang jiwa setelah meninggal dari tahap awalnya. Pertama kepercayaan bahwa jiwa melayang-melayang di atas bumi dan mempunyai kepentingan dengan yang hidup. Kedua kepercayaan pada metapsikosis yaitu dari jiwa ke dalam mahkluk-mahkluk lain, manusia, hewan, dan tumbuhan. Ketiga konsep mengenai tempat istimewa dalam dunia lain, yaitu seperti kepulauan di barat, dunia bawah tanah, gunung-gunung, dam surga. Menurut Tylor gagasan seperti ini menujukan pada tatanan yang lebih tinggi dari mahkluk-mahkluk rohani yang disebut “manes”. Yakni jiwa-jiwa yang dalam bentuk aslinya, tetapi telah ditingkatkan kepada bentuk tahap iblis atau dewa-dewa. Kemudian dari konsep tersebut mulai muncullah pemujaan kepada manes tersebut.
Tylor menjelaskan bahwa awal mula kepercayaan religius manusia berbentuk
animisme; kepercayaan kepada roh-roh pribadi yang kuasanya terbatas pada area
tertentu dan sifatnya spesifik. Konteksnya ialah manusia pada kebudayaan ini masih
hidup memburu, mengumpulkan dan tinggal pada desa yang sederhana; disebut juga
masa “savage stage”. Pemeluk animisme mengasosiasikan segala sesuatu yang
menurut mereka pantas, sebagai roh. Sungai yang menyuplai kebutuhan perairan
orang pedalaman, dianggap sebagai roh. Seiring waktu, manusia pada tahap
kepercayaan ini meyakini bahwa roh yang ia percayai tidak hanya terikat pada
dirinya, melainkan roh itu memperoleh identitas dan karakternya sendiri. Dewi hutan
diyakini menetap di hutan sebagai tempatnya berdiam, dalam waktu yang lebih
kemudian, penganut animisme mempercayai bahwa dewi hutan tidak hanya menetap
di hutan, melainkan dapat pergi kemana saja yang ia inginkan.

Penyangkalan atas Animisme dan Perkembangan Pemikirannya

Peradaban yang tinggi sering dikaitkan dengan “agama yang tinggi”. Tylor

mengatakan bahwa manusia dalam pencariannya mengerti kejadian-kejadian

misterius yang tak dapat dijelaskan oleh akal budi, dilakukanlah usaha untuk

memahaminya secara dinamis, yakni lewat agama dan sains. Keduanya sebagai
bentuk usaha manusia dalam pencariannya memahami bagaimana “sesuatu” bekerja.
Sebagai kontras, agama yang lebih dulu ada, tepatnya kepercayaan primitif, akan
sulit jika dikaitkan korelasinnya dengan sains (Tylor, 1996: 28). Kepercayaan bahwa
adanya roh yang bersemanyam di balik tumbuhan yang besar saat malam, dengan
jelas dapat disangkal oleh sains. Seorang ahli botani dapat menjelaskan bahwa
berkembangnya tumbuhan menjadi besar saat malam hari bukanlah perbuatan dari
roh, melainkan oleh proses etiolasi.1 Pada era modern, animisme tidak lagi mendapat
tempat yang “nyaman”, tentu oleh hadirnya sains yang meneliti kebenaran dari
tiap-tiap agama. Tidak sepenuhnya animisme diasingkan dari status quo, ada
beberapa prinsip-prinsip etis yang sesuai dan berguna bagi zaman modern ini,
meskipun kepercayaan kepada roh-roh harus dihilangkan. 2 Tylor kemudian
menyebut animisme sebagai pemikiran “kekanakan” dari peradaban karena
kepercayaannya yang tidak lagi relevan bagi era pasca-modern ini.

2.       Animatisme
Animatisme merupakan kepercayaan atau teori untuk menjelaskan asal-usul historis dari agama. Manusia primitif telah mengetahui mengenai daya pembaharu yang berada dalam alam sebelum menjadikan dirinya dalam makhluk rohani[1]. Animatisme merupakan kepercayaan mengenai hal supranatural yang berada dalam suatu pribadi, binatang, dan objek tertentu. Kekuatan ini bisa dipindahkan dari satu pribadi atau objek ke pribadi atau objek lain[2]. Hal supranatural dalam hal ini adalah daya yang bersifat transenden.
Daya di Melanesia, Polinesia, dan amerika utara disebut dengan mana. Mana merupakan energi yang menggerakan sesuatu. Mana merupakan istilah Oceania dan Codringtong yang berarti “daya rohani”, “daya magis”, atau “pengaruh adikodrati”[3]. Mana didapatkan dengan meminta pada Roh dan membuat manusia mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya. Mana dapat dikembangan dengan kemampuan untuk mengendalikan daya yang telah diberikan oleh roh.
Mana melanesia dan polynesia dapat didapati dengan mudah. Akan tetapi mana polinesia lebih berbahaya sebab mana ini sangat melekat pada pemiliknya. Bahkan mana ini tidak dapat dilepas, hanya bisa diturunkan ke generasi sedarah dengan pemilik.
Pribumi Jepang juga mengenal mana dengan istilah kami. Akan tetapi kami lebih luas daripada mana karena pemilik kami bisa menyebarkan daya ke orang lain tanpa ada hubungan darah. Makhluk yang mengandung daya kami adalah makhluk transenden, penguasa, kekaisaran, fenomena alam yang tidak biasa seperti gempa dan tsunami, pohon dan batu yang berbentuk aneh, dan gunung Fuji. Kami merupakan kata yang tidak dapat dipribadikan. Abad 16 dan ke 17 kekaisaran jepang menggunakan kami untuk melindungi kerajaan hingga abdinya dari tulah.
Contoh dari agama-agama suku Indian di Amerika Utara dan Kanada yaitu menganggap penting pengelihatan-pengalihatan dan pewahyuan. Pengelihatan tersebut dipandang sebagai roh penjaga. Contoh kedua adalah Wakan dari suku bangsa siou yang merupakan makhluk transenden yang memiliki kekuatan luar biasa. Malinowski berpendapat bahwa magi hanyalah rumusan serta merta saat berada dalam tekanan. Akan tetapi pendapat itu disanggah oleh Raymond Firth bahwa mana merupakan daya tidak berwujud yang menyebar dan mendasari praktik-praktik magis.
3.      Politeisme
             Kebudayaan yang lebih maju “barbaric stage”, memiliki konteks kehidupan manusia yang lebih kompleks dari “savage stage”. Berkembangnya intektualitas manusia berpengaruh pada peradaban pada masa itu. Perkembangan yang khas ditunjukkan lewat majunya pemikiran mengenai pengembangan agrikultur, tata kota, dan juga literatur. Dari segi kepercayaan juga berpengaruh, yakni beralih dari mempercayai roh-roh yang kekuasaannya dibatasi, ke kepercayaan bahwa adanya kuasa roh yang lebih besar dari kuasa roh yang lainnya. Kepercayaan ini lalu disebut sebagai politeisme. Tylor menyebut perkembangan tingkat kebudayaan Yunani “barbaric stage” sebagai suatu era peradaban yang mengambil ahli peradaban “savage stage”.

4.   Pemujaan terhadap leluhur
            Pemujaan leluhur dapat dirumuskan  sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan, dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan, namun banyak orang yang mati tetapi tidak dilahirkan, melainkan dianggap sebagai mahluk berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi. Paul Radin menerangkan penggunaan Antropologis dari istilah itu sebagai pemujaan leluhur adalah penyamaan leluhur, baik secara langsung ataupun tidak langsung, atau dari orang-orang  yang menggantikan  kedudukan leluhur ataupun kepalah rumah tangga titular, dengan roh dewa  serta pemindahan kepada mereka khususnya tindakan dan sikap religious yang biasanya diasasosiasikan dengan pemujaan  roh dan dewa.
             Pemujaan leluhur memainkan peranan yang  amat penting dalam kehidupan suku dahome di samping pemujaan dewa-dewa agung. Para Raja memperoleh status yang sangat di hormati melalui pengenalan terus menerus dengan leluhur mereka yang telah di lewatkan. Dalam kepercayaan Cina, pemujaan leluhur adalah paling kuno dan mempunyai peranan yang paling penting, dalam masyarakat Ariatokrasi terdapat kepercayaan bahwa Roh-roh leluhur mengawasi nasip manusia, memberi hadiah, menghukum menurut jasa, atau kekurangan keturunan mereka, serta menuntut pelayanan dan ketaatan mereka.
Tanda khas dari leluhur adalah bahwa mereka di lantik dengan hak dan autoritas mistis. Orang dapat campur tangan hanya kalau mempunyai autoritas, yakni terhadap keturunan yang menghormati mereka. Para leluhur pada umumnya tampak Ambivalen yaitu suka  menghukum untuk memperlihatkan autoritas mereka yang sah dan murah hati  kalau mereka dimohon. Ada juga saat dimana pemujaan leluhur merupakan tempat yang paling penting dalam upacara solidaritas dan penyesalan kelompok untuk mengembalikan serta memperteguh persahabatan dalam suatu komunitas.

Monotheisme

Sistem kepercayaan dalam politeisme yang kompleks mencapai puncaknya dalam

bentuk dimana satu allah, satu kuasa absolut menaklukkan segala sesuatunya

termasuk allah-allah yang lain. Kepercayaan ini lalu disebut sebagai monoteisme.
Contoh yang paling sesuai membahas monoteisme ialah penganut Yudaisme dan
Kekristenan.



B.     Bahasa Simbol

Totem and Taboo
Totem adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan objek natural atau kepercayaan kepada hewan oleh sekelompok masyarakat untuk memiliki peningkatan spiritual dan mengadopsinya sebagai lambang/simbol. Totem yang ada pada zaman sekarang, merupakan warisan dari masa lalu. Tabu adalah pesan yang ingin disampaikan oleh suku tertentu kepada seseorang atau sesuatu tentang hal-hal yang dilarang. Berdasarkan pengetahuan yang paling tua dan paling kuat terhadap hal-hal yang dianggap tabu, masyarakat pada zaman itu sangat menentang dua hal. Pertama, inses sangat tidak diperbolehkan. Pernikahan benar-benar harus eksogamus, berada diluar keluarga, atau rumpun. Kedua, tidak diperbolehkan makan atau membunuh hewan yang dianggap totem; kecuali kegiatan khusus seperti upacara atau perayaan, saat aturan ini sungguh-sungguh dilanggar, memakan totem juga merupakan hal yang tabu. Ketiga, menurut Freud, tidak ada alasan atau dasar yang jelas untuk mengklasifikasikan hal-hal tertentu menjadi bersifat tabu, tidak ada gunanya membuat hal-hal yang tabu atau menggolongkan sesuatu menjadi tabu, kecuali beberapa orang, dalam waktu tertentu, benar-benar “ingin” melakukannya. Sebenarnya ini adalah kriminalitas yang dicoa dilakukan oleh orang-orang. Jika demikian, mengapa menempatkan kriminalitas pada urutan paling atas? Kenapa membuat orang menjadi sedih dengan membuat peraturan yang sebenarnya tidak ingin dilakukan?
Freud berpendapat bahwa kebiasaan keagamaan manusia hanyalah usaha yang dilakukan secara sengaja. Umat beragama mencoba untuk menjadi rasional tetapi tidak berhasil; ritual mengenai “tabu” dan ritual dari totemisme tidak bisa mencapai apa yang mereka harapkan. Tetapi kemudian ada pertanyaan : Jika mempercayai totem dan tabu adalah sebuah kesalahan, mengapa mereka tetap melakukannya?
Freud menemukan jawabannya secara tidak sengaja. Menurutnya, itu adalah tindakan yang jelas, ditandai dengan “ambivalence”, mereka ingin melakukannya tapi disaat yang sama juga tidak.

Totemisme
Totem berasal dari kata Ojibwa (Suku Algonkin dari Amerika Utara) yaitu totem, tatam, dan dodaim. Totem merupakan patung yang terbuat dari kayu dan batu yang berbentuk hewan dan tumbuhan. Totem digambarkam sebagai fenomena yang mengacu pada hubungan organisasional antar suku. Totem berperan penting yaitu sebagai simbol dalam kelompok dan dianggap sebagai pelindung. Totemisme merupakan fenomena sosial sehingga Totem tidak di puja. Totem hanya dianggap sebagai lambang. Akan tetapi lambang Totem lebih dianggap suci daripada ukiran atau bentuk yang disimbolkan. Selain itu Totem menjadi cermin bagi suatu kelompok.
Dalam upacara totem pengaktualisasian identitas antara totem dan kelompok sangat penting. Ciri utama totem adalah tato. Selain tato, anggota kelonpok menghiasi diri dengan bagian-bagian dari binatang seperti Indian Amerika. Suku-suku asli Australia menganggap semua bagian dari alam merupakan tanda kehidupan dan aktivitas leluhur secara mistis.


C.    Bentuk-bentuk ‘Primitif’ dari Agama

Sigmund Freud menyatakan bahwa agama adalah sebuah ilusi, neurosis, menghalangi pemikiran kritis dan pemenuhan sikap kekanak-kanakan. Ia memandang bahwa agama adalah sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Ini menilik dari arti nama psikoanalisis itu sendiri, yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah perawatan medis bagi orang-orang yang menderita gangguan syaraf. Lebih jauh lagi Freud dan para pengikutnya yang meyakini agama sebagai sesuatu hal yang negatif dan neurotis (sakit saraf/jiwa), sekaligus agama sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Penyebabnya adalah paling tidak ada dua faktor yaitu :
v  Kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok Bapak
            Faktor ini lebih banyak disebabkan oleh adanya pengalaman hidup yang dilalui orang-orang beragama pada usia dini atau kanak-kanak yang menganggap orang tua, terutama bapak yang dengan penuh kasih sayang dapat menenteramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan dan pada akhirnya terciptalah surga buatan baginya. Dengan demikian agama adalah sebuah ilusi menurut Freud.
v  Ritus-ritus wajib yang dijalankan secara rumit
 Tidak dapat kita pungkiri adanya sejumlah aturan-aturan di dalam agama dan upacara-upacara keagamaan lainnya. Maka tidak heran jika Freud memandang agama adalah gejala neurosis atau penyakit jiwa dimana ketika manusia yang pada dasarnya adalah makhluk yang bebas lalu dengan adanya agama manusia menjadi makhluk yang terbatas dengan banyaknya aturan yang harus ditaati di dalam agama. Baginya dengan adanya agama malah akan membatasi manusia untuk bertindak sesuai keinginannya atau dengan kata lain terkekang oleh agama. Maka tidak heran jika hanya orang gilalah yang mau untuk dikekang oleh aturan agama, sedangkan dia sendiri dapat memutuskan bagi dirinya untuk hidup bebas.
          Agama juga digambarkan berupa kekuatan untuk membela dan bertahan atau mental defense dalam menghadapi segala musibah seperti bencana alam yakni gempa bumi, banjir, penyakit, dan lain sebagainya. Manusia beragama ketika dalam masalah seperti ini dipandang oleh Freud sebagai anak-anak yang kemudian lantas mencari perlindungan kepada bapaknya. Itulah salah satu alasan dari Freud yang memandang bahwa agama merupakan pemuasan keinginan kekanak-kanakan.

Sihir dan Agama
Frazers menamakan sihir sebagai “sympathetic magic” didasarkan oleh pemahaman
orang primitif bahwa alam bekerja oleh simpati dari alam itu sendiri atau pengaruh
kuasa diluar alam. Frazer menyebut sihir sebagai sesuatu yang menghubungkan
sesuatu berdasarkan konsep imitatif, prinsip persamaan (principle of similarity) dan
konsep contact, prinsip keterikatan (principle of attachment). Konsep imitatif  menggunakan sebuah objek yang dijadikan sebagai media  untuk melakukan sihir pada target yang ingin disihir oreang tersebut. Magic dipandang sebagai sains palsu karena hukum imitatif dan contact yang tidak berlaku status quo. Sihir dan agama dalam satu ekstrem memiliki satu persamaan, yaitu mempercayaiadanya kuasa diluar kuasa manusia.
Meskipun begitu, Frazer tidak banyak membahas Tylor mengatakan bahwa animisme harus dihilangkan karena sistem dan ajaran yang tidak lagi relevan dengan konteks pada zaman post-modern saat ini. Penulis menggunakan bahasa Inggris dalam menjelaskan “contact” karena ketidakcocokan pengertian jika kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. tentang persamaan, melainkan pada perbedaan. Termasuk di dalamnya, agama yang menolak dengan tegas prinsip sihir. Prinsip yang pada hakekatnya menggunakankuasa untuk kepentingan sendiri. Penyihir  menggunakan mantra untuk “mengendalikan” atau “merubah” jalannya alam. Sebagai contoh, memanggil hujan saat musim kemarau dan mengharuskan agar sihir itu sukses jika ritual/proses dilakukan dengan benar. Sebaliknya, orang-orang beragama meyakini bahwa kuasa terbesar yang ada di dunia bukanlah didasarkan pada prinsip sihir, dan bahwa manusia sebagai makhluk yang lebih rendah dari allah, harus memiliki sikap kepasrahan dimana manusia meyakini bahwa allah lah yang berkuasa, manusia tidak), serta sikap memahami ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan jalannya alam, bahwa ada kuasa yang mengendalikan jalannya alam, yang diyakini sebagai allah.

Ilah-ilah Agrikultural
Penyembahan kepada allah-allah tersebar luas pada peradaban kuno termasuk di

dalamnya wilayah Mesir, Yunani dan Roma dimana orang-orang pada waktu itu

mulai mendalami ilmu agrikultural lebih lanjut. Pemahaman terhadap agrikultural

kemudian dikaitkan dengan allah atau dewa yang dipercayai memiliki latar belakang
serta peranan yang penting perihal dari segi agrikulturalnya. Dewa Osiris,
personifikasi dari gandum, cerita dimana badannya yang telah diamputasi,
disebarkankan lalu dibiarkan membusuk di tanah, lalu pada waktu yang lebih
kemudian dijadikan sebagai mitos. Mitos ini membawa cerita bahwa walaupun
bibit-bibit yang sudah mati, jika ditanam pada wilayah dimana badannya Osiris
berada, bibit tersebut akan tumbuh lagi. Ritual berbau sexual, kematian, reinkarnasi
dan yang lainnya dilakukan demi kepentingan mereka yang mempercayainya dengan
harapan bahwa semua ritual yang dilakukan dapat bermanfaat bagi keberlangsungan
hidup manusia.

                                                                                  
Urmonoteisme
Urmonoteisme merupakan pandangan yang bersifat evolutif mengenai sejarah agama yang melihat agama sebagai pengembangan dari bentuk-bentuk kepercayaan yang paling sederhana, seperti: animisme, animatisme, totemisme, kearah bentuk yang lebih tinggi seperti, politeisme dan akhirnya monotheism. Andew Lang  dan Wilhem Schmidt  sangat  tidak mendukung bahkan menolak teori evolusionis semacam itu dan berusaha memperlihatkan bahwa ada sesuatu  monoteisme orisinal di antara orang-orang primitif. Andrew Lang pernah menyimpulkan dari evidensi sebagai suku bangsa yang sederhana, yang masih hidup. Bahwa dewa tertinggi (high god) atau ”bapa segala sesuatu“ (all father) sudah hadir di antara mereka dalam kondisi yang murni, tanpa pengaruh sedikitpun dari dunia barat. 
            Pater  Wilhelm Schmidt mengirim etnolognya ke suku-suku Fuegi, Negrillo dari Ruanda dan mereka memastikan adanya fakta bahwa orang-orang primitif memang  mempunyai suatu kepercayaan akan yang Maha Tinggi, sebagai pencipta dan pemberi hukum. Pater Schmidt menjelaskan bahwa adanya kepercayaan primitif akan yang maha tertinggi barang kali berkaitan dengan sesuatu perwahyuan  primordial  pada awal mula dari segala sesuatu, ketika Tuhan mewahyukan diri kepada manusia. W Koppers melanjutkan karya Pater Schmidt untuk membawa lebih Jauh bukti-bukti atau konfirmasi adanya monoteisme primitif.
            Kadang-kadang konsep mengenai dewa di antara orang primitif di golongkan dalam monolatri atau henoteisme karena sejumlah dewa-dewa yang lain tetap di kenal meskipun hanya dalam tataran yang lebih rendah dibanding dewa tertinggi.
             Kita dapat membedakan dua macam monoteisme, yaitu: eksplisit dan implisit. Monoteisme eksplisit adalah kepercayaan hanya pada satu Tuhan dengan mengecualikan semua tuhan lain dan monoteisme implisit adalah kepercayaan akan satu tuhan. Suatu bentuk monoteisme dari agama dapat bersifat primitif, dalam arti bahwa hal itu  dapat di lacak pada kepercayaan primitif mengenai adanya dewa tertinggi, tetapi hal itu juga dapat bersifat sekunder, kalau merupakan hasil dari penyatuan beberapa dewa lokal penyatuan semacam ini dapat bersifat polotis.




[1] Hal 70
[2] Hal 70
[3] Hal 71

No comments:

Post a Comment

Pendalaman Alkitab dari Kitab Habakuk 1:12-17

Bahan Pendalaman Alkitab Habakuk 1:12-17 Pendahuluan Sebelum kita mengarah kepada isi dari perikop yang akan saya bahas, izinkan sa...