Asal-usul
Religi, Bahasa Simbol, Bentuk-bentuk ‘primitif’ dari Agama
A.
Asal Usul Religi
Religi dengan
uraian tentang perkembangan religi, dimulai dari asal mulanya dan dibuat
berdasarkan pemahaman evolusionisme. Pada tahap pertama adalah animisme yang
pada dasarnya merupakan keyakinan kepada roh-roh yang mendiami alam semesta
sekeliling tempat tinggal manusia. Hal tersebut merupakan bentuk religi yang
tertua. Tahap kedua dalam evolusi religi, manusia yakin bahwa proses kerja alam
disebabkan oleh adanya jiwa dibelakang peristiwa-peristiwa dan gejala gejala
alam itu. Jiwa alam itu kemudian dipersonifikasikan dan dianggap sebagai
makhluk yang memiliki suatu kepribadian dengan kemauan dan pikiran yang disebut
dengan dewa alam. Pada tahap ketiga, timbul keyakinan bahwa dewa-dewa alam itu
digerakan oleh dewa tertinggi. Akibat dari keyakinan itu adalah berkembangnya
keyakinan kepada satu tuhan dan timbulnya religi-religi yang bersifat
monoteisme sebagai tahap terakhir dalam evolusi religi manusia. Berikut penulis
memaparkan bentuk kepercayaan kuno sampai ke kepercayaan-kepercayaan
modern.
1. Animisme
Animisme yang di pahami oleh E.B. Taylor mempunyai
dua arti. Yang pertama, yaitu sebagai suatu sistem kepercayaan di mana manusia
religius, orang-orang primitif membubuhkan jiwa pada manusia dan pada benda
mati atau hewan. Kedua, animisme sebagai jiwa manusia yang merupakan akibat pemikiran
tentang beberapa pengalaman psikis manusia seperti mimpi dan ide tentang
mahkluk-mahkluk yang berjiwa, yang di turunkan berdasarkan ide tentang jiwa
manusia. Tylor memperkenalkan istilah animisme untuk menyebutkan semua
kepercayaan terhadap mahkluk-mahkluk berjiwa. Ada dua bentuk dalam mempercayai
mahkluk-mahkluk yang berjiwa, yaitu manusia mempercayai bahwa manusia mempunyai
jiwa yang tetap bertahan sesudah kematian dan kepercayaan bahwa ada
mahkluk-mahkluk berjiwa lainnya (mahkluk yang di pribadikan). Animisme juga mau
menjelaskan yaitu tentang keadaan lahir dan batin, tidur, terjaga, trance atau
keadaan tidak sadarkan diri, penyakit, hidup, mati, dan penglihatan. Hal-hal
ini bsa terjadi kalau seseorang meninggal, sesuatu tampaknya meninggalkan tubuhnya.
Bisa juga dalam mimpi orang yang melihat orang lain dalam mimpinya dan juga
bisa melihat mereka dalam keadaan-keadaan yang aneh. Dari semua pengalaman ini
orang akan mengandaikan bahwa jiwa bisa meninggalkan tubuhnya untuk sementara
waktu atau selamanya dan pergi ke tempat lain. Hal ini yang memunculkan upacara
untuk orang mati terutama dalam bentuk pemujaan leluhur. Setelah itu manusia
mulai sampai pada ide tentang jiwa yang terpisah dan menumbuhkan tentang
mahkluk perasa. Tetapi bagi Tylor bahwa ide tersebut seperti model atau
kerangka dari manusia primitif.
Namun teori seperti ini mempunyai kekurangan
evidensi dan bukti dan mengenai cara berpikir orang primitif cara ini adalah
keliru. Fenomena religius, animisme bersifat secara universal ada dalam semua
agama. Animisme juga biasa di kaitkan pada mahkluk yang adikodrati (melebihi
atau di luar kodrat alam, supernatural). Ada empat macam roh yaitu :
1. Roh
yang berhubungan dengan manusia, yaitu jiwa-jiwa yang meninggal secara tak
wajar, roh leluhur, roh jahat.
2. Roh
yang berhubungan dengan objek-objek alamiah bukan manusia, yaitu seperti air
terjun, pohon yang berbentuk aneh, roh yang berbahaya.
3. Roh
yang berhubungan dengan kekuatan alam seperti kilat, banjir, angin.
4. Roh
yang berhubungan dengan kelompok-kelompok sosial seperti dewa-dewi, setan,
malaikat.
Kepercayaan pada roh termasuk suatu rasa kebutuhan
bentuk komunikasi dengan menanggalkan kejahatan, menghilangkan musibah, atau
menjamin kesejahteraan. Banyak suku bangsa yang mempercayai roh dan
menyembahnya, bahkan dijadikan sebagai suatu yang suci. Dengan menyembah kepada
patung, pohon, batu atau tempat yang lainnya sebagai tempat tinggalnya
dewa atau di manapun objek tempat para
dewa menampakkan diri. Berkat Tylor kita mengerti bahwa seorang memuja objek material
hanya sebagai objek material dan memperlihatkan minatnya dalam membedakan
antara symbol material dan kenyataan ilahi yang di simbolkannya. Anggapan yang
keliru bahwa roh mempunyai watak yamg sama dengan manusia yang secara haqiqi,
seolah-olah bahwa roh dapat mempunyai kodrat seperti dengan jiwa manusia.
Menurut Tylor ada tiga macam kepercayaan umum animisme tentang jiwa setelah
meninggal dari tahap awalnya. Pertama kepercayaan bahwa jiwa melayang-melayang
di atas bumi dan mempunyai kepentingan dengan yang hidup. Kedua kepercayaan
pada metapsikosis yaitu dari jiwa ke
dalam mahkluk-mahkluk lain, manusia, hewan, dan tumbuhan. Ketiga konsep
mengenai tempat istimewa dalam dunia lain, yaitu seperti kepulauan di barat,
dunia bawah tanah, gunung-gunung, dam surga. Menurut Tylor gagasan seperti ini
menujukan pada tatanan yang lebih tinggi dari mahkluk-mahkluk rohani yang
disebut “manes”. Yakni jiwa-jiwa yang
dalam bentuk aslinya, tetapi telah ditingkatkan kepada bentuk tahap iblis atau
dewa-dewa. Kemudian dari konsep tersebut mulai muncullah pemujaan kepada manes
tersebut.
Tylor
menjelaskan bahwa awal mula kepercayaan religius manusia berbentuk
animisme; kepercayaan kepada roh-roh pribadi yang kuasanya terbatas pada area
tertentu dan sifatnya spesifik. Konteksnya ialah manusia pada kebudayaan ini masih
hidup memburu, mengumpulkan dan tinggal pada desa yang sederhana; disebut juga
masa “savage stage”. Pemeluk animisme mengasosiasikan segala sesuatu yang
menurut mereka pantas, sebagai roh. Sungai yang menyuplai kebutuhan perairan
orang pedalaman, dianggap sebagai roh. Seiring waktu, manusia pada tahap
kepercayaan ini meyakini bahwa roh yang ia percayai tidak hanya terikat pada
dirinya, melainkan roh itu memperoleh identitas dan karakternya sendiri. Dewi hutan
diyakini menetap di hutan sebagai tempatnya berdiam, dalam waktu yang lebih
kemudian, penganut animisme mempercayai bahwa dewi hutan tidak hanya menetap
di hutan, melainkan dapat pergi kemana saja yang ia inginkan.
animisme; kepercayaan kepada roh-roh pribadi yang kuasanya terbatas pada area
tertentu dan sifatnya spesifik. Konteksnya ialah manusia pada kebudayaan ini masih
hidup memburu, mengumpulkan dan tinggal pada desa yang sederhana; disebut juga
masa “savage stage”. Pemeluk animisme mengasosiasikan segala sesuatu yang
menurut mereka pantas, sebagai roh. Sungai yang menyuplai kebutuhan perairan
orang pedalaman, dianggap sebagai roh. Seiring waktu, manusia pada tahap
kepercayaan ini meyakini bahwa roh yang ia percayai tidak hanya terikat pada
dirinya, melainkan roh itu memperoleh identitas dan karakternya sendiri. Dewi hutan
diyakini menetap di hutan sebagai tempatnya berdiam, dalam waktu yang lebih
kemudian, penganut animisme mempercayai bahwa dewi hutan tidak hanya menetap
di hutan, melainkan dapat pergi kemana saja yang ia inginkan.
Penyangkalan atas Animisme dan Perkembangan Pemikirannya
Peradaban yang tinggi sering dikaitkan dengan “agama yang tinggi”.
Tylor
mengatakan bahwa manusia dalam pencariannya mengerti kejadian-kejadian
misterius yang tak dapat dijelaskan oleh akal budi, dilakukanlah usaha untuk
memahaminya secara dinamis, yakni lewat agama dan sains. Keduanya sebagai
bentuk usaha manusia dalam pencariannya memahami bagaimana “sesuatu” bekerja.
Sebagai kontras, agama yang lebih dulu ada, tepatnya kepercayaan primitif, akan
sulit jika dikaitkan korelasinnya dengan sains (Tylor, 1996: 28). Kepercayaan
bahwa
adanya roh yang bersemanyam di balik tumbuhan yang besar saat malam, dengan
jelas dapat disangkal oleh sains. Seorang ahli botani dapat menjelaskan bahwa
berkembangnya tumbuhan menjadi besar saat malam hari bukanlah perbuatan dari
roh, melainkan oleh proses etiolasi.1 Pada era modern, animisme tidak lagi
mendapat
tempat yang “nyaman”, tentu oleh hadirnya sains yang meneliti kebenaran dari
tiap-tiap agama. Tidak sepenuhnya animisme diasingkan dari status quo,
ada
beberapa prinsip-prinsip etis yang sesuai dan berguna bagi zaman modern ini,
meskipun kepercayaan kepada roh-roh harus dihilangkan. 2 Tylor kemudian
menyebut animisme sebagai pemikiran “kekanakan” dari peradaban karena
kepercayaannya yang tidak lagi relevan bagi era pasca-modern ini.
2.
Animatisme
Animatisme merupakan kepercayaan atau teori untuk
menjelaskan asal-usul historis dari agama. Manusia primitif telah mengetahui
mengenai daya pembaharu yang berada dalam alam sebelum menjadikan dirinya dalam
makhluk rohani[1].
Animatisme merupakan kepercayaan mengenai hal supranatural yang berada dalam
suatu pribadi, binatang, dan objek tertentu. Kekuatan ini bisa dipindahkan dari
satu pribadi atau objek ke pribadi atau objek lain[2].
Hal supranatural dalam hal ini adalah daya yang bersifat transenden.
Daya di Melanesia, Polinesia, dan amerika utara
disebut dengan mana. Mana merupakan energi yang menggerakan
sesuatu. Mana merupakan istilah Oceania dan Codringtong yang berarti “daya
rohani”, “daya magis”, atau “pengaruh adikodrati”[3]. Mana didapatkan dengan meminta pada Roh
dan membuat manusia mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya. Mana dapat dikembangan dengan kemampuan
untuk mengendalikan daya yang telah diberikan oleh roh.
Mana melanesia dan polynesia dapat didapati dengan
mudah. Akan tetapi mana polinesia lebih berbahaya sebab mana ini sangat melekat
pada pemiliknya. Bahkan mana ini tidak dapat dilepas, hanya bisa diturunkan ke
generasi sedarah dengan pemilik.
Pribumi Jepang juga mengenal mana dengan istilah kami.
Akan tetapi kami lebih luas daripada mana karena pemilik kami bisa menyebarkan daya ke orang lain tanpa ada hubungan darah.
Makhluk yang mengandung daya kami adalah
makhluk transenden, penguasa, kekaisaran, fenomena alam yang tidak biasa
seperti gempa dan tsunami, pohon dan batu yang berbentuk aneh, dan gunung Fuji.
Kami merupakan kata yang tidak dapat
dipribadikan. Abad 16 dan ke 17 kekaisaran jepang menggunakan kami untuk melindungi kerajaan hingga
abdinya dari tulah.
Contoh dari agama-agama suku Indian di Amerika Utara
dan Kanada yaitu menganggap penting pengelihatan-pengalihatan dan pewahyuan.
Pengelihatan tersebut dipandang sebagai roh penjaga. Contoh kedua adalah Wakan
dari suku bangsa siou yang merupakan makhluk transenden yang memiliki kekuatan
luar biasa. Malinowski berpendapat bahwa magi hanyalah rumusan serta merta saat
berada dalam tekanan. Akan tetapi pendapat itu disanggah oleh Raymond Firth
bahwa mana merupakan daya tidak berwujud yang menyebar dan mendasari
praktik-praktik magis.
3.
Politeisme
Kebudayaan yang lebih maju “barbaric stage”, memiliki konteks kehidupan manusia yang lebih kompleks dari “savage stage”. Berkembangnya intektualitas manusia berpengaruh pada peradaban pada masa itu. Perkembangan yang khas ditunjukkan lewat majunya pemikiran mengenai pengembangan agrikultur, tata kota, dan juga literatur. Dari segi kepercayaan juga berpengaruh, yakni beralih dari mempercayai roh-roh yang kekuasaannya dibatasi, ke kepercayaan bahwa adanya kuasa roh yang lebih besar dari kuasa roh yang lainnya. Kepercayaan ini lalu disebut sebagai politeisme. Tylor menyebut perkembangan tingkat kebudayaan Yunani “barbaric stage” sebagai suatu era peradaban yang mengambil ahli peradaban “savage stage”.
Kebudayaan yang lebih maju “barbaric stage”, memiliki konteks kehidupan manusia yang lebih kompleks dari “savage stage”. Berkembangnya intektualitas manusia berpengaruh pada peradaban pada masa itu. Perkembangan yang khas ditunjukkan lewat majunya pemikiran mengenai pengembangan agrikultur, tata kota, dan juga literatur. Dari segi kepercayaan juga berpengaruh, yakni beralih dari mempercayai roh-roh yang kekuasaannya dibatasi, ke kepercayaan bahwa adanya kuasa roh yang lebih besar dari kuasa roh yang lainnya. Kepercayaan ini lalu disebut sebagai politeisme. Tylor menyebut perkembangan tingkat kebudayaan Yunani “barbaric stage” sebagai suatu era peradaban yang mengambil ahli peradaban “savage stage”.
4.
Pemujaan terhadap leluhur
Pemujaan
leluhur dapat dirumuskan sebagai suatu
kumpulan sikap, kepercayaan, dan praktik berhubungan dengan pendewaan
orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam
hubungan kekeluargaan, namun banyak orang yang mati tetapi tidak dilahirkan,
melainkan dianggap sebagai mahluk berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi.
Paul Radin menerangkan penggunaan Antropologis dari istilah itu sebagai
pemujaan leluhur adalah penyamaan leluhur, baik secara langsung ataupun tidak
langsung, atau dari orang-orang yang
menggantikan kedudukan leluhur ataupun
kepalah rumah tangga titular, dengan roh dewa
serta pemindahan kepada mereka khususnya tindakan dan sikap religious
yang biasanya diasasosiasikan dengan pemujaan
roh dan dewa.
Pemujaan leluhur memainkan peranan
yang amat penting dalam kehidupan suku
dahome di samping pemujaan dewa-dewa agung. Para Raja memperoleh status yang
sangat di hormati melalui pengenalan terus menerus dengan leluhur mereka yang
telah di lewatkan. Dalam kepercayaan Cina, pemujaan leluhur adalah paling kuno
dan mempunyai peranan yang paling penting, dalam masyarakat Ariatokrasi
terdapat kepercayaan bahwa Roh-roh leluhur mengawasi nasip manusia, memberi
hadiah, menghukum menurut jasa, atau kekurangan keturunan mereka, serta
menuntut pelayanan dan ketaatan mereka.
Tanda khas dari leluhur
adalah bahwa mereka di lantik dengan hak dan autoritas mistis. Orang dapat
campur tangan hanya kalau mempunyai autoritas, yakni terhadap keturunan yang
menghormati mereka. Para leluhur pada umumnya tampak Ambivalen yaitu suka menghukum untuk memperlihatkan autoritas
mereka yang sah dan murah hati kalau
mereka dimohon. Ada juga saat dimana pemujaan leluhur merupakan tempat yang
paling penting dalam upacara solidaritas dan penyesalan kelompok untuk
mengembalikan serta memperteguh persahabatan dalam suatu komunitas.
Monotheisme
Sistem kepercayaan
dalam politeisme yang kompleks mencapai puncaknya dalam
bentuk dimana satu allah, satu kuasa absolut menaklukkan segala sesuatunya
termasuk allah-allah yang lain. Kepercayaan ini lalu disebut sebagai
monoteisme.
Contoh yang paling sesuai membahas monoteisme ialah penganut Yudaisme dan
Kekristenan.
B. Bahasa
Simbol
Totem
and Taboo
Totem adalah istilah yang digunakan untuk
menyebutkan objek natural atau kepercayaan kepada hewan oleh sekelompok
masyarakat untuk memiliki peningkatan spiritual dan mengadopsinya sebagai
lambang/simbol. Totem yang ada pada zaman sekarang, merupakan warisan dari masa
lalu. Tabu adalah pesan yang ingin disampaikan oleh suku tertentu kepada
seseorang atau sesuatu tentang hal-hal yang dilarang. Berdasarkan pengetahuan
yang paling tua dan paling kuat terhadap hal-hal yang dianggap tabu, masyarakat
pada zaman itu sangat menentang dua hal. Pertama, inses sangat tidak
diperbolehkan. Pernikahan benar-benar harus eksogamus, berada diluar keluarga,
atau rumpun. Kedua, tidak diperbolehkan makan atau membunuh hewan yang dianggap
totem; kecuali kegiatan khusus seperti upacara atau perayaan, saat aturan ini
sungguh-sungguh dilanggar, memakan totem juga merupakan hal yang tabu. Ketiga,
menurut Freud, tidak ada alasan atau dasar yang jelas untuk mengklasifikasikan
hal-hal tertentu menjadi bersifat tabu, tidak ada gunanya membuat hal-hal yang
tabu atau menggolongkan sesuatu menjadi tabu, kecuali beberapa orang, dalam
waktu tertentu, benar-benar “ingin” melakukannya. Sebenarnya ini adalah
kriminalitas yang dicoa dilakukan oleh orang-orang. Jika demikian, mengapa
menempatkan kriminalitas pada urutan paling atas? Kenapa membuat orang menjadi
sedih dengan membuat peraturan yang sebenarnya tidak ingin dilakukan?
Freud berpendapat bahwa kebiasaan keagamaan manusia
hanyalah usaha yang dilakukan secara sengaja. Umat beragama mencoba untuk
menjadi rasional tetapi tidak berhasil; ritual mengenai “tabu” dan ritual dari
totemisme tidak bisa mencapai apa yang mereka harapkan. Tetapi kemudian ada
pertanyaan : Jika mempercayai totem dan tabu adalah sebuah kesalahan, mengapa
mereka tetap melakukannya?
Freud
menemukan jawabannya secara tidak sengaja. Menurutnya, itu adalah tindakan yang
jelas, ditandai dengan “ambivalence”,
mereka ingin melakukannya tapi disaat yang sama juga tidak.
Totemisme
Totem berasal dari kata Ojibwa (Suku Algonkin dari
Amerika Utara) yaitu totem, tatam, dan dodaim. Totem merupakan patung yang
terbuat dari kayu dan batu yang berbentuk hewan dan tumbuhan. Totem digambarkam
sebagai fenomena yang mengacu pada hubungan organisasional antar suku. Totem
berperan penting yaitu sebagai simbol dalam kelompok dan dianggap sebagai
pelindung. Totemisme merupakan fenomena sosial sehingga Totem tidak di puja.
Totem hanya dianggap sebagai lambang. Akan tetapi lambang Totem lebih dianggap
suci daripada ukiran atau bentuk yang disimbolkan. Selain itu Totem menjadi
cermin bagi suatu kelompok.
Dalam upacara totem pengaktualisasian identitas
antara totem dan kelompok sangat penting. Ciri utama totem adalah tato. Selain
tato, anggota kelonpok menghiasi diri dengan bagian-bagian dari binatang
seperti Indian Amerika. Suku-suku asli Australia menganggap semua bagian dari
alam merupakan tanda kehidupan dan aktivitas leluhur secara mistis.
C. Bentuk-bentuk
‘Primitif’ dari Agama
Sigmund Freud menyatakan bahwa agama
adalah sebuah ilusi, neurosis, menghalangi pemikiran kritis dan pemenuhan sikap
kekanak-kanakan. Ia memandang bahwa agama adalah
sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Ini menilik dari arti nama
psikoanalisis itu sendiri, yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah
perawatan medis bagi orang-orang yang menderita gangguan syaraf. Lebih jauh
lagi Freud dan para pengikutnya yang meyakini agama sebagai sesuatu hal yang
negatif dan neurotis (sakit saraf/jiwa), sekaligus agama sebagai pemuasan
keinginan kekanak-kanakkan. Penyebabnya adalah paling tidak ada dua faktor
yaitu :
v Kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan
dalam sosok Bapak
Faktor ini lebih banyak disebabkan oleh adanya pengalaman hidup yang dilalui
orang-orang beragama pada usia dini atau kanak-kanak yang menganggap orang tua,
terutama bapak yang dengan penuh kasih sayang dapat menenteramkan anak yang
tidak berdaya dan ketakutan dan pada akhirnya terciptalah surga buatan baginya.
Dengan demikian agama adalah sebuah ilusi menurut Freud.
v Ritus-ritus wajib yang dijalankan
secara rumit
Tidak dapat kita pungkiri adanya sejumlah
aturan-aturan di dalam agama dan upacara-upacara keagamaan lainnya. Maka tidak
heran jika Freud memandang agama adalah gejala neurosis atau penyakit jiwa
dimana ketika manusia yang pada dasarnya adalah makhluk yang bebas lalu dengan
adanya agama manusia menjadi makhluk yang terbatas dengan banyaknya aturan yang
harus ditaati di dalam agama. Baginya dengan adanya agama malah akan membatasi
manusia untuk bertindak sesuai keinginannya atau dengan kata lain terkekang
oleh agama. Maka tidak heran jika hanya orang gilalah yang mau untuk dikekang
oleh aturan agama, sedangkan dia sendiri dapat memutuskan bagi dirinya untuk
hidup bebas.
Agama juga digambarkan berupa kekuatan untuk membela dan bertahan atau mental defense dalam menghadapi segala musibah
seperti bencana alam yakni gempa bumi, banjir, penyakit, dan lain sebagainya.
Manusia beragama ketika dalam masalah seperti ini dipandang oleh Freud sebagai
anak-anak yang kemudian lantas mencari perlindungan kepada bapaknya. Itulah
salah satu alasan dari Freud yang memandang bahwa agama merupakan pemuasan
keinginan kekanak-kanakan.
Sihir
dan Agama
Frazers
menamakan sihir sebagai “sympathetic magic” didasarkan oleh pemahaman
orang primitif bahwa alam bekerja oleh simpati dari alam itu sendiri atau pengaruh
kuasa diluar alam. Frazer menyebut sihir sebagai sesuatu yang menghubungkan
sesuatu berdasarkan konsep imitatif, prinsip persamaan (principle of similarity) dan
konsep contact, prinsip keterikatan (principle of attachment). Konsep imitatif menggunakan sebuah objek yang dijadikan sebagai media untuk melakukan sihir pada target yang ingin disihir oreang tersebut. Magic dipandang sebagai sains palsu karena hukum imitatif dan contact yang tidak berlaku status quo. Sihir dan agama dalam satu ekstrem memiliki satu persamaan, yaitu mempercayaiadanya kuasa diluar kuasa manusia.
orang primitif bahwa alam bekerja oleh simpati dari alam itu sendiri atau pengaruh
kuasa diluar alam. Frazer menyebut sihir sebagai sesuatu yang menghubungkan
sesuatu berdasarkan konsep imitatif, prinsip persamaan (principle of similarity) dan
konsep contact, prinsip keterikatan (principle of attachment). Konsep imitatif menggunakan sebuah objek yang dijadikan sebagai media untuk melakukan sihir pada target yang ingin disihir oreang tersebut. Magic dipandang sebagai sains palsu karena hukum imitatif dan contact yang tidak berlaku status quo. Sihir dan agama dalam satu ekstrem memiliki satu persamaan, yaitu mempercayaiadanya kuasa diluar kuasa manusia.
Meskipun
begitu, Frazer tidak banyak membahas Tylor mengatakan bahwa animisme harus
dihilangkan karena sistem dan ajaran yang tidak lagi relevan dengan konteks
pada zaman post-modern saat ini. Penulis menggunakan bahasa Inggris dalam
menjelaskan “contact” karena ketidakcocokan pengertian jika kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. tentang persamaan, melainkan pada
perbedaan. Termasuk di dalamnya, agama yang menolak dengan tegas prinsip sihir.
Prinsip yang pada hakekatnya menggunakankuasa untuk kepentingan sendiri.
Penyihir menggunakan mantra untuk “mengendalikan”
atau “merubah” jalannya alam. Sebagai contoh, memanggil hujan saat musim
kemarau dan mengharuskan agar sihir itu sukses jika ritual/proses dilakukan
dengan benar. Sebaliknya, orang-orang beragama meyakini bahwa kuasa terbesar
yang ada di dunia bukanlah didasarkan pada prinsip sihir, dan bahwa manusia
sebagai makhluk yang lebih rendah dari allah, harus memiliki sikap kepasrahan
dimana manusia meyakini bahwa allah lah yang berkuasa, manusia tidak), serta
sikap memahami ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan jalannya alam, bahwa
ada kuasa yang mengendalikan jalannya alam, yang diyakini sebagai allah.
Ilah-ilah Agrikultural
Penyembahan kepada
allah-allah tersebar luas pada peradaban kuno termasuk di
dalamnya wilayah Mesir, Yunani dan Roma dimana orang-orang pada waktu itu
mulai mendalami ilmu agrikultural lebih lanjut. Pemahaman terhadap agrikultural
kemudian dikaitkan dengan allah atau dewa yang dipercayai memiliki latar
belakang
serta peranan yang penting perihal dari segi agrikulturalnya. Dewa Osiris,
personifikasi dari gandum, cerita dimana badannya yang telah diamputasi,
disebarkankan lalu dibiarkan membusuk di tanah, lalu pada waktu yang lebih
kemudian dijadikan sebagai mitos. Mitos ini membawa cerita bahwa walaupun
bibit-bibit yang sudah mati, jika ditanam pada wilayah dimana badannya Osiris
berada, bibit tersebut akan tumbuh lagi. Ritual berbau sexual, kematian,
reinkarnasi
dan yang lainnya dilakukan demi kepentingan mereka yang mempercayainya dengan
harapan bahwa semua ritual yang dilakukan dapat bermanfaat bagi keberlangsungan
hidup manusia.
Urmonoteisme
Urmonoteisme merupakan pandangan yang bersifat
evolutif mengenai sejarah agama yang melihat agama sebagai pengembangan dari
bentuk-bentuk kepercayaan yang paling sederhana, seperti: animisme, animatisme,
totemisme, kearah bentuk yang lebih tinggi seperti, politeisme dan akhirnya
monotheism. Andew Lang dan Wilhem Schmidt sangat
tidak mendukung bahkan menolak teori evolusionis semacam itu dan
berusaha memperlihatkan bahwa ada sesuatu
monoteisme orisinal di antara orang-orang primitif. Andrew Lang pernah
menyimpulkan dari evidensi sebagai suku bangsa yang sederhana, yang masih
hidup. Bahwa dewa tertinggi (high god) atau ”bapa segala sesuatu“ (all father)
sudah hadir di antara mereka dalam kondisi yang murni, tanpa pengaruh
sedikitpun dari dunia barat.
Pater Wilhelm Schmidt mengirim etnolognya ke
suku-suku Fuegi, Negrillo dari Ruanda dan mereka memastikan adanya fakta bahwa
orang-orang primitif memang mempunyai
suatu kepercayaan akan yang Maha Tinggi, sebagai pencipta dan pemberi hukum.
Pater Schmidt menjelaskan bahwa adanya kepercayaan primitif akan yang maha
tertinggi barang kali berkaitan dengan sesuatu perwahyuan primordial
pada awal mula dari segala sesuatu, ketika Tuhan mewahyukan diri kepada
manusia. W Koppers melanjutkan karya Pater Schmidt untuk membawa lebih Jauh
bukti-bukti atau konfirmasi adanya monoteisme primitif.
Kadang-kadang konsep mengenai dewa
di antara orang primitif di golongkan dalam monolatri atau henoteisme karena
sejumlah dewa-dewa yang lain tetap di kenal meskipun hanya dalam tataran yang
lebih rendah dibanding dewa tertinggi.
Kita dapat membedakan dua macam
monoteisme, yaitu: eksplisit dan implisit. Monoteisme eksplisit adalah
kepercayaan hanya pada satu Tuhan dengan mengecualikan semua tuhan lain dan
monoteisme implisit adalah kepercayaan akan satu tuhan. Suatu bentuk monoteisme
dari agama dapat bersifat primitif, dalam arti bahwa hal itu dapat di lacak pada kepercayaan primitif
mengenai adanya dewa tertinggi, tetapi hal itu juga dapat bersifat sekunder,
kalau merupakan hasil dari penyatuan beberapa dewa lokal penyatuan semacam ini
dapat bersifat polotis.
No comments:
Post a Comment