Gereja di Jawa Tengah |
1.
Kalau anda akan
menulis sejarah kekristenan setempat apa yang membuat tulisan anda tentang
sejarah kekristenan setempat berbeda dengan yang disajikan kelompok.?
Saya akan memasukkan
data bahwa Jawa Tengah juga ada banyak zending yang bekerja. Di antara
mereka yang pantas diperhitungkan adalah tiga zending, yaitu
DZV, Zending Salatiga (ZS), dan ZGK. Masing-masing zending ini mempunyai
ciri-cirinya sendiri. Untuk jelasnya ada baiknya diberikan contoh dari
masing-masing sebagai tersebut di bawah.
DZV adalah zending
konfesional dari aliran Mennonite, yang ditandai oleh ciri menjauhi kehidupan
politik dan budaya, memantangkan pemakaian kekerasan, mementingkan otonomi
jemaat-jemaat tersendiri, dan mempertahankan disiplin gerejawi yang ketat.
Perlu dicatat bahwa dalam hal-hal ini -- kecuali yang kedua – golongan
Mennonite tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dengan aliran pietis yang
selama abad ke-19 merupakan unsur penting dalam badan-badan zending Belanda
lainnya, kecuali bahwa DZV hanya mengakui adanya baptisan dewasa yang
justru ditolak oleh badan-badan zending Belanda lainnya.
ZS
memperlihatkan ciri-ciri umum zending pietis tetapi dengan warna khas. Warna
khas tersebut nampak jelas dalam kenyataan bahwa SZ menganut
faham faith mission, yaitu bahwa para zendelingnya tidak
bergantung pada sebuah pengurus di tanah air mereka baik secara organisasi
maupun secara keuangan. Sama seperti DZV, SZ menekankan otonomi jemaat-jemaat,
namun berbeda dari DZV yang berusaha mendirikan benteng-benteng Kristen
yang berupa desa-desa Kristen, karena SZ justru mementingkan penyiaran
Injil yang seluas mungkin. Karena itu dapat dimengerti bila medan
pekabaran Injil DZV adalah hanya daerah sekitar Gunung Muria, sedangkan
lapangan pekabaran Injil SZ membentang dari Tegal sampai ke Bojonegoro.
Berbeda dari DZV dan
SZ, ZGK yang bekerja di bagian selatan Jawa Tengah itu adalah zending gerejawi.
Berkenaan dengan itu azas-azas pekabaran Injilnya ditetapkan oleh
Sinode Gereformeerde Kerken in Nederland pada tahun 1896,
yang berbeda dari azas-azas zending pietis abad ke-19
1.
Tujuan pekabaran Injil adalah pertama-tama kemuliaan Allah,
dan bukan menyelamatkan jiwa yang menjadi pusat perhatian.
2.
Pelaku pekabaran Injil adalah jemaat setempat,
dan bukan kelompok sahabat zending atau zending
partikulir seperti yang banyak terjadi pada
abad ke-19.
3.
Usaha zending tidak pertama-tama diarahkan kepada
orang-orang perorangan, melainkan kepa-a sukunya (bangsanya)
dan diawali dari pusat-pusat kehidupan suku (bangsa) itu
4.
Orang-orang yang masuk Kristen
secepat mungkin dikumpulkan jadi jemaat yang
kedudukannya setingkat dengan jemaat induknya di
Belanda dan perlu sedapat mungkin dilayani oleh seorang
pendeta setingkat dengan rekannya pendeta utusan Belanda.
5.
ZGK mengadakan perbedaan tajam antara pelayanan Firman
(baca: pengabaran Injil), sebagai pelayanan utama, dan pelayanan kesehatan,
pendidikan, dan lain-lainnya, sebagai pelayanan penunjang.
Selanjutnya perlu
dicatat bahwa karya DZV di Jawa Tengah menghasilkan dua Gereja.
Pertama, yaitu Patunggilan Pasamoewan Kristen Tata Indjili ing
Karesidenan Pati, Kudus, lan Djepara pada 30 Mei 1940, yang kemudian
diubah menjadi Geredja Indjili di Tanah Djawa (GITD, sejak 1972: GITJ) pada
tahun 1956. Kebanyakan anggotanya adalah orang-orang Jawa. Kedua,
Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee - Khoe Hwee Muria, atau THKTKH –Klasis Muria, pada
tahun 1939, yang kemudian diubah namanya menjadi Geredja Kristen Muria
Indonesia (GKMI) pada tahun 1958. Kebanyakan anggotanya adalah
orang-orang keturunan Tionghoa.
Sedangkan
karya SZ menghasilkan sebuah Gereja yang anggota-anggotanya
kebanyakan adalah orang Jawa, yaitu Geredja Kristen Djawa Tengah Utara
(GKDTU, sejak 1972: GKJTU) yang terbentuk pada tahun 1937. Gereja
ini pada tahun 1949 bersatu dengan GKJ, namun karena berbagai sebab
akhirnya beberapa jemaat asal GKDTU pada tahun 1953 melepaskan diri dari
kesatuan itu dan menyatakan diri sebagai GKDTU lagi. Sebab-sebab yang
dimaksudkan di antaranya adalah: penyusunan tatagereja yang baru oleh
masing-masing tidak terjadi sampai dengan tahun 1953, persoalan harta milik
menjadi masalah yang cukup berat dipecahkan, di samping bahwa di antara
keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok.
Akhirnya wajib
disebutkan bahwa karya ZGK di bagian selatan Jawa Tengah
menghasilkan dua Gereja. Pertama, 31 jemaat yang beranggotakan orang Kristen
Jawa membentuk Pasamoewan Gereformeerd Djawi Tengah pada tahun
1931. Beberapa tahun kemudian sebutan Gereformeerd diganti
sebutan Kristen, sehingga namanya menjadi Geredja-gereja
Kristen Djawi Tengah, yang kelak lebih dikenal sebagai Geredja-geredja
Kristen Djawa (GKD, pada tahun 1972: GKJ). Kedua, jemaat-jemaat Kristen
Tionghoa di bagian selatan Jawa Tengah dikumpulkan dalam
THKTKH-Khoe Hwee Djawa Tengah Selatan (THKTKH-KHDTS) pada tahun 1936 yang
berstatus Klasis. THKTKH-KHDTS ini kemudian bergabung dengan THKTKH-Khoe
Hwee Djawa Tengah Utara (THKTKH-KHDTU) menjadi THKTKH-Thay Hwee
Djawa Tengah, atau sering hanya disebut THKTKH Djawa Tengah, pada tahun 1945
dengan status Sinode. THKTKH Djawa Tengah inilah yang pada tahun 1956 mengubah
namanya menjadi Geredja-gereja Kristen Indonesia Djawa Tengah (GKI
Djateng, pada tahun 1972: GKI Jateng).
2. Jelaskan kritik anda berkaitan dengan respons misi kekristenan saat itu (s.d abad ke-20) terhadap konteks kekristenan setempat dibandingkan dengan model kekristenan setempat saat ini (abad ke-21)?
Dalam abad ke-20, di daerah Jawa Tengah
sama seperti daerah Jawa Barat (dan Jawa Timur) terdapat fasilitas
pendidikan dan lain-lainnya yang telah maju. Karena-nya
daerah-daerah itu pada hakikatnya menjadi tanah yang subur untuk gerakan
nasional dan yang setelah proklamasi paling lama bertahan terhadap usaha
Belanda untuk menegakkan kembali penjajahannya. Hal itu antara lain nampak
dalam kenyataan bahwa gerakan-gerakan lokal yang kemudian bermuara
pada gerakan nasional -- banyak bermunculan di Jawa, di samping bahwa
perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan juga lahir di sini.
No comments:
Post a Comment