Resume
Bab 3 “ Hubungan Aku-Itu dan Aku-Engkau"
Aku dan Engkau |
Salah
satu aspek yang membedakan hubungan “Aku-Itu” dengan “Aku-Engkau” adalah aspek
“pribadi”. Hubungan “Aku-Engkau” merupakan hubungan antar pribadi yang
mempunyai dimensi timbal-balik, sedangkan hubungan “Aku-Itu” bukanlah hubungan
antar pribadi. Karena itu menjadi sangat penting memahami terlebih dahulu
bagaimana pemikirannya mengenai pribadi.
1.
Realitas
dan Proses Pengetahuan
Dalam
teorinya Buber mengatakan bahwa manusia pada dasarnya selalu berhubungan dengan
tiga pihak yang ada di alam dunia ini, yaitu alam termasuk benda-benda yang
lainnya, manusia itu sendiri dan segala sesuatu yang ada di luar kuasa dari manusia itu sendiri “ Yang
Absolut atau Transenden”. Bagi Buber sendiri ketiga hal tersebut bukanlah
sebuah realitas, baginya realitas adalah sebuah ruang antara yang akan terbuka
ketika aku berhubungan dengan ketiganya. Hubungan tersebut tercipta hanya
ketika adanya timbal balik diantara satu sama lain dan realitas sendiri sebagai
“aktualitas” yang merupakan dasar dimana seseorang membangun kehidupan yang
sesungguhnya.
Pengetahuan
manusia akan alam, orang lain dan Tuhan di dapat dari penyatuan pikiran manusia
itu sendiri terhadap tiga objek tersebut yaitu dengan menggunakan perangkat
filosofis yang merupakan sebuah kemampuan pikiran untuk mempresepsi dan
memahami setiap hal yang dijumpainya. Buber membagi proses pengetahuan yang
berlangsung di dalam diri manusia menjadi dua macam, yaitu :
v Proses
yang pertama berlangsung antara subjek dengan objek. Dalam proses ini seseorang
mengategorikan, memilah-milah dan memberikan berbagai label pada objek
pengetahuannya. Suatu objek menjadi objek pengalaman dan objek penggunaan.
Objek tersebut menjadi objek pengalaman karena subjek mengalami langsung
hubungannya dengan objek tersebut. Buber menyebutnya sebagai objek yang
“dialami”. Sementara itu objek juga sekaligus menjadi objek penggunaan, karena
subjeklah yang akan menggunakannya untuk keperluan subjek. Dengan demikian
objek menjadi objek yang “dialami” dan “digunakan”, sedangkan subjek menjadi
subjek yang “mengalami” dan “menggunakan”. Proses ini berlaku sepihak.
v Proses
yang kedua berlangsung antara subjek dengan subjek. Dalam proses ini subjek
menganggap dan memperlakukan baik alam, manusia maupun Tuhan bukan sebagai
objek, melainkan sebagai sesama subjek. Jika dalam proses pengetahuan yang
pertama berlangsung hubungan sepihak, maka dalam proses kedua berlangsung hubungan
timbal balik. Subjek membiarkan diri dibentuk pemahamannya oleh subjek yang
lain. Tidak ada lagi objek yang “dialami”. Objek berubah menjadi subjek
sebagaimana “aku” sebagai subjek. Ia berdiri sebagai subjek yang melakukan
hubungan dengan “aku”. Buber mengistilahkannya dengan “perjumpaan”. Inilah
proses pengetahuan di mana manusia berjumpa dan mengenal dengan subjek lainnya
dalam dunia ini. Ia mengatakan bahwa proses kedua berada dalam sebuah
pengetahuan religius.
Dalam
kedua proses tersebut kita dapat menemukan realitas
terdapat pada proses pengetahuan yang kedua. Melalui proses pengetahuan
yang berlangsung antara subjek dan subjek, realitas hadir dan kedua subjek akan
menyadari bahwa adanya ruang antara dirinya sendiri dengan subjek yang lainnya.
Dalam proses pengetahuan seperti itulah seseorang menjalankan aktualitas di
dunia ini.
2.
Pribadi
dan Ego
Buber memisahkan antara ego dengan
pribadi, dimana ego sendiri lebih bersifat menarik diri atau memisahkan dirinya
dari hubungan dengan yang lain dan hal ini berlawanan dengan pribadi yang
justru malah memasuki hubungan dengan yang lainnya, sehingga tercipta
aktualitas. Ego lebih kepada “mengalami yang lain dan “menggunakan” yang lain,
seperti dalam bahasa kepemilikan, duniaku,
pacarku, sahabatku, dan berbagai hal lainnya. Ego menjadikan dirinya sendiri
sebagai pusat dan menjadi penyombong dengan ke “Aku” an yang selalu merasa
lebih unggul dari orang lain dan menganggap keberadaan orang lain sebagai alat
untuk memenuhi kepentingan diri sendiri.
Dalam pribadi terjadi transformasi yang menghilangkan sikap mengobjekkan
antara yang satu dengan yang lainnya dan hal ini tentunya menghasilkan dialog
antara subjek dengan subjek atau pribadi dengan pribadi. Dalam dialog terjadi
sebuah komunikasi yang akan menjadi sebuah persekutuan dan hal ini
teraktualitas di dalam sebuah komunitas yang dibangun atas dasar perjumpaan
yang timbal balik.
3.
Hubungan
Aku-Itu dan Aku-Engkau
3.1.Hubungan Aku-Itu
Hubungan ini merupakan hubungan yang
sepihak dan bersifat posesif, Aku hanya memihat “Itu” sebagai objek belaka dan
“Itu” sama sekli tidak mempengaruhi aku dan tidak berperan untukku. Aku berada
dalam hubungan “Aku-Itu” adalah aku yang tidak membiarkan “Itu” mempengaruhi
“Aku”. Sifat ini merupakan simbolisasi masa lampau. Kehadiran selalu
menunjukkan proses yang berlangsung terus, yaitu aspek kekinian. Apa yang
menjadi objek senantiasa tidak dapat menyatakan kehadirannya dan objek berada
pada masa lampau. Secara tegas ia mengatakan bahwa di dalam hubungan “Aku-Itu”
tidak ada aspek perjumpaan. Menurutnya hal itu terjadi karena tidak adanya
keterlibatan pribadi yang menyeluruh. Aku menahan diri dan menjaga jarak
terhadap Itu. Aku menganggap Itu sebagai sesuatu yang asing dan melihatnya
hanya dari segi kuantitas. “Aku” menutup diri kepada “Itu” dengan tidak
membiarkan “Itu” ada pada dirinya sendiri melainkan ada menurut pemikiran
“Aku”. Proses seperti itu menutup kemungkinan terjadinya suatu perjumpaan.
Hubungan “Aku-Itu” tidak hanya sebatas
hubungan antara manusia dengan benda-benda mati, tetapi juga alam sekitar,
manusia maupun Tuhan. Dalam dunia filsafat, sebagaimana ilmu pengatahuan
lainnya, hanya ada dua pihak yang berperan, yaitu subjek yang melakukan
observasi, mengalami dan menggunakan yang lain demi kepentingan dirinya sendiri
dan objek yang diobservasi, dialami dan kemudian digunakan subjek demi
kepentingan subjek. Dunia filsafat merupakan dunia di mana hubungan “Aku-Itu” mendapatkan
puncak perhatian. Dalam filsafat terjadi transformasi sempurna “Itu” sebagai
objek. Aku mentranformasikan “Itu” menjadi objek yang terpisah dari essensinya.
Hubungan “Aku-Itu” penting yaitu dalam upaya pengembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan lainnya. Tanpa pola hubungan “Aku-Itu” seseorang tidak akan dapat
hidup. Namun jika seeseorang itu hanya melakukan hubungan “Aku-Itu” seseorang itu
akan kehilangan jati dirinya. Ia akan hidup terasing dan terpisah dari dunia
sekitarnya. Padahal jati dirinya sebagai “ada” (being) hanya dapat diwujudkan bila berada dalam perjumpaan (encounter).
3.2. Hubungan Aku-Engkau
Hubungan ini merupakan hubungan timbal
balik. Hanya “Engkau” yang dapat membalas apa yang aku sampaikan dan hanya
“Engkau” yang dapat memberi kepadaku masukkan sehingga aku bisa mengembangkan
diri. “Aku” bisa berada dalam kehidupan roh, jika “Aku” dapat menanggapi
perjumpaan dengan “Engkau” sebagai subjek yang setara dan membangun “Aku”.
Hubungan “Aku-Engkau” seperti udara yang diperlukan agar manusia dapat bernafas
dan hidup. Dalam hubungan hidup dengan sesama, Buber menegaskan bahwa ketika
Aku berjumpa dengan Engkau, maka Engkau tidak lagi menjdi sebuh objek melainkan
menjadi sebuah subjek. Namun dalam beberapa hal dan situasi tertentu, Aku bisa
saja melihat warna kulitnya saja, namun ketika Aku melakukan hal itu maka orang
tersebut tidak lagi menjadi Engkau, melainkan berubah menjadi “Itu”. Baginya
hal ini sangatlah wajar terjadi, bagaimana tidak manusia tidak akan mungkin
meninggalkan pengetahuan yang dimilikinya, manakala ia berhadapan dengan orang
lain. Segala pengetahuan mengenai berbagai simbol, warna dan bentuk pasti akan
selalu menyertainya. Namun yang penting baginya adalah bagaimana Aku tidak
terus menerus memperlakukan Engkau sebagai “Itu”.
No comments:
Post a Comment