Monday, October 16, 2017

Hubungan Aku-Itu dan Aku-Engkau Dalam Teologi

Resume Bab 3 “ Hubungan Aku-Itu dan Aku-Engkau"


Hasil gambar untuk Hubungan Aku-Itu dan Aku-Engkau dalam teologi
Aku dan Engkau

Salah satu aspek yang membedakan hubungan “Aku-Itu” dengan “Aku-Engkau” adalah aspek “pribadi”. Hubungan “Aku-Engkau” merupakan hubungan antar pribadi yang mempunyai dimensi timbal-balik, sedangkan hubungan “Aku-Itu” bukanlah hubungan antar pribadi. Karena itu menjadi sangat penting memahami terlebih dahulu bagaimana pemikirannya mengenai pribadi.

1.       Realitas dan Proses Pengetahuan
Dalam teorinya Buber mengatakan bahwa manusia pada dasarnya selalu berhubungan dengan tiga pihak yang ada di alam dunia ini, yaitu alam termasuk benda-benda yang lainnya, manusia itu sendiri dan segala sesuatu yang ada di  luar kuasa dari manusia itu sendiri “ Yang Absolut atau Transenden”. Bagi Buber sendiri ketiga hal tersebut bukanlah sebuah realitas, baginya realitas adalah sebuah ruang antara yang akan terbuka ketika aku berhubungan dengan ketiganya. Hubungan tersebut tercipta hanya ketika adanya timbal balik diantara satu sama lain dan realitas sendiri sebagai “aktualitas” yang merupakan dasar dimana seseorang membangun kehidupan yang sesungguhnya.
Pengetahuan manusia akan alam, orang lain dan Tuhan di dapat dari penyatuan pikiran manusia itu sendiri terhadap tiga objek tersebut yaitu dengan menggunakan perangkat filosofis yang merupakan sebuah kemampuan pikiran untuk mempresepsi dan memahami setiap hal yang dijumpainya. Buber membagi proses pengetahuan yang berlangsung di dalam diri manusia menjadi dua macam, yaitu :
v  Proses yang pertama berlangsung antara subjek dengan objek. Dalam proses ini seseorang mengategorikan, memilah-milah dan memberikan berbagai label pada objek pengetahuannya. Suatu objek menjadi objek pengalaman dan objek penggunaan. Objek tersebut menjadi objek pengalaman karena subjek mengalami langsung hubungannya dengan objek tersebut. Buber menyebutnya sebagai objek yang “dialami”. Sementara itu objek juga sekaligus menjadi objek penggunaan, karena subjeklah yang akan menggunakannya untuk keperluan subjek. Dengan demikian objek menjadi objek yang “dialami” dan “digunakan”, sedangkan subjek menjadi subjek yang “mengalami” dan “menggunakan”. Proses ini berlaku sepihak.

v  Proses yang kedua berlangsung antara subjek dengan subjek. Dalam proses ini subjek menganggap dan memperlakukan baik alam, manusia maupun Tuhan bukan sebagai objek, melainkan sebagai sesama subjek. Jika dalam proses pengetahuan yang pertama berlangsung hubungan sepihak, maka dalam proses kedua berlangsung hubungan timbal balik. Subjek membiarkan diri dibentuk pemahamannya oleh subjek yang lain. Tidak ada lagi objek yang “dialami”. Objek berubah menjadi subjek sebagaimana “aku” sebagai subjek. Ia berdiri sebagai subjek yang melakukan hubungan dengan “aku”. Buber mengistilahkannya dengan “perjumpaan”. Inilah proses pengetahuan di mana manusia berjumpa dan mengenal dengan subjek lainnya dalam dunia ini. Ia mengatakan bahwa proses kedua berada dalam sebuah pengetahuan religius.

Dalam kedua proses tersebut kita dapat menemukan realitas terdapat pada proses pengetahuan yang kedua. Melalui proses pengetahuan yang berlangsung antara subjek dan subjek, realitas hadir dan kedua subjek akan menyadari bahwa adanya ruang antara dirinya sendiri dengan subjek yang lainnya. Dalam proses pengetahuan seperti itulah seseorang menjalankan aktualitas di dunia ini.

2.       Pribadi dan Ego
            Buber memisahkan antara ego dengan pribadi, dimana ego sendiri lebih bersifat menarik diri atau memisahkan dirinya dari hubungan dengan yang lain dan hal ini berlawanan dengan pribadi yang justru malah memasuki hubungan dengan yang lainnya, sehingga tercipta aktualitas. Ego lebih kepada “mengalami yang lain dan “menggunakan” yang lain, seperti dalam bahasa kepemilikan, duniaku, pacarku, sahabatku, dan berbagai hal lainnya. Ego menjadikan dirinya sendiri sebagai pusat dan menjadi penyombong dengan ke “Aku” an yang selalu merasa lebih unggul dari orang lain dan menganggap keberadaan orang lain sebagai alat untuk memenuhi kepentingan diri sendiri.  Dalam pribadi terjadi transformasi yang menghilangkan sikap mengobjekkan antara yang satu dengan yang lainnya dan hal ini tentunya menghasilkan dialog antara subjek dengan subjek atau pribadi dengan pribadi. Dalam dialog terjadi sebuah komunikasi yang akan menjadi sebuah persekutuan dan hal ini teraktualitas di dalam sebuah komunitas yang dibangun atas dasar perjumpaan yang timbal balik.

3.       Hubungan Aku-Itu dan Aku-Engkau
3.1.Hubungan Aku-Itu
      Hubungan ini merupakan hubungan yang sepihak dan bersifat posesif, Aku hanya memihat “Itu” sebagai objek belaka dan “Itu” sama sekli tidak mempengaruhi aku dan tidak berperan untukku. Aku berada dalam hubungan “Aku-Itu” adalah aku yang tidak membiarkan “Itu” mempengaruhi “Aku”. Sifat ini merupakan simbolisasi masa lampau. Kehadiran selalu menunjukkan proses yang berlangsung terus, yaitu aspek kekinian. Apa yang menjadi objek senantiasa tidak dapat menyatakan kehadirannya dan objek berada pada masa lampau. Secara tegas ia mengatakan bahwa di dalam hubungan “Aku-Itu” tidak ada aspek perjumpaan. Menurutnya hal itu terjadi karena tidak adanya keterlibatan pribadi yang menyeluruh. Aku menahan diri dan menjaga jarak terhadap Itu. Aku menganggap Itu sebagai sesuatu yang asing dan melihatnya hanya dari segi kuantitas. “Aku” menutup diri kepada “Itu” dengan tidak membiarkan “Itu” ada pada dirinya sendiri melainkan ada menurut pemikiran “Aku”. Proses seperti itu menutup kemungkinan terjadinya suatu perjumpaan.

      Hubungan “Aku-Itu” tidak hanya sebatas hubungan antara manusia dengan benda-benda mati, tetapi juga alam sekitar, manusia maupun Tuhan. Dalam dunia filsafat, sebagaimana ilmu pengatahuan lainnya, hanya ada dua pihak yang berperan, yaitu subjek yang melakukan observasi, mengalami dan menggunakan yang lain demi kepentingan dirinya sendiri dan objek yang diobservasi, dialami dan kemudian digunakan subjek demi kepentingan subjek. Dunia filsafat merupakan dunia di mana hubungan “Aku-Itu” mendapatkan puncak perhatian. Dalam filsafat terjadi transformasi sempurna “Itu” sebagai objek. Aku mentranformasikan “Itu” menjadi objek yang terpisah dari essensinya. Hubungan “Aku-Itu” penting yaitu dalam upaya pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Tanpa pola hubungan “Aku-Itu” seseorang tidak akan dapat hidup. Namun jika seeseorang itu hanya melakukan hubungan “Aku-Itu” seseorang itu akan kehilangan jati dirinya. Ia akan hidup terasing dan terpisah dari dunia sekitarnya. Padahal jati dirinya sebagai “ada” (being) hanya dapat diwujudkan bila berada dalam perjumpaan (encounter).

3.2. Hubungan Aku-Engkau

      Hubungan ini merupakan hubungan timbal balik. Hanya “Engkau” yang dapat membalas apa yang aku sampaikan dan hanya “Engkau” yang dapat memberi kepadaku masukkan sehingga aku bisa mengembangkan diri. “Aku” bisa berada dalam kehidupan roh, jika “Aku” dapat menanggapi perjumpaan dengan “Engkau” sebagai subjek yang setara dan membangun “Aku”. Hubungan “Aku-Engkau” seperti udara yang diperlukan agar manusia dapat bernafas dan hidup. Dalam hubungan hidup dengan sesama, Buber menegaskan bahwa ketika Aku berjumpa dengan Engkau, maka Engkau tidak lagi menjdi sebuh objek melainkan menjadi sebuah subjek. Namun dalam beberapa hal dan situasi tertentu, Aku bisa saja melihat warna kulitnya saja, namun ketika Aku melakukan hal itu maka orang tersebut tidak lagi menjadi Engkau, melainkan berubah menjadi “Itu”. Baginya hal ini sangatlah wajar terjadi, bagaimana tidak manusia tidak akan mungkin meninggalkan pengetahuan yang dimilikinya, manakala ia berhadapan dengan orang lain. Segala pengetahuan mengenai berbagai simbol, warna dan bentuk pasti akan selalu menyertainya. Namun yang penting baginya adalah bagaimana Aku tidak terus menerus memperlakukan Engkau sebagai “Itu”.  

No comments:

Post a Comment

Pendalaman Alkitab dari Kitab Habakuk 1:12-17

Bahan Pendalaman Alkitab Habakuk 1:12-17 Pendahuluan Sebelum kita mengarah kepada isi dari perikop yang akan saya bahas, izinkan sa...