Tuesday, October 24, 2017

Pendalaman Alkitab dari Kitab Habakuk 1:12-17

Bahan Pendalaman Alkitab
Habakuk 1:12-17

Pendahuluan
Sebelum kita mengarah kepada isi dari perikop yang akan saya bahas, izinkan saya untuk memberikan sedikit latarbelakang dari kitab Habakuk ini, meskipun memang sedikit informasi yang bisa kita dapatkan mengenai pribadi Nabi Habakuk. Habakuk adalah sebuah nama yang memang tidak diketahui secara jelas makna dan berasal dari bahasa apa. Banyak tafsiran yang muncul mengenai nama Habakuk ini sendiri, tetapi kita mengetahui dengan jelas bahwa Habakuk adalah seorang Nabi (1:1). Nabi Habakuk diperkirakan muncul pada zaman pemerintahan Yoyakim pada tahun 609 SM, dimana pada saat itu Yehuda masih berada dalam tekanan bangsa Mesir.[1] Habakuk dimungkinkan hidup hingga pada zaman dimana bangsa Kasdim (kata ini dahulu digunakan menunjuk kepada bangsa Babel[2]), mengalahkan Mesir pada perang di Karkemis pada tahun 605 SM. Oleh karena Mesir telah kalah, secara otomatis bangsa Yehuda pun kini jatuh ke tangan penguasa lainnya, yaitu bangsa Kasdim.[3]
Yoyakim sendiri memiliki kepemimpinan yang buruk dimata Allah (2 Raja-Raja 23 :37), dimana ia mempunyai tabiat kejahatan dan kemurtadan pada agama.[4] Dapat dimaklumi bahwa pada awal Kitab Habakuk (1: 1-4), Nabi mengarahkan kekesalan dan keluhannya kepada Allah mengenai tabiat pemimpinnya pada waktu itu yang menimbulkan ketidakadilan dan kejahatan (ini sudah disinggung pada PA minggu lalu). Namun, jawaban Allah (1: 5-11) menyatakan bahwa untuk membalas pemimpin Yehuda (Yoyakim) Allah akan mengirimkan bangsa Kasdim untuk menghukum Yehuda atas kejahatannya. Hal ini membuat Habakuk menjadi terkejut dan sekaligus bingung, sehingga pada perikop yang saya bahas pada hari ini, Habakuk mengungkapkan lagi keluhannya dan kebingungannya mengenai jawaban Allah atas keluhannya yang pertama (1:1-4).
Habakuk 1 : 12 -17 : Allah yang diam dan tidak adil!
Mengawali keluhannya yang kedua ini, Habakuk menyebut Allah sebagai Allah yang Kudus (ay. 12). Menurut Telnoni, penyebutan ini menunjukkan kedekatan sang Nabi dengan Allah, sehingga dengan hubungan yang dekat ini ia dapat mengungkapkan keluhan-keluhannya kepada Allah secara bebas.[5] Selain itu, dalam ayat 12 Habakuk juga memperlihatkan keyakinan dan kepercayaan yang dipunyainya dengan mengungkapkan kata tidak akan mati kami. Maria Eszenyei Szeles, juga menjelaskan hal yang sama bahwa ayat 12 (yang adalah nyanyian pujian Habakuk) memperlihatkan kepercayaan Habakuk terhadap Allah,[6] yaitu meskipun mereka dihukum, mereka tidak akan dibinasakan. Namun, tetap disini muncul kegelisahan Habakuk karena adanya bangsa Kasdim yang muncul dan akan menjadi alat Allah untuk menghukum Yehuda.
Kegelisahan dan kebingungan  yang dimiliki oleh Habakuk semakin jelas terlihat pada ayat ke 13. Di ayat ini dijelaskan mengenai pemahaman Habakuk akan Allah yang adalah suci (ini berasal dari tradisi Israel yang berakar pada tradisi Sinai[7]), sehingga IA tidak dapat dijangkau oleh manusia. Allah yang suci tentu secara etis tidak berkenan kepada orang jahat. Namun, dalam realita yang dihadapi oleh Habakuk, Allah ternyata berkenan kepada bangsa Kasdim yang jahat. Bahkan menjadikan bangsa itu menjadi alatnya untuk menghukum Yehuda. Cara Allah ini menjadi permasalahan dasar bagi Habakuk, karena menurutnya bangsa Kasdim tidaklah layak untuk menghukum mereka[8], sebab mereka lebih buruk dari Yehuda.
Saya disini melihat adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh Habakuk. Mengapa Allah malahan memandang (atau membangkitkan, kalau sesuai dengan ay. 6) bangsa Kasdim dan menjadikannya alat penghukum? Bahkan disini Habakuk merasa bahwa Allah hanya berdiam diri saja melihat orang jahat menelan orang benar (ay. 13). Atau bahkan bisa saja Allah yang mengarahkan agar orang-orang benar tersebut dimakan oleh orang jahat. Pada ay. 14 dijelaskan bahwa IA yang menjadikan manusia selayaknya ikan tanpa pemimpin sehingga mudah ditangkap oleh para musuhnya. Mereka diumpan dan diangkat dengan kail, bahkan mereka pun dikumpulkan dengan jala (ay.15). Ini dapat dipahami sebagai gambaran dari cara bangsa Kasdim ‘memakan’ Yehuda, dengan mengumpan (dalam hal politik) dan menjeratnya dengan kail (kekuasaannya), sehingga Yehuda akhirnya takluk di tangan bangsa Kasdim.[9]
Pada akhir ayat 15 hingga ayat 17, dituliskan bahwa bangsa Kasdim yang akan menjadi alat Allah menghukum Yehuda bersukaria dan bersorak-sorai, karena penghukuman yang dilakukannya untuk bangsa Yehuda.[10] Menanggapi pemahaman Telnoni, saya sendiri meragukan apakah bangsa Kasdim mengetahui bahwa mereka menjadi alat Allah dalam menghukum Yehuda (mungkin ini bisa didiskusikan dalam PA kelompok masing-masing). Dalam kesukariaan bangsa Kasdim, mereka melakukan persembahkan kurban untuk ‘jala’ dan ‘pukatnya’. Hal ini ditafsirkan sebagai sebuah kesombongan dalam diri bangsa Kasdim yang mengutamakan dan mendewakan kekuasaan dan kekuatannya.[11] Oleh karena kesombongan yang dimiliki oleh bangsa Kasdim, Habakuk menjadi semakin kesal, karena alat yang dipilih oleh Allah nyatanya tidak mengucapkan syukur kepada Allah itu sendiri. Melainkan mereka malahan mengucap syukur kepada kekuatan yang dimilikinya. Mereka membanggakan diri dan menjadi bersukacita dan bahkan menikmati kekayaan (ay. 17) yang mereka dapatkan melalui jarahan bangsa-bangsa taklukannya.
Penutup
Dalam membaca teks ini, saya selalu mengingat Film Silence  yang juga memperlihatkan bagaimana sikap Allah yang diam dan bungkam melihat umat Kristen di Jepang ditindas oleh pemerintahnya waktu itu. Keterdiaman Allah yang dirasakan oleh Habakuk, mungkin hampir sama dengan yang dialami dalam film ini (bedanya mungkin Yehuda dihukum, sedangkan dalam film Silence entah tujuan apa yang ingin dicapai Allah). Umat yang menderita terus menerus membuat sang Nabi berteriak kepada Allah. Terlebih lagi adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh sang Nabi, dengan alat yang dipakai Allah untuk menghukum mereka.
Namun, seringkali dalam melihat teks ini, seringkali kita sungkan dan takut untuk membaca secara jujur mengenai sikap Allah. Saya sendiri secara jujur memang melihat ketidakadilan Allah yang dilakukan-Nya terhadap kaum Yehuda. Konsep Allah yang Suci yang dimiliki umat, ternyata berbeda dengan pengalaman yang mereka alami. Allah dirasakan diam terhadap penindasan tersebut. Namun, saya sendiri meragukan, apakah Allah memang diam atau memang semua penindasan yang terjadi pada umat pilihanNya adalah ‘ulah’ sang Allah itu sendiri dengan alasan menghukum umatnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin saja kita sering merasakan keterdiaman Allah atas penderitaan kita. Apa tujuan Allah? Entahlah, bagi saya sendiri, ini masih menjadi  misteri dari Allah.


Hujan, 10 Oktober 2017
Kezia Tiaraleeosha Boru Tambunan 




[1] J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016. H. 6
[2] J.D. Douglas (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini; Jilid 1 A-L, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992. H. 524
[3] Prof. S. Widmoady Wahono, Ph.D, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. H. 152.
[4] Prof. S. Widmoady Wahono, Ph.D, Di Sini Kutemukan. H. 152
[5] J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk. H. 39
[6] Maria Eszenyei Szeles, Habakkuk and Zephaniah; Wrath and Mercy, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1987. H.24
[7] Baca J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk. H. 41
[8] Maria Eszenyei Szeles, Habakkuk and Zephaniah. H. 24
[9] Baca penjelasan ayat 15 dari,  J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk. H. 44-45
[10] J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk. H. 44
[11] J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Habakuk. H. 46



Tanggapan atas Bahan PA yang Disajikan oleh Kezia T Tambunan
Habakuk 1:12-17

Habakuk: Kenabian, Waktu dan Nama
Saya tidak keberatan dengan latar belakang singkat dan materi yang telah dipaparkan Kezia, namun saya ingin menambahkan beberapa hal menarik untuk memperkaya pembacaan kita atas teks Habakuk ini.  Saya berusaha agar tanggapan ini tidak menjadi materi tandingan, namun menjadi pelengkap dialogis yang mewarnai keseruan kita dalam membaca Habakuk.

Hal yang pertama adalah kesimpulan yang ditarik Kezia di awal, bahwa Habakuk adalah seorang Nabi (1:1). Dalam tradisi apokrif, nama Habakuk juga disebut dalam Tambahan-tambahan pada Kitab Daniel 14:33-39. Habakuk diceritakan sebagai nabi di Yudea yang baru saja selesai memasak bubur dan memotong-motong roti bagi para pekerja di ladang, tiba-tiba seorang malaikat datang padanya dan menyuruhnya ke Babel (padahal jauh banget tuh!) untuk memberikan makanan itu pada Daniel yang sedang ada dalam gua singa. Habakuk rupanya agak keberatan dengan tugas itu, ia beralasan bahwa ia belum pernah ke Babel dan juga gak tahu dimana gua itu (maklum, belum ada GPS). Sang malaikat lalu memegang Habakuk di ubun-ubunnya, rambutnya “dijambak” dan ia diangkat secepat kilat menuju ke gua singa tempat dimana Daniel berada. Setelah selesai memberikan makanan, Habakuk langsung kembali ke tempat dimana ia berada. Narasi apokrif ini jelas tak dapat dijadikan rujukan untuk menentukan masa pelayanan Habakuk (mengingat tokoh Daniel juga tidaklah riil), namun penyebutan namanya di tulisan yang jauh lebih muda ini sering dipakai untuk memberi bukti tentang kenabiannya. Namun, apakah Habakuk yang dimaksud dalam Tambahan Kitab Daniel adalah Habakuk yang sama dengan yang kita bicarakan nampaknya perlu didiskusikan lebih lanjut. Menurut Szeles, psl 2:1-5 menjelaskan “model” kenabian Habakuk dengan lebih detil. Habakuk digambarkan sebagai bukan hanya juru bicara Tuhan, namun ia adalah nabi yang melihat berbagai penglihatan (visions)  dan sekaligus mendengar suara Tuhan (oracles).[1] Sampai di sini kita bisa melihat bahwa Habakuk adalah nabi yang memiliki hubungan unik dengan Tuhan.

Hal menarik yang kedua adalah perkiraan waktu kiprah Nabi Habakuk. Kezia memilih tahun 609 SM sebagai kemunculan Habakuk. Menarik, karena tahun yang dipilih Kezia adalah sebelum Babel menaklukkan Yehuda (597 SM). Namun mari mengingat penjelasan Pak DKL saat menanggapi Gilbert beberapa minggu lalu (ehkok kebetulan ya?), bahwa baru pada tahun 612 SM Babilonia bersama sekutunya berhasil menumbangkan Asiria dan sejak itu ia menjelma menjadi kekuatan besar yang baru. Jadi, jika Kezia berpendapat bahwa Habakuk muncul tahun 609 SM, ya masuk akal! Karena di tahun-tahun itulah Babilonia (Kasdim) berkembang pesat dan bersifat sangat ekspansif. Kerajaan semungil Yehuda hanya menunggu waktu saja untuk dihajar Kasdim.

Selanjutnya adalah perihal nama (karena nama selalu memuat arti dan persepsi tertentu), dalam LXX, Habakuk diterjemahkan sebagai ambakoum yang nampaknya berasal dari akar kata hbq yang berarti: embrace, comprehend, enfold, clasp to the heart. Arti kata “hbq” nampaknya diidentikkan dengan sesuatu yang dekat, melekat dan erat. Menurut Szeles, secara etimologis nama Habakuk dapat ditafsirkan dengan dua kemungkinan, yang pertama dapat ditafsirkan sebagai nabi yang perasaannya amat dalam terlibat bersama bangsa yang sedang menderita. Kemungkinan tafsir yang kedua adalah nama Habakuk menggambarkan hubungan yang sangat dekat dan intim antara sang nabi dengan Tuhan, dimana ia berani mengeluh dan menantang Tuhan. Di bagian-bagian tertentu dalam kitab ini, terasa pula bahwa sang nabi bahkan bertarung dan bergulat dengan Tuhan.[2] Sekali lagi, kita menemukan konfirmasi hubungan unik antara Tuhan dan Habakuk. Menurut saya, kitab ini harus dibaca dengan sebuah kesadaran bahwa Habakuk memiliki hubungan unik dan intim dengan Tuhan.


Keluhan Kedua
Dalam hubungan yang sangat dekat itulah, Habakuk tidak sungkan untuk kembali mengutarakan keluhan untuk kedua kalinya (bahan PA yang dibahas dua minggu lalu adalah keluhan pertama Habakuk) dalam psl. 1:12-17 ini. Keluhan ini agak berbeda dengan keluhan pertama yang mengesankan ketidaksabaran, keputusasaan dan rasa diabaikan. Kali ini, Habakuk menyampaikan keluhannya dengan kesadaran bahwa ia sedang didengar Tuhan. Saya setuju saat Kezia menyebut bahwa ay.12-13 adalah ungkapan kepercayaan sekaligus kegelisahan Habakuk atas Bangsa Kasdim. Tapi, yang jadi pusat kegelisahan dan kegusaran Habakuk bukan Kasdim melainkan TUHAN.  Habakuk seakan menyindir TUHAN yang disebutnya sebagai Allah Yang Mahakudus” (ay.12) dan yang mata-Nya terlalu suci untuk melihat kejahatan (ay.13), namun membiarkan orang fasik (Kasdim) menelan orang yang lebih benar (Yehuda -meskipun sama fasiknya). Sekali lagi perlu kita ingat bahwa sindiran ini dilontarkan dalam hubungan dekat antara Habakuk-Tuhan. Kegusaran Habakuk pada Tuhan lebih diakibatkan karena ia merasa mengenal Tuhan dengan baik, sehingga tak masuk akal baginya jika Tuhan mengeksekusi Yehuda dengan anomali macam ini.

Ay.13-15 telah dijelaskan Kezia dengan baik, namun saya ingin menambahkan bahwa bagian ini adalah refleksi Habakuk mengenai situasi historisnya.[3] Tuhan disebut sebagai pencipta manusia, namun Habakuk menyatakan bahwa Tuhan jugalah yang membiarkan manusia bak ikan dan binatang melata yang sama sekali tak mampu mempertahankan dirinya dihadapan kail dan pukat. Demikianlah Sang Pencipta membiarkan mahkota ciptaan setara dengan mahluk melata.
Ay.16 menggambarkan kadar kefasikan Kasdim (yang menurut Habakuk lebih parah tinimbang Yehuda) yang menuhankan keberhasilan dan kekuatannya (bnd. Ay.11). Keluhan Habakuk lalu berpuncak di ay.17 (yang sayangnya tidak dibahas Kezia dengan cukup dalam) dalam bentuk pertanyaan yang mendalam. Berbeda dengan pertanyaannya di ay.2 yang merujuk hanya pada penindasan yang dilakukan Yehuda, pertanyaan kali ini lebih universal dan esensial. Habakuk bertanya, apakah kekuasaan manusia akan selalu berujung pada pedang yang membunuh tanpa belas kasih? Pertanyaan (yang isinya adalah gugatan) ini dengan jelas menunjukkan bahwa Habakuk lebih membela kemanusiaan ketimbang “ke-Tuhan-an”.

Refleksi
Pertanyaan puncak Habakuk memang diajukan dalam konteks kefasikan Kasdim, namun menurut saya ini pun masih berlaku bagi jaman ini. Apalagi minggu lalu kita sebagai rakyat (dan simpatisan) DIY punya Gubernur “baru”, dan hari ini DKI juga punya pemimpin baru. Mereka-lah para pejabat yang memiliki kuasa. Pertanyaan (tambahan) untuk kita refleksikan bersama adalah: apakah benar kekuasaan akan selalu membuat manusia kehilangan belas kasihnya? Ingat bahwa dalam kadar tertentu, setiap kita juga punya kuasa. Entah kita sebagai dosen, sebagai pacar, sebagai ketua angkatan, dll. Apakah kekuasaan akan membutakan kita?
(Jelang Malang-Rhe)




[1] Maria Eszenyei Szeles, Habakuk and Zephaniah: Wrath and Mercy, Michigan: Grand Rapids, 1987, h. 5-6
[2] Ibid.
[3] Ibid, h. 24

No comments:

Post a Comment

Pendalaman Alkitab dari Kitab Habakuk 1:12-17

Bahan Pendalaman Alkitab Habakuk 1:12-17 Pendahuluan Sebelum kita mengarah kepada isi dari perikop yang akan saya bahas, izinkan sa...