Refleksi Kekristenan di Maluku
Misionaris di Maluku |
Maluku
merupakan sebuah kepulauan yang beribukotakan Ambon dan Maluku sendiri bisa
dikatakan sebagai salah satu tempat bagi orang-orang barat pertama kali
melakukan penyebaran Injil di bumi Indonesia ini, namun meskipun begitu dalam
perkembangan kekristenan di Maluku di warnai dengan berbagai dinamika sosial,
salah satunya yaitu terputusnya hubungan dengan dunia luar yang tentunya sama
sekali tidak berarti bahwa gereja Kristen di Maluku lebih tepatnya Halmahera
menjadi punah. Orang-orang Kristen Halmahera sekarang juga ingin tetap
berpegang pada agama Kristen. Sejak dahulu kala, kekristenan di Ambon terutama
terpelihara oleh guru-guru, bukan oleh pendeta-pendeta asing. Dan kini
guru-guru itu meneruskan kegiatan yang biasa di gereja dan di sekolah.
Pendidikkan mereka tidaklah memadai. Namun demikian, di antara mereka terdapat
orang-orang yang memimpin jemaat dengan cara yang sama sekali dapat dipertanggungjawabkan.
Jika kita meneliti dan mensurvei lebih jauh lagi, kita akan menemukan guru yang
membimbing dengan sangat setia; tentang seorang guru yang khotbahnya dipuji
juga oleh utusan Injil yang serba kritis itu. Guru-guru seperti ini mengucapkan
pula khotbah yang mereka susun sendiri, dan menurut pekerjaannya, mereka layak
disebut sebagai pendeta. Hanya, mereka tidak ditahbiskan dan mereka tidak boleh
melayangkan sakramen-sakramen.
Kehidupan
gereja tidak banyak berubah
Bahkan
boleh dikatakan bahwa orang-orang Kristen di Maluku Halmahera kebanyakan hampir
tidak merasa bahwa telah terjadi perubahan dikota atau disekitar mereka,
kenyataan ini memang sangat miris namun inilah kenyataannya. Orang-orang
Kristen di luar kota Halmahera sudah biasa dengan pelayanan sakramen-sakramen
yang jarang sekali terjadi. Dan mereka bertemu muka dengan seorang pendeta paling
banyak satu kali setahun, sering juga kurang dari itu. Jadi, bagi mereka tidak
banyak yang berubah dengan perginya pendeta yang terakhir. Sebaliknya
kekosongan pendeta itu hanya menandaskan kekurangan-kekurangan dan
kelemahan-kelemahan yang sudah ada selama zaman Misi dan gereja Gereformeerd.
Selama dua setengah abad, orang-orang Kristen Maluku sudah tidak mendapat
tenaga pelayan yang terdidik baik, dan kepada mereka tidak dilayangkan
sakramen-sakramen secara teratur. Sekarang hubungan dengan dunia luar telah
putus, dan gereja sama sekali tidak mempunyai lagi pendeta maupun sakramen.
Tetapi dalam keadaan seperti itu gereja di Maluku sudah hidup selama hampir
tiga abad.
Orang-orang
Maluku Halmahera berpegang pada agama Kristen
Niat
orang-orang Maluku hendak berpegang pada agama yang diwariskan kepada mereka
menjadi sangat nyata dalam pemberontakan di Saparua (1817), yang dipimpin oleh
Thomas Matulessy yang dinamakan pula Pattimura. Pemberontakan ini untuk
sebagian besar dicetuskan oleh persoalan-persoalan di bidang agama, yaitu
gereja dan sekolah. Pemerintah Belanda mau menghentikan pembayaran gaji para
guru dari Kas negara, sehingga mereka untuk seterusnya akan ditanggung oleh
negeri-negeri sendiri. Orang-orang Maluku menafsirkan rencana itu sebagai tindakan
yang merusak agama Kristen. Orang malah meminta supaya dikirimi pendeta
(Belanda) lebih banyak, supaya pemeliharaan rohani terjamin. Salah satu alasan
lain yang dikemukakan Pattimura ialah bahwa orang-orang Islam di Maluku konon
mau dikristenkan secara paksa. Dan akhirnya orang marah karena salah satu
gedung gereja di kota Ambon, yang sudah rongsok, mau dijadikan gudang.
Pattimura mendapat dukungan penuh dari pihak para guru, dan mereka yakin bahwa
Allah berada dipihak mereka - tentu saja keyakinan seperti ini terdapat pula
pada orang-orang Belanda.
No comments:
Post a Comment