Sunday, October 22, 2017

Siapa Sebenarnya Muhammad itu..?

Muhammad

Dalam paper ini, kelompok ingin menanggapi paper dari kelompok I yang membahas tentang kehidupan Muhammad sekaligus memberi tambahan informasi dari sudut pandang yang lain. Kelompok juga sekaligus memberi tanggapan terhadap tulisan dari buku-buku yang menjadi acuan kelompok dalam penulisan paper ini dan sekaligus mencoba mendialogkan tanggapan-tanggapan para penulis dari buku-buku acuan tersebut. Kelompok akan mencoba membahas lebih banyak perihal Nabi Muhammad dari sudut spiritualitas umat Islam memandangnya pasca wafatnya. Karena itu paper ini akan dibagi ke dalam dua bab besar yaitu kehidupan Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad Pasca Wafat. Semoga melalui paper ini kita dapat memiliki pengenalan yang lebih mendalam terhadap sosok Nabi Muhammad.


Kehidupan Nabi Muhammad
a.      Kelahiran Muhammad
Nabi Muhammad merupakan kalangan Bani Hasyim dari keluarga besar Quraisy yang – seperti disebutkan oleh kelompok I – diyakini lahir pada sekitar tahun 570 M, namun menurut perhitungan M. Hamidullah, Nabi Muhammad lahir tepatnya pada bulan Juni 569 M.[1] Dalam perkembangannya, kisah hidup Muhammad sepertinya mendapat banyak kisah-kisah ajaib di dalam tradisi Islam. Menurut Schimmel, ada tradisi penuturan Muslim yang berkembang yang mengatakan bahwa pada hari kelahiran Muhammad ada suatu kejadian yang diyakini sebagai mukjizat pertama Nabi Muhammad yaitu tercerai-berainya sekelompok pasukan asing yang sedang mengepung kota Mekah disaat Nabi Muhammad lahir. Selain itu, ada juga kisah yang mengatakan bahwa ketika Muhammad diasuh oleh Halimah, keledai Halimah yang sudah tua dan sangat kelelahan tiba-tiba menjadi lincah dan segar ketika ditunggangi oleh Muhammad. Kisah ini dipercaya sebagai salah satu tanda awal dari keagungan masa depan Muhammad.[2]
Dalam buku yang ditulis oleh Schimmel ini, kita akan mendapati banyak sekali cerita-cerita mukjizat yang mengiringi perjalanan hidup Nabi Muhammad. Para penyair-sufi pun banyak menulis puji-pujian mereka terhadap sosok Nabi Muhammad  dan juga terhadap sosok orang-orang yang dekat dengan Muhammad seperti Aminah (ibu Muhammad), Khadijah (istri pertama Muhammad), Bilal (budak asal Ethiopia yang ditebus dan memeluk Islam), dan lainnya. Schimmel mengatakan bahwa semua hal ini dapat kita lihat sekaligus sebagai ungkapan yang menunjukkan bagaimana masyarakat memandang sosok Nabi Muhammad. Sehingga melalui tulisan-tulisan puisi dan legenda-legenda yang muncul tentang kisah hidup Nabi Muhammad seperti yang sudah disebutkan diatas pun kita dapat karisma seorang pemimpin sejati dari seorang Nabi Muhammad dengan lebih baik dibandingkan dengan fakta-fakta historisnya.[3]
b.      Kenabian Muhammad
Seperti dituliskan oleh Kelompok I, Nabi Muhammad mendapatkan wahyu pertamanya di Gua Hira yang memerintahkannya untuk “membaca” (QS Al-‘Alaq, [96]: 1-5). Sebagai tambahan, Nabi Muhammad mengalami masa “kekeringan spiritual” setelahnya yang membuat ia ingin menerjunkan di dari Gunung Hira. Selain itu,  Nabi Muhammad juga diriwayatkan sering menderita ketika wahyu diturunkan kepadanya dengan berbagai gejala seperti unta yang menjadi gelisah dan berjongkok, dan wahyu yang datang bagai suara lonceng  yang merupakan cara turunnya wahyu yang paling menyakitkan bagi Muhammad.[4]
Mengenai kehidupan keagamaan di Mekah, Schimmel menuliskan bahwa kita dapat mengabaikan kemungkinan adanya pengaruh kuat agama Kristen-Yahudi pada gagasan-gagasan penduduk Mekah. Bahkan muncul spekulasi bahwa gamba-gambar dan patung-patung yang dikeramatkan di Ka’bah mungkin saja berupa ikon-ikon Kristen, karena dilaporkan bahwa ada patung Perawan Maria dan patung Yesus Kristus diantara patung-patung yang ada disana.[5]
c.       Penyebaran Islam
Pada masa-masa awal turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad, penduduk Mekah tidak merasa yakin akan wahyu tersebut, sehingga ketegangan antara mereka dan sekelompok kecil pengikut Nabi Muhammad meningkat dari tahun ke tahun. Hingga kemudian – seperti yang telah dituliskan oleh Kelompok I – Nabi Muhammad dan pengikutnya berhijrah ke Yastrib (kemudian dikenal sebagai Madinah al-Nabi disingkat Madinah) pada bulan September 622 M, yang kemudian ditetapkan sebagai awal penanggalan tahun Hijriah yang diawali pada bulan Muharram dalam tahun qamariyyah yang berjangka 354 hari.[6] Muhammad diundang ke Madinah untuk memcahkan beberapa masalah sosial dan politik yang muncul disana yang diakibatkan oleh perpecahan kelompok-kelompok yang berbeda di Madinah.[7]
Mengenai Piagam Madinah yang disebut sebagai perjanjian yang memperdamaikan suku-suku di Madinah berikut suku-suku Yahudi, Montgomery Watt memberikan data yang menunjukkan bahwa ternyata Piagam Madinah yang ada bukanlah suatu perjanjian yang dibuat pada masa yang sama. Ada perbedaan pendapat diantara para ahli, namun jelas terlihat bahwa poin-poin dalam Piagam Madinah banyak mengalami pengulangan namun memiliki perubahan. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa ada poin yang dituliskan sebelum Perang Badar, dan ada yang dituliskan setelah Perang Badar. Misalnya saja poin 23 dan 36, pada poin 23 dikatakan bahwa jika ada pertentangan yang terjadi, maka permasalahan itu harus dibawa kepada Muhammad. Pada poin 36 kita dapat melihat perubahan posisi Muhammad yang semakin kuat di Madinah yang mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh berperang tanpa seizin Muhammad. Dalam dua poin ini bisa dilihat bahwa ada pergeseran waktu yang cukup jauh diantara poin 23 dan 36. Perbedaan juga dapat dilihat dalam penggunaan penyebutan yang tidak konsisten, seringkali menggunakan kata ‘orang-orang beriman’ namun dua kali menggunakan kata ‘Muslim’(poin 25 dan 37) dan banyak perbedaan lainnya.[8]
Kelompok I menguraikan proses terjadinya perang Badar dengan mengutip tulisan dari Fazlur Rahman dengan terlalu sederhana. Padahal, kelompok mendapati bahwa Rahman secara terang-terangan menunjukkan adanya muatan politis yang kuat di dalam Perang Badar ini. Dimana Muhammad sepertinya memiliki keinginan yang besar untuk menguasai Mekah dan mengislamkan sukunya agar Islam memperoleh dukungan yang besar dan dapat menyebarkan Islam keluar sehingga dapat berkembang pesat.[9] Perang Badar pada akhirnya benar-benar menjadi peristiwa monumental yang mengubah sejarah Islam awal dimana sekelompok kecil Muslim menang melawan sepasukan besar tentara Mekah yang jauh lebih kuat sehingga peristiwa ini dianggap sebagai suatu mukjizat  yang besar. Nama Badar menjadi bukti tak terbantah tentang kepemimpinan Muhammad atas umatnya dan sebagai bukti bahwa Allah berada di pihak Nabi Muhammad yang dilukiskan dalam Al-Quran : Bukanlah engkau yang melempar saat engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar (QS Al-Anfal [8]: 17).[10]
Setelah melalui Perang Badar pada bulan Maret 624 M, Perang di dekat Bukit Uhud pada tahun 625 M, Perang melawan serangan penduduk Mekah pada tahun 627 M, kekuatan Nabi Muhammad meningkat sangat pesat sehingga pada tahun 630 M, Nabi Muhammad dapat menaklukkan Mekah tanpa perlawanan. Musuh-musuhnya yang memeluk Islam diberikan amnesti dan Ka’bah menjadi pusat ibadah kaum Muslim sejak saat itu.[11]
d.      Penghormatan dan Wahyu
Setelah wafatnya Khadijah, Nabi Muhammad menikah beberapa kali, dimana hanya Aisyah yang masih gadis ketika dinikahinya sedangkan istri-istrinya yang lain adalah janda-janda para pejuang yang gugur. Meskipun Al-Quran membatasi jumlah istri maksimal empat orang, namun Muhammad mendapat keistimewaan untuk boleh menambah jumlah ini. Istri-istri Muhammad mendapat gelar terhormat sebagai Umm al-Mu’minin atau Ibu Kaum Beriman (QS Al-Ahzab [33]:6) dan mendapat beberapa larangan khusus bagi mereka, seperti tidak diizinkan untuk menikah lagi setelah Muhammad wafat (QS Al-Ahzab [33]:53)[12]
Baik Schimmel maupun Rahman, menyinggung mengenai persoalan sumber wahyu Nabi Muhammad tentang kisah tokoh-tokoh  dari tradisi Yahudi-Kristen dalam konteks yang sama sekali berbeda dengan kisah-kisah Injil. Rahman menjelaskan bahwa tidak penting untuk mempertanyakan dari mana sumber-sumber riwayat Nabi-nabi tersebut dalam menegaskan makna dan keaslian risalah Nabi karena yang utama adalah bagaimana kita bisa memahami fungsi dan makna cerita-cerita tersebut. Menurut Rahman, “Apa yang diwahyukan adalah tujuan dan makna yang terkandung dalam ceritera-ceritera tersebut.[13] Namun dalam kalimat berikutnya Rahman terkesan menafikan keterkaitan pendekatan historis dengan keaslian suatu cerita. Karena tanpa penjelasan historis yang jelas, Rahman kemudian menuliskan:
Sungguh, kalau Nabi Muhammad tidak tahu sebelumnya secara ‘historis’ (yang dibedakan dari ‘melalui wahyu’) tentang materi ceritera-ceritera Nabi-nabi tersebut, pastilah beliau tidak akan mampu memahami maksud wahyu yang mengenai Nabi-nabi yang diwahyukan itu.[14]
Kalimat ini mengesankan upaya Rahman untuk memberi gambaran bahwa Nabi Muhammad sesungguhnya tahu bagaimana kisah historis sebenarnya tentang para Nabi tersebut namun Muhammad hanya menceriterakan kisah para Nabi sesuai dengan apa yang diwahyukan kepadanya (walaupun tidak sesuai dengan historis?). Kelompok merasa sesungguhnya penjelasan ini tidak cukup baik.
Schimmel terasa lebih jujur dalam menjawab pertanyaan ini. Menjawab kebingungan mengenai dari mana sumber Muhammad, dia mengutip pandangan Johan Fuck yang mengatakan bahwa  kita tidak akan bisa mengungkapkan rahasia kepribadian sosok Nabi Muhammad tentang bagaimana dia mampu memiliki keyakinan bahwa Tuhan memilihnya sebagai rasul dan pemberi peringatan.[15] Schimmel kemudian memaparkan pandangan bahwa bagi kaum muslim, perbedaan antara versi Injil dan Al-Quran dalam kisah para Nabi tersebut justru membuktikan  bahwa Al-Quran adalah benar-benar firman Allah. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa Nabi Muhammad yang buta aksara diyakini tidak mungkin mengetahui kisah-kisah para Nabi tersebut dari Injil, sehingga pastilah Nabi Muhammad menerima kisah-kisah tersebut langsung dari wahyu Allah. Pandangan ini kemudian diperhadapkan Schimmel dengan pandangan Gunther Luling yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad benar-benar mengenal dan mengetahui tradisi Yahudi-Kristen dan memanfaatkan kisah-kisah ini dengan piawai. Schimmel menyimpulkan bahwa kisah-kisah para Nabi tersebut menjadi paradigma bagi kehidupan Muhammad, dimana dia yakin bahwa umat-umat sebelumnya (pada masa para Nabi tersebut) dibinasakan oleh Allah karena tidak mengimani bahkan menganiaya para Nabi, sehingga penduduk Mekah yang tidak mau menerima pesan yang disampaikan olehnya akan menerima nasib yang sama.[16]
Pada tahun 632 M, Nabi Muhammad berhaji ke Mekah. Tindakan Nabi Muhammad ini kemudian dijadikan contoh yang mengikat bagi kaum Muslim untuk melaksanakan ibadah haji.


Masa Setelah Nabi Muhammad Wafat
a.      Kepemimpinan Pasca Wafatnya Nabi Muhammad
Muhammad wafat pada tanggal 8 Juni 632 M (11 H) di kamar Aisyah yang saat itu berumur 18 tahun. Nabi Muhammad diyakini tidak meninggalkan petunjuk khusus tentang pergantian kepemimpinannya. Yang meneruskan garis keturunannya adalah anak perempuannya yang bernama Fatimah yang menikah dengan Ali (saudara sepupu ayahnya). Fatimah dijuluki al-Zahra’ (“Yang Berkilauan”) karena diriwayatkan bahwa kelahiran Fatimah dikelilingi oleh cahaya, benar-benar suci, dan tidak pernah mengalami menstruasi. Fatimah juga dijuluki al-batul (“sang perawan suci”) yang kemudian menjadi simbol Mater Dolorosa (“Sang Bunda yang Berduka”) sejati setelah kematian Husain, puteranya.[17]
Setelah kematian Muhammad, Abu Bakar (mertua Muhammad) melontarkan peringatan keras kepada kaum Muslim yang tengah berdukacita, “Barangsiapa menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa Muhammad kini telah wafat. Akan tetapi, barangsiapa menyembah Allah maka Dia tetap hidup dan tidak akan mati.” Abu Bakar kemudian dipilih sebagai khalifah atau pengganti Nabi. Setelah Abu Bakar yang dijuluki al-Shiddiq  wafat pada tahun 634 M, ia kemudian digantikan oleh Uman bin al-Khaththab yang dijuluki al-Faruq (“yang mampu membedakan kebenaran dari kebatilan”) sebagai khalifah. Setelah Umar dibunuh pada tahun 644 M, ia digantikan oleh Utsman bin Affan. Utsman berjasa dalam memerintahkan penyusunan Al-Quran dalam bentuk yang dikenal sekarang, yang dibagi ke dalam 30 juz dan 114 surah. Utsman dibunuh pada tahun 656 M dan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.[18]
b.      Penghormatan dan Hadis
Penghormatan kepada keluarga Nabi Muhammad sangatlah penting bagi umat Islam. Bukan hanya dari sudut pandang keagamaan, namun juga sebagai faktor penentu dalam sejarah politik Islam.[19] Sesungguhnya Nabi Muhammad sendiri tidak pernah menyatakan diri memiliki sifat adimanusiawi. Dia selalu mengatakan bahwa satu-satunya mukjizat dalam hidupnya adalah wahyu yang turun kepadanya dalam bahasa Arab (Al-Quran). Nabi Muhammad menyadari bahwa dia hanyalah manusia biasa yang menerima wahyu ilahi sebagai satu-satunya hak istimewanya.[20] Namun ada beberapa ayat Al-Quran yang menunjukkan keistimewaan Muhammad dibanding yang lainnya, seperti bahwa Nabi Muhammad merupakan “rahmat bagi alam semesta”, rahmatan lil-‘alamin (QS Al-Anbiya’ [21]: 107), Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi Muhammad (QS Al-Ahzab [33]: 56), dan lainnya.[21] Dalam Al-Quran juga dapat ditemukan rumusan-rumusan dimana Allah memerintahkan untuk “mematuhi Allah dan utusan-Nya”. Nabi Muhammad dipercaya sebagai manusia pilihan Allah (al-Musthafa) sehingga cara hidup (Sunnah)-nya menjadi satu-satunya aturan perilaku yang sah bagi umat Muslim.[22] Sunnah Nabi Muhammad terdiri dari segenap tindakan (fi’l), ucapan (qaul), dan persetujuan diam (taqrir)-nya atas fakta-fakta tertentu.[23]
Contoh perilaku nabi Muhammad ini banyak terdapat dalam hadis. Hadis adalah catatan tentang  ucapan atau perbuatan Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh sahabat terpercaya Nabi Muhammad kepada orang lain di generasi sesudahnya yang kemudian menyampaikan kembali kepada generasi sesudanya dan demikian seterusnya. Hadis yang sahih adalah hadis yang rangkaian perawinya terbukti dan dapat dipercaya. Hadis-hadis yang bisa dipercaya ini jumlahnya terus bertambah dan hal ini menunjukkan perkembangan dari masalah-masalah teologis dan praktis yang dihadapi oleh umat Muslim pada abad-abad pertama sejarahnya.[24] Hadis-hadis yang paling bisa dipercaya ini kemudian dihimpun dalam sebuah koleksi besar pada pertengahan abad ke-9 M. Diantaranya adalah Shahih al-Bukhari, dan Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan an-Nasa,dan Sunan Ibn Majah. Selain hadis  yang sahih ini, ada juga banyak hadis yang tidak lagi menyebutkan rangkaian perawinya yang dipelajari diseluruh dunia Islam dan juga banyak disukai.[25] Ada berbagai kumpulan hadis dalam Islam, dimana kitab-kitab ini diyakini mengandung rahmat dan berkah dari ucapan Nabi Muhammad dan hadis-hadis ini sering digubah menjadi syair-syair oleh para penyair-sufi besar Persia, Jami, pada akhir abad ke-15 M.[26]
Bagi umat Islam, ketekunan membaca hadis-hadis nabi akan membawanya lebih dekat dengan Nabi Muhammad. Selain itu, hadis Nabi juga dianggap sebagai langkah pertama dalam penafsiran Al-Quran. Namun kemudian muncul masalah dimana terdapat pertentangan isi diantara hadis sehingga kemudian membawa kepada masalah autentisitas atau keaslian hadis tersebut. Mengenai permasalahan ini, Schimmel menyajikan pendapat-pendapat dari berbagai sudut pandang yang menarik. Terlihat bahwa ketika sarjana-sarjana Eropa semenjak Ignaz Goldziher bersikap sangat kritis terhadap hadis, maka kaum Muslim yang saleh akan menolak kritik tersebut karena melihat kritik tersebut sebagai upaya untuk menghancurkan dasar-dasar Islam.[27] Kelompok melihat bahwa umat Islam cenderung berupaya untuk “mengabaikan” dan atau menolak pendekatan historis-kritis yang dilakukan untuk menguji keabsahan  suatu hadis. Seperti kutipan dari Seyyed Hossein Nasr dalam karyanya Ideals and Realities of Islam yang dikutip oleh Schimmel berikut :
Dengan berlagak sok-ilmiah dan memanfaatkan metode sejarah yang dikenal – atau, lebih tepatnya, tidak dikenal – untuk mereduksi makna seluruh kebenaran agama menjadi fakta-fakta sejarah belaka, para pengkritik hadis itu menyimpulkan bahwa hadis bukan berasal dari Nabi Saw., melainkan “dipalsukan” oleh generasi-generasi sesudahnya. Di balik kedok keilmiahan ini, tersembunyi asumsi a priori bahwa Islam bukanlah Wahyu Ilahi … Seandainya para pengkritik hadis itu bersedia menerima bahwa Muhammad adalah seorang nabi, tidak akan ada argumen apa pun yang secara ilmiah sah terhadap isi pokok hadis.[28]
Dari kutipan ini, kelompok melihat bahwa sepertinya bahkan seorang pemikir Muslim terkemuka yang dididik di Harvard, menghadapi berbagai kritik yang datang dengan penuh curiga dan alih-alih memberi jawaban secara ilmiah, ia mengembalikan setiap jawaban dari kritik tersebut kepada iman. Namun Schimmel mengakui bahwa di dunia Muslim modern terjadi perbedaan sikap terhadap hadis, dimana ada yang menerima tanpa syarat semua hadis dan ada yang selektif terhadap hadis,[29] dan ada juga yang menolak hadis dan hanya menerima Al-Quran sebagai satu-satunya sumber nilai-nilai moral etika.[30] Sekalipun demikian, menurut Schimmel kebanyakan kaum Muslim lebih suka semboyan Abu Bakar untuk tidak membuang apa pun dari semua hal yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad.[31]
c.       Perkembangan Pandangan Terhadap Nabi Muhammad
Schimmel mencatat bahwa penghormatan kepada Nabi Muhammad dan perhatian yang cermat kepada rincian terkecil dari perilaku dan pribadinya tumbuh sejalan dengan semakin jauhnya rentang waktu kehidupan kaum Muslim dengan Nabi Muhammad. Para juru dakwah suka menggambarkan figur Muhammad dalam warna-warna yang indah, bahkan menambahinya dengan rincian-rincian yang remeh seperti “Nabi memiliki tujuh belas uban di jenggotnya”. Muncullah koleksi-koleksi kategori dala il al-nubuwwah (“bukti-bukti kenabian”) yang dilengkapi dengan syama il (karangan-karangan kesusastraan yang mendeskripsikan sifat-sifat mulia dan ketampanan lahirian Nabi Muhammad.  Dua karya dari kategori ini yang paling awal disusun oleh Abu Nu’aim al-Ishfahani (w. 1037 M) dan al-Baihaqi (w. 1066 M) yang menceritakan tentang mukjizat-mukjizat Nabi pada masa sebelum dan sesudah lahir, sebelum dan sesudah penunjukannya sebagai nabi dan penunjukan dirinya sebagai nabi terakhir. Ada juga Kitab al-Syifa’ fi Ta’rif Huquq al-Mushthafa yang melukiskan kehidupan Nabi Muhammad, sifat-sifat dan mukjizat-mukjizatnya secara terperinci, sering digunakan dan diulas dan juga dikagumi di dunia Islam Abad Pertengahan sehingga dipandang sebagai barang keramat, bahkan digunakan sebagai azimat.[32]
Lukisan-lukisan tentang ketampanan fisik Nabi Muhammad banyak ditemukan dalam tradisi-tradisi awal. Nabi Muhammad digambarkan sebagai manusia yang memiliki akhlak yang paling bagus dan manusia yang paling tampan. Nabi Muhammad digambarkan bertubuh sedang, tidak gemuk; wajahnya bulat dan berkulit putih, matanya lebar dan hitam, bulu mata panjang, rambut tidak lurus dan tidak keriting, memiliki tanda kenabian diantara kedua bahu, tubuhnya besar, wajahnya bersinar seperti bulan purnama, tinggi namun tidak jangkung, jalinan rambut dibelah, roman mukanya bersinar, alisnya bagus, lehernya bagaikan patung gading, dadanya bidang dan berbahu lebar, dan rincian-rincian lainnya. Digambarkan juga bahwa tangannya sejuk dan wangi, bahkan ada sebuah legenda yang mengatakan bahwa dalam perjalanannya ke langit, keringat Nabi menetes ke bumi dan berubah menjadi bunga mawar yang wangi sehingga orang beriman masih bisa menikmati aroma tubuh Nabi dari wangi bunga mawar.[33] Awalnya masih ada gambar-gambar yang melukiskan wajah Nabi Muhammad, namun kemudian wajah Nabi Muhammad dalam lukisan-lukisan ditutup. Namun kemudian kaum Muslim menemukan cara lain untuk membuatnya hadir di depan mata mereka melalui hilyah (“ornamen” yang berisi berbagai gambaran dan lukisan ringkas tentang sifat-sifat lahiriah dan batiniah Nabi Muhammad. Mengenai hilyah, ada hadis yang mengatakan bahwa orang yang melihat hilyah Nabi dan kemudian merindukan Nabi, maka Allah tidak akan membiarkan api neraka menyentuhnya.[34] Selain itu, ada banyak benda yang dipakai Nabi yang kemudian menjadi pusaka berharga dan sangat dihormati, seperti kemeja, sandal (yang dianggap telah menyentuh Singgasana Allah), jejak kaki Nabi Muhammad, batu dari tempat jejak kaki tersebut (batu-batu qadam rasul), rambut dan jenggot Nabi Muhammad.[35]
Disamping menghormati benda-benda pusaka yang berkaitan dengan Nabi Muhammad, umat Islam juga menelaah secara teliti cara Nabi Muhammad merawat tubuhnya karena dalam hal ini pun Muhammad dianggap sebagai panduan dalam perilaku. Bahkan dari hal terkecil seperti bangun dengan menggunakan miswak (ranting yang digunakan sebagai sikat gigi), menggunakan batu serawak untuk menghitamkan mata, memoles rambut dan janggut dengan henna, makan dengan tangan kanan, dan lainnya.[36] Makanan yang disukai atau tidak disukai Nabi Muhammad juga dicatat dengan teliti.[37] Air yang digunakan untuk membersihkan diri sering digunakan oleh para sahabat sebagai obat karena dipercaya mengandung berkah (barakah), air ludah Nabi juga dipercaya dapat dipakai untuk terapi, penggunaan bekam dan obat pencahar yang disarankan Nabi juga mendapat perhatian yang penting oleh umat Islam.[38]
Lebih lanjut, Schimmel mengatakan bahwa ketampanan lahiriah Nabi Muhammad merupakan cermin dari keindahan dan kemuliaan hatinya karena Allah telah menciptakannya sempurna dalam akhlak dan moral (khalqan wa khulqan) dan akhlak yang ditekankan disini adalah kerendahan hati dan kebaikannya.[39] Kebaikan hati Muhammad banyak diceritakan lewat kisah-kisah yang dituturkan oleh sahabat-sahabatnya dan para penyair. Mengenai perkawinan Nabi Muhammad dengan sembilan perempuan, Schimmel mengatakan bahwa beberapa tokoh pembela Islam menekankan bahwa pernikahan Nabi Muhammad setelah wafatnya Khadijah adalah bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi para janda syuhada dan sepanjang hidup pernikahan Nabi Muhammad, Khadijah tetaplah menjadi istri ideal baginya walaupun Khadijah telah wafat. Kaum Muslim juga merasa bahwa kemampuan Nabi Muhammad dalam menggabungkan bidang duniawi dan bidang spiritual merupakan bukti bagi ketinggian derajatnya. Kelebihan Nabi Muhammad dalam hal ini juga dapat dilihat dari bagaimana Nabi Muhammad tidak pernah dapat dipalingkan dari Tuhan dan perjuangan spiritualnya meskipun dia memiliki banyak istri mengingat banyaknya Nabi dan tokoh agama yang jatuh karena wanita.[40]
Menurut Schimmel, bagi para pengamat Barat tentulah agama dan politik harus dipisahkan karena agama adalah masalah batin dan untuk diri sendiri, sehingga dari sana mereka mengkritik Nabi Muhammad yang merupakan seorang Nabi namun sekaligus seorang negarawan (politisi). Akan tetapi bagi kamu Muslim, agama dan negara merupakan dua sisi mata uang yang harus saling melengkapi.[41]
d.      Kedudukan Istimewa Nabi Muhammad
Secara umum, umat Muslim meyakini Nabi Muhammad sebagai habib Allah (“sahabat terkasih Allah”). Dalam buku-buku pegangan teologi mendefenisikan empat sifat penting seorang nabi seperti jujur (shidq) dan bisa mengemban amanat (amanah), pasti menyampaikan Firman Allah (tabligh), dan harus bijaksana serta cerdas (fathanah). Seorang Nabi mustahil untu berdusta (kidzb), tidak setia atau berkhianat (khiyanah), menyembunyikan risalah Ilahi (katman), atau bodoh (baladah).[42] Hal ini membawa kita kepada doktrin ‘ishmah (“terjaga dari kesalahan dan dosa”). Dalam doktrin ini dipercaya bahwa Nabi Muhammad terbebas dari semua cacat moral.[43] Namun beberapa mazhab tertentu menganggap bahwa mungkin saja bagi seorang nabi untuk melakukan dosa, bahkan dosa-dosa besar. Sebagian ulama tafsir dalam mazhab Mu’tazilah awal, beranggapan bahwa Nabi Muhammad bisa saja melakukan dosa karena khilaf. Akan tetapi dalam doktri Mu’tazilah di kemudian hari, diakatakan bahwa Muhammad tidak mungkin berbuat dosa sama sekali.[44]
Kedudukan nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dan penutup para nabi sebelumnya mendorong kaum Muslim untuk membahas hubungan Nabi Muhammad dengan para rasul sebelumnya. Al-Quran telah memperingatkan kaum Muslim : “Kami tidak membeda-bedakan di antara para rasul dan nabi!” (QS Al Baqarah [2]: 285 dan QS Ali ‘Imran [3]: 84. Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan  beredar hadis lain yang menjelaskan keunggulan Nabi Muhammad atas yang lain melalui kerelaan dan kemampuannya untuk menjadi wasilah dan pemberi syafaat bagi umatnya. Seperti hadis Najmuddin Razi Daya yang dikutip oleh Schimmel berikut ini :
Nabi Saw. Bersabda: “Aku telah diberi keunggulan atas nabi-nabi lain dalam enam perkara: bumi dijadikan masjid untukku dengan tanahnya dinyatakan suci; harta rampasan perang dihalalkan untukku; aku diberi kemenangan luar biasa pada jarak satu bulan perjalanan; aku diizinkan oleh Allah untuk memberikan syafaat; aku diutus untuk seluruh umat manusia; dan aku adalah penutup para nabi.”[45]
Schimmel kemudian banyak memberikan contoh-contoh hadis yang menunjukkan keunggulan Nabi Muhammad atas nabi-nabi lain seperti nabi Musa dan nabi Isa.[46] Berhubungan dengan ini, maka kedudukan luhur dan unik Nabi Muhammad dipandang perlu untuk dilindungi dari fitnah, kebencian, dan pencemaran nama baik. Puji-pujian kepada Nabi Muhammad dipandang tidak boleh disejajarkan dengan puji-pujian kepada yang lain, dimana dalam hal ini banyak penyair Persia yang dianggap merendahkan Nabi Muhammad dalam syair-syairnya yang menempatkan Nabi Muhammad sejajar dengan yang lain dalam pujiannya. Penggunaan ganjil nama Nabi Muhammad di dalam tulisan-tulisan syair dianggap sebagai sesuatu yang hampir sama dengan kemurtadan. Melangkah lebih jauh, ahli-ahli lain menganggap bahwa pemfitnah Nabi layak diberi hukuman berat bahkan dalam perkembangannya, layak diberi hukuman mati tanpa pemeriksaan pengadilan.[47] Schimmel kemudian menutup Bab 3 dari bukunya “Cahaya Purnama Kekasih Tuhan” dengan suatu contoh ketika seorang Hindu dibunuh oleh pemuda muslim karena menerbitkan buku dengan judul Rangela Rasul (Nabi yang Suka Berfoya-foya). Pemuda muslim yang membunuhnya kemudian dinyatakan bersalah dan dihukum mati, namun masyarakat Muslim di India memberikan simpati yang besar terhadapnya. Schimmel mengatakan bahwa:
“Setiap orang yang pernah memberikan kuliah dalam sebuah lingkungan Muslim pun tahu bahwa suatu ucapan yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghina bisa disalahtafsirkan oleh para pendengarnya, yang menjadi terlalu peka bila sudah menyangkut Nabi yang mereka cintai.”[48]

Tanggapan Kelompok
Dari pembahasan dalam paper ini, kelompok melihat bagaimana sosok Nabi Muhammad menjadi sangat penting dalam kehidupan umat Muslim. Kita dapat melihat bagaimana seluruh detail kehidupannya menjadi hal yang dapat dikatakan “sakral” bagi umat Muslim. Terlepas dari semua perdebatan yang mengiringinya, sosok Nabi Muhammad merupakan sosok seorang yang memberikan pengaruh besar didalam keimanan seorang Muslim.




[1] Annemarie Schimmel, Cahaya Purnama Kekasih Tuhan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2012). 23
[2] Ibid
[3] Ibid. 22
[4] Ibid. 25
[5] Ibid. 26
[6] Ibid. 28
[7] Ibid. 27
[8] Lihat Montgomery Watt, Muhammad at Medina, (London: Clarendon Press, 1962). 221-226
[9] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984). 16
[10] Annemarie Schimmel, op. cit. 28, 29
[11] Ibid. 30, 31
[12] Ibid. 31
[13] Fazlur Rahman. Op. cit. 8, 9
[14] Ibid.
[15] Annemarie Schimmel, op. cit. 32
[16] Ibid. 33
[17] Ibid. 34
[18] Ibid. 34, 35
[19] Ibid. 36
[20] Ibid. 42
[21] Ibid. 43
[22] Ibid. 44
[23] Ibid. 45
[24] Ibid. 45, 46
[25] Ibid. 46
[26] Ibid. 47
[27] Ibid. 49
[28] Ibid. 50
[29] Ibid.
[30] Ibid. 51
[31] Ibid.
[32] Ibid. 54, 55
[33] Ibid. 56, 57
[34] Ibid. 58
[35] Ibid. 62 - 67
[36] Ibid. 67-68
[37] Ibid. 68
[38] Ibid. 69-70
[39] Ibid. 70-71
[40] Ibid. 76-78
[41] Ibid. 81
[42] Ibid. 89
[43] Ibid. 90
[44] Ibid. 93
[45] Ibid. 96
[46] Lihat Ibid. 97-100
[47] Ibid. 101

[48] Ibid. 102

No comments:

Post a Comment

Pendalaman Alkitab dari Kitab Habakuk 1:12-17

Bahan Pendalaman Alkitab Habakuk 1:12-17 Pendahuluan Sebelum kita mengarah kepada isi dari perikop yang akan saya bahas, izinkan sa...