Muhammad
Dalam paper
ini, kelompok ingin
menanggapi paper dari kelompok I yang
membahas tentang kehidupan Muhammad sekaligus memberi tambahan informasi dari
sudut pandang yang lain. Kelompok juga sekaligus memberi tanggapan terhadap
tulisan dari buku-buku yang menjadi acuan kelompok dalam penulisan paper ini dan sekaligus mencoba
mendialogkan tanggapan-tanggapan para penulis dari buku-buku acuan tersebut.
Kelompok akan mencoba membahas lebih banyak perihal Nabi Muhammad dari sudut
spiritualitas umat Islam memandangnya pasca wafatnya. Karena itu paper ini akan
dibagi ke dalam dua bab besar yaitu kehidupan Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad
Pasca Wafat. Semoga melalui paper ini kita dapat memiliki pengenalan yang lebih
mendalam terhadap sosok Nabi Muhammad.
Kehidupan Nabi
Muhammad
a.
Kelahiran Muhammad
Nabi Muhammad merupakan kalangan
Bani Hasyim dari keluarga besar Quraisy yang – seperti disebutkan oleh kelompok
I – diyakini lahir pada sekitar tahun 570 M, namun menurut perhitungan M.
Hamidullah, Nabi Muhammad lahir tepatnya pada bulan Juni 569 M.[1]
Dalam perkembangannya, kisah hidup Muhammad sepertinya mendapat banyak
kisah-kisah ajaib di dalam tradisi Islam. Menurut Schimmel, ada tradisi
penuturan Muslim yang berkembang yang mengatakan bahwa pada hari kelahiran
Muhammad ada suatu kejadian yang diyakini sebagai mukjizat pertama Nabi
Muhammad yaitu tercerai-berainya sekelompok pasukan asing yang sedang mengepung
kota Mekah disaat Nabi Muhammad lahir. Selain itu, ada juga kisah yang
mengatakan bahwa ketika Muhammad diasuh oleh Halimah, keledai Halimah yang
sudah tua dan sangat kelelahan tiba-tiba menjadi lincah dan segar ketika
ditunggangi oleh Muhammad. Kisah ini dipercaya sebagai salah satu tanda awal
dari keagungan masa depan Muhammad.[2]
Dalam buku yang ditulis oleh
Schimmel ini, kita akan mendapati banyak sekali cerita-cerita mukjizat yang
mengiringi perjalanan hidup Nabi Muhammad. Para penyair-sufi pun banyak menulis
puji-pujian mereka terhadap sosok Nabi Muhammad
dan juga terhadap sosok orang-orang yang dekat dengan Muhammad seperti
Aminah (ibu Muhammad), Khadijah (istri pertama Muhammad), Bilal (budak asal Ethiopia
yang ditebus dan memeluk Islam), dan lainnya. Schimmel mengatakan bahwa semua
hal ini dapat kita lihat sekaligus sebagai ungkapan yang menunjukkan bagaimana
masyarakat memandang sosok Nabi Muhammad. Sehingga melalui tulisan-tulisan
puisi dan legenda-legenda yang muncul tentang kisah hidup Nabi Muhammad seperti
yang sudah disebutkan diatas pun kita dapat karisma seorang pemimpin sejati
dari seorang Nabi Muhammad dengan lebih baik dibandingkan dengan fakta-fakta
historisnya.[3]
b.
Kenabian Muhammad
Seperti dituliskan oleh Kelompok I,
Nabi Muhammad mendapatkan wahyu pertamanya di Gua Hira yang memerintahkannya
untuk “membaca” (QS Al-‘Alaq, [96]: 1-5). Sebagai tambahan, Nabi Muhammad
mengalami masa “kekeringan spiritual” setelahnya yang membuat ia ingin
menerjunkan di dari Gunung Hira. Selain itu,
Nabi Muhammad juga diriwayatkan sering menderita ketika wahyu diturunkan
kepadanya dengan berbagai gejala seperti unta yang menjadi gelisah dan
berjongkok, dan wahyu yang datang bagai suara lonceng yang merupakan cara turunnya wahyu yang paling
menyakitkan bagi Muhammad.[4]
Mengenai kehidupan keagamaan di
Mekah, Schimmel menuliskan bahwa kita dapat mengabaikan kemungkinan adanya
pengaruh kuat agama Kristen-Yahudi pada gagasan-gagasan penduduk Mekah. Bahkan
muncul spekulasi bahwa gamba-gambar dan patung-patung yang dikeramatkan di
Ka’bah mungkin saja berupa ikon-ikon Kristen, karena dilaporkan bahwa ada
patung Perawan Maria dan patung Yesus Kristus diantara patung-patung yang ada
disana.[5]
c.
Penyebaran Islam
Pada masa-masa awal turunnya wahyu
kepada Nabi Muhammad, penduduk Mekah tidak merasa yakin akan wahyu tersebut,
sehingga ketegangan antara mereka dan sekelompok kecil pengikut Nabi Muhammad
meningkat dari tahun ke tahun. Hingga kemudian – seperti yang telah dituliskan
oleh Kelompok I – Nabi Muhammad dan pengikutnya berhijrah ke Yastrib (kemudian
dikenal sebagai Madinah al-Nabi disingkat
Madinah) pada bulan September 622 M, yang kemudian ditetapkan sebagai awal
penanggalan tahun Hijriah yang diawali pada bulan Muharram dalam tahun qamariyyah yang berjangka 354 hari.[6]
Muhammad diundang ke Madinah untuk memcahkan beberapa masalah sosial dan
politik yang muncul disana yang diakibatkan oleh perpecahan kelompok-kelompok
yang berbeda di Madinah.[7]
Mengenai Piagam Madinah yang
disebut sebagai perjanjian yang memperdamaikan suku-suku di Madinah berikut
suku-suku Yahudi, Montgomery Watt memberikan data yang menunjukkan bahwa
ternyata Piagam Madinah yang ada bukanlah suatu perjanjian yang dibuat pada
masa yang sama. Ada perbedaan pendapat diantara para ahli, namun jelas terlihat
bahwa poin-poin dalam Piagam Madinah banyak mengalami pengulangan namun
memiliki perubahan. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa ada poin yang
dituliskan sebelum Perang Badar, dan ada yang dituliskan setelah Perang Badar.
Misalnya saja poin 23 dan 36, pada poin 23 dikatakan bahwa jika ada
pertentangan yang terjadi, maka permasalahan itu harus dibawa kepada Muhammad.
Pada poin 36 kita dapat melihat perubahan posisi Muhammad yang semakin kuat di
Madinah yang mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh berperang tanpa
seizin Muhammad. Dalam dua poin ini bisa dilihat bahwa ada pergeseran waktu
yang cukup jauh diantara poin 23 dan 36. Perbedaan juga dapat dilihat dalam
penggunaan penyebutan yang tidak konsisten, seringkali menggunakan kata
‘orang-orang beriman’ namun dua kali menggunakan kata ‘Muslim’(poin 25 dan 37)
dan banyak perbedaan lainnya.[8]
Kelompok I menguraikan proses
terjadinya perang Badar dengan mengutip tulisan dari Fazlur Rahman dengan
terlalu sederhana. Padahal, kelompok mendapati bahwa Rahman secara
terang-terangan menunjukkan adanya muatan politis yang kuat di dalam Perang
Badar ini. Dimana Muhammad sepertinya memiliki keinginan yang besar untuk
menguasai Mekah dan mengislamkan sukunya agar Islam memperoleh dukungan yang
besar dan dapat menyebarkan Islam keluar sehingga dapat berkembang pesat.[9]
Perang Badar pada akhirnya benar-benar menjadi peristiwa monumental yang
mengubah sejarah Islam awal dimana sekelompok kecil Muslim menang melawan
sepasukan besar tentara Mekah yang jauh lebih kuat sehingga peristiwa ini
dianggap sebagai suatu mukjizat yang
besar. Nama Badar menjadi bukti tak terbantah tentang kepemimpinan Muhammad
atas umatnya dan sebagai bukti bahwa Allah berada di pihak Nabi Muhammad yang
dilukiskan dalam Al-Quran : Bukanlah
engkau yang melempar saat engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar
(QS Al-Anfal [8]: 17).[10]
Setelah melalui Perang Badar pada
bulan Maret 624 M, Perang di dekat Bukit Uhud pada tahun 625 M, Perang melawan
serangan penduduk Mekah pada tahun 627 M, kekuatan Nabi Muhammad meningkat
sangat pesat sehingga pada tahun 630 M, Nabi Muhammad dapat menaklukkan Mekah
tanpa perlawanan. Musuh-musuhnya yang memeluk Islam diberikan amnesti dan
Ka’bah menjadi pusat ibadah kaum Muslim sejak saat itu.[11]
d.
Penghormatan dan Wahyu
Setelah wafatnya Khadijah, Nabi
Muhammad menikah beberapa kali, dimana hanya Aisyah yang masih gadis ketika
dinikahinya sedangkan istri-istrinya yang lain adalah janda-janda para pejuang
yang gugur. Meskipun Al-Quran membatasi jumlah istri maksimal empat orang,
namun Muhammad mendapat keistimewaan untuk boleh menambah jumlah ini.
Istri-istri Muhammad mendapat gelar terhormat sebagai Umm al-Mu’minin atau Ibu Kaum Beriman (QS Al-Ahzab [33]:6) dan
mendapat beberapa larangan khusus bagi mereka, seperti tidak diizinkan untuk
menikah lagi setelah Muhammad wafat (QS Al-Ahzab [33]:53)[12]
Baik Schimmel maupun Rahman,
menyinggung mengenai persoalan sumber wahyu Nabi Muhammad tentang kisah
tokoh-tokoh dari tradisi Yahudi-Kristen
dalam konteks yang sama sekali berbeda dengan kisah-kisah Injil. Rahman
menjelaskan bahwa tidak penting untuk mempertanyakan dari mana sumber-sumber
riwayat Nabi-nabi tersebut dalam menegaskan makna dan keaslian risalah Nabi karena
yang utama adalah bagaimana kita bisa memahami fungsi dan makna cerita-cerita
tersebut. Menurut Rahman, “Apa yang diwahyukan adalah tujuan dan makna yang
terkandung dalam ceritera-ceritera tersebut.[13]
Namun dalam kalimat berikutnya Rahman terkesan menafikan keterkaitan pendekatan
historis dengan keaslian suatu cerita. Karena tanpa penjelasan historis yang
jelas, Rahman kemudian menuliskan:
Sungguh, kalau
Nabi Muhammad tidak tahu sebelumnya secara ‘historis’ (yang dibedakan dari
‘melalui wahyu’) tentang materi ceritera-ceritera Nabi-nabi tersebut, pastilah
beliau tidak akan mampu memahami maksud wahyu yang mengenai Nabi-nabi yang
diwahyukan itu.[14]
Kalimat ini mengesankan upaya
Rahman untuk memberi gambaran bahwa Nabi Muhammad sesungguhnya tahu bagaimana
kisah historis sebenarnya tentang para Nabi tersebut namun Muhammad hanya menceriterakan
kisah para Nabi sesuai dengan apa yang diwahyukan kepadanya (walaupun tidak
sesuai dengan historis?). Kelompok merasa sesungguhnya penjelasan ini tidak
cukup baik.
Schimmel terasa lebih jujur dalam
menjawab pertanyaan ini. Menjawab kebingungan mengenai dari mana sumber
Muhammad, dia mengutip pandangan Johan Fuck yang mengatakan bahwa kita tidak akan bisa mengungkapkan rahasia
kepribadian sosok Nabi Muhammad tentang bagaimana dia mampu memiliki keyakinan
bahwa Tuhan memilihnya sebagai rasul dan pemberi peringatan.[15]
Schimmel kemudian memaparkan pandangan bahwa bagi kaum muslim, perbedaan antara
versi Injil dan Al-Quran dalam kisah para Nabi tersebut justru membuktikan bahwa Al-Quran adalah benar-benar firman
Allah. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa Nabi Muhammad yang buta aksara
diyakini tidak mungkin mengetahui kisah-kisah para Nabi tersebut dari Injil,
sehingga pastilah Nabi Muhammad menerima kisah-kisah tersebut langsung dari
wahyu Allah. Pandangan ini kemudian diperhadapkan Schimmel dengan pandangan
Gunther Luling yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad benar-benar mengenal dan
mengetahui tradisi Yahudi-Kristen dan memanfaatkan kisah-kisah ini dengan
piawai. Schimmel menyimpulkan bahwa kisah-kisah para Nabi tersebut menjadi
paradigma bagi kehidupan Muhammad, dimana dia yakin bahwa umat-umat sebelumnya
(pada masa para Nabi tersebut) dibinasakan oleh Allah karena tidak mengimani
bahkan menganiaya para Nabi, sehingga penduduk Mekah yang tidak mau menerima
pesan yang disampaikan olehnya akan menerima nasib yang sama.[16]
Pada tahun 632 M, Nabi Muhammad
berhaji ke Mekah. Tindakan Nabi Muhammad ini kemudian dijadikan contoh yang
mengikat bagi kaum Muslim untuk melaksanakan ibadah haji.
Masa Setelah Nabi
Muhammad Wafat
a.
Kepemimpinan Pasca Wafatnya Nabi
Muhammad
Muhammad wafat pada tanggal 8 Juni
632 M (11 H) di kamar Aisyah yang saat itu berumur 18 tahun. Nabi Muhammad
diyakini tidak meninggalkan petunjuk khusus tentang pergantian kepemimpinannya.
Yang meneruskan garis keturunannya adalah anak perempuannya yang bernama
Fatimah yang menikah dengan Ali (saudara sepupu ayahnya). Fatimah dijuluki al-Zahra’ (“Yang Berkilauan”) karena
diriwayatkan bahwa kelahiran Fatimah dikelilingi oleh cahaya, benar-benar suci,
dan tidak pernah mengalami menstruasi. Fatimah juga dijuluki al-batul (“sang perawan suci”) yang
kemudian menjadi simbol Mater Dolorosa (“Sang Bunda yang Berduka”) sejati
setelah kematian Husain, puteranya.[17]
Setelah kematian Muhammad, Abu
Bakar (mertua Muhammad) melontarkan peringatan keras kepada kaum Muslim yang
tengah berdukacita, “Barangsiapa menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa
Muhammad kini telah wafat. Akan tetapi, barangsiapa menyembah Allah maka Dia
tetap hidup dan tidak akan mati.” Abu Bakar kemudian dipilih sebagai khalifah
atau pengganti Nabi. Setelah Abu Bakar yang dijuluki al-Shiddiq wafat pada tahun
634 M, ia kemudian digantikan oleh Uman bin al-Khaththab yang dijuluki al-Faruq (“yang mampu membedakan
kebenaran dari kebatilan”) sebagai khalifah. Setelah Umar dibunuh pada tahun
644 M, ia digantikan oleh Utsman bin Affan. Utsman berjasa dalam memerintahkan
penyusunan Al-Quran dalam bentuk yang dikenal sekarang, yang dibagi ke dalam 30
juz dan 114 surah. Utsman dibunuh pada tahun 656 M dan digantikan oleh Ali bin
Abi Thalib.[18]
b.
Penghormatan dan Hadis
Penghormatan kepada keluarga Nabi
Muhammad sangatlah penting bagi umat Islam. Bukan hanya dari sudut pandang
keagamaan, namun juga sebagai faktor penentu dalam sejarah politik Islam.[19]
Sesungguhnya Nabi Muhammad sendiri tidak pernah menyatakan diri memiliki sifat
adimanusiawi. Dia selalu mengatakan bahwa satu-satunya mukjizat dalam hidupnya
adalah wahyu yang turun kepadanya dalam bahasa Arab (Al-Quran). Nabi Muhammad
menyadari bahwa dia hanyalah manusia biasa yang menerima wahyu ilahi sebagai
satu-satunya hak istimewanya.[20]
Namun ada beberapa ayat Al-Quran yang menunjukkan keistimewaan Muhammad
dibanding yang lainnya, seperti bahwa Nabi Muhammad merupakan “rahmat bagi alam
semesta”, rahmatan lil-‘alamin (QS
Al-Anbiya’ [21]: 107), Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi Muhammad
(QS Al-Ahzab [33]: 56), dan lainnya.[21]
Dalam Al-Quran juga dapat ditemukan rumusan-rumusan dimana Allah memerintahkan
untuk “mematuhi Allah dan utusan-Nya”. Nabi Muhammad dipercaya sebagai manusia
pilihan Allah (al-Musthafa) sehingga
cara hidup (Sunnah)-nya menjadi
satu-satunya aturan perilaku yang sah bagi umat Muslim.[22]
Sunnah Nabi Muhammad terdiri dari segenap tindakan (fi’l), ucapan (qaul), dan
persetujuan diam (taqrir)-nya atas
fakta-fakta tertentu.[23]
Contoh perilaku nabi Muhammad ini
banyak terdapat dalam hadis. Hadis adalah catatan tentang ucapan atau perbuatan Nabi Muhammad yang diriwayatkan
oleh sahabat terpercaya Nabi Muhammad kepada orang lain di generasi sesudahnya
yang kemudian menyampaikan kembali kepada generasi sesudanya dan demikian
seterusnya. Hadis yang sahih adalah hadis yang rangkaian perawinya terbukti dan
dapat dipercaya. Hadis-hadis yang bisa dipercaya ini jumlahnya terus bertambah
dan hal ini menunjukkan perkembangan dari masalah-masalah teologis dan praktis
yang dihadapi oleh umat Muslim pada abad-abad pertama sejarahnya.[24]
Hadis-hadis yang paling bisa dipercaya ini kemudian dihimpun dalam sebuah
koleksi besar pada pertengahan abad ke-9 M. Diantaranya adalah Shahih
al-Bukhari, dan Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan
an-Nasa,dan Sunan Ibn Majah. Selain hadis yang sahih ini, ada juga banyak hadis yang
tidak lagi menyebutkan rangkaian perawinya yang dipelajari diseluruh dunia
Islam dan juga banyak disukai.[25]
Ada berbagai kumpulan hadis dalam Islam, dimana kitab-kitab ini diyakini
mengandung rahmat dan berkah dari ucapan Nabi Muhammad dan hadis-hadis ini
sering digubah menjadi syair-syair oleh para penyair-sufi besar Persia, Jami,
pada akhir abad ke-15 M.[26]
Bagi umat Islam, ketekunan membaca
hadis-hadis nabi akan membawanya lebih dekat dengan Nabi Muhammad. Selain itu,
hadis Nabi juga dianggap sebagai langkah pertama dalam penafsiran Al-Quran.
Namun kemudian muncul masalah dimana terdapat pertentangan isi diantara hadis
sehingga kemudian membawa kepada masalah autentisitas atau keaslian hadis
tersebut. Mengenai permasalahan ini, Schimmel menyajikan pendapat-pendapat dari
berbagai sudut pandang yang menarik. Terlihat bahwa ketika sarjana-sarjana
Eropa semenjak Ignaz Goldziher bersikap sangat kritis terhadap hadis, maka kaum
Muslim yang saleh akan menolak kritik tersebut karena melihat kritik tersebut
sebagai upaya untuk menghancurkan dasar-dasar Islam.[27]
Kelompok melihat bahwa umat Islam cenderung berupaya untuk “mengabaikan” dan
atau menolak pendekatan historis-kritis yang dilakukan untuk menguji
keabsahan suatu hadis. Seperti kutipan
dari Seyyed Hossein Nasr dalam karyanya Ideals
and Realities of Islam yang dikutip oleh Schimmel berikut :
Dengan
berlagak sok-ilmiah dan memanfaatkan metode sejarah yang dikenal – atau, lebih
tepatnya, tidak dikenal – untuk mereduksi makna seluruh kebenaran agama menjadi
fakta-fakta sejarah belaka, para pengkritik hadis itu menyimpulkan bahwa hadis
bukan berasal dari Nabi Saw., melainkan “dipalsukan” oleh generasi-generasi
sesudahnya. Di balik kedok keilmiahan ini, tersembunyi asumsi a priori bahwa Islam bukanlah Wahyu
Ilahi … Seandainya para pengkritik hadis itu bersedia menerima bahwa Muhammad
adalah seorang nabi, tidak akan ada argumen apa pun yang secara ilmiah sah
terhadap isi pokok hadis.[28]
Dari kutipan ini, kelompok melihat bahwa
sepertinya bahkan seorang pemikir Muslim terkemuka yang dididik di Harvard,
menghadapi berbagai kritik yang datang dengan penuh curiga dan alih-alih
memberi jawaban secara ilmiah, ia mengembalikan setiap jawaban dari kritik
tersebut kepada iman. Namun Schimmel mengakui bahwa di dunia Muslim modern
terjadi perbedaan sikap terhadap hadis, dimana ada yang menerima tanpa syarat
semua hadis dan ada yang selektif terhadap hadis,[29]
dan ada juga yang menolak hadis dan hanya menerima Al-Quran sebagai satu-satunya
sumber nilai-nilai moral etika.[30]
Sekalipun demikian, menurut Schimmel kebanyakan kaum Muslim lebih suka semboyan
Abu Bakar untuk tidak membuang apa pun dari semua hal yang telah dilakukan oleh
Nabi Muhammad.[31]
c.
Perkembangan Pandangan Terhadap
Nabi Muhammad
Schimmel mencatat bahwa
penghormatan kepada Nabi Muhammad dan perhatian yang cermat kepada rincian
terkecil dari perilaku dan pribadinya tumbuh sejalan dengan semakin jauhnya
rentang waktu kehidupan kaum Muslim dengan Nabi Muhammad. Para juru dakwah suka
menggambarkan figur Muhammad dalam warna-warna yang indah, bahkan menambahinya
dengan rincian-rincian yang remeh seperti “Nabi memiliki tujuh belas uban di
jenggotnya”. Muncullah koleksi-koleksi kategori dala il al-nubuwwah (“bukti-bukti kenabian”) yang dilengkapi dengan
syama il (karangan-karangan
kesusastraan yang mendeskripsikan sifat-sifat mulia dan ketampanan lahirian
Nabi Muhammad. Dua karya dari kategori
ini yang paling awal disusun oleh Abu Nu’aim al-Ishfahani (w. 1037 M) dan
al-Baihaqi (w. 1066 M) yang menceritakan tentang mukjizat-mukjizat Nabi pada
masa sebelum dan sesudah lahir, sebelum dan sesudah penunjukannya sebagai nabi
dan penunjukan dirinya sebagai nabi terakhir. Ada juga Kitab al-Syifa’ fi Ta’rif Huquq al-Mushthafa
yang melukiskan kehidupan Nabi Muhammad, sifat-sifat dan mukjizat-mukjizatnya
secara terperinci, sering digunakan dan diulas dan juga dikagumi di dunia Islam
Abad Pertengahan sehingga dipandang sebagai barang keramat, bahkan digunakan
sebagai azimat.[32]
Lukisan-lukisan tentang ketampanan
fisik Nabi Muhammad banyak ditemukan dalam tradisi-tradisi awal. Nabi Muhammad
digambarkan sebagai manusia yang memiliki akhlak yang paling bagus dan manusia
yang paling tampan. Nabi Muhammad digambarkan bertubuh sedang, tidak gemuk;
wajahnya bulat dan berkulit putih, matanya lebar dan hitam, bulu mata panjang,
rambut tidak lurus dan tidak keriting, memiliki tanda kenabian diantara kedua
bahu, tubuhnya besar, wajahnya bersinar seperti bulan purnama, tinggi namun tidak
jangkung, jalinan rambut dibelah, roman mukanya bersinar, alisnya bagus,
lehernya bagaikan patung gading, dadanya bidang dan berbahu lebar, dan
rincian-rincian lainnya. Digambarkan juga bahwa tangannya sejuk dan wangi,
bahkan ada sebuah legenda yang mengatakan bahwa dalam perjalanannya ke langit,
keringat Nabi menetes ke bumi dan berubah menjadi bunga mawar yang wangi
sehingga orang beriman masih bisa menikmati aroma tubuh Nabi dari wangi bunga
mawar.[33]
Awalnya masih ada gambar-gambar yang melukiskan wajah Nabi Muhammad, namun
kemudian wajah Nabi Muhammad dalam lukisan-lukisan ditutup. Namun kemudian kaum
Muslim menemukan cara lain untuk membuatnya hadir di depan mata mereka melalui hilyah (“ornamen” yang berisi berbagai
gambaran dan lukisan ringkas tentang sifat-sifat lahiriah dan batiniah Nabi
Muhammad. Mengenai hilyah, ada hadis
yang mengatakan bahwa orang yang melihat hilyah
Nabi dan kemudian merindukan Nabi, maka Allah tidak akan membiarkan api neraka
menyentuhnya.[34] Selain
itu, ada banyak benda yang dipakai Nabi yang kemudian menjadi pusaka berharga
dan sangat dihormati, seperti kemeja, sandal (yang dianggap telah menyentuh
Singgasana Allah), jejak kaki Nabi Muhammad, batu dari tempat jejak kaki
tersebut (batu-batu qadam rasul),
rambut dan jenggot Nabi Muhammad.[35]
Disamping menghormati benda-benda
pusaka yang berkaitan dengan Nabi Muhammad, umat Islam juga menelaah secara
teliti cara Nabi Muhammad merawat tubuhnya karena dalam hal ini pun Muhammad
dianggap sebagai panduan dalam perilaku. Bahkan dari hal terkecil seperti
bangun dengan menggunakan miswak (ranting
yang digunakan sebagai sikat gigi), menggunakan batu serawak untuk menghitamkan
mata, memoles rambut dan janggut dengan henna,
makan dengan tangan kanan, dan lainnya.[36]
Makanan yang disukai atau tidak disukai Nabi Muhammad juga dicatat dengan
teliti.[37]
Air yang digunakan untuk membersihkan diri sering digunakan oleh para sahabat
sebagai obat karena dipercaya mengandung berkah (barakah), air ludah Nabi juga dipercaya dapat dipakai untuk terapi,
penggunaan bekam dan obat pencahar yang disarankan Nabi juga mendapat perhatian
yang penting oleh umat Islam.[38]
Lebih lanjut, Schimmel mengatakan
bahwa ketampanan lahiriah Nabi Muhammad merupakan cermin dari keindahan dan
kemuliaan hatinya karena Allah telah menciptakannya sempurna dalam akhlak dan
moral (khalqan wa khulqan) dan akhlak
yang ditekankan disini adalah kerendahan hati dan kebaikannya.[39]
Kebaikan hati Muhammad banyak diceritakan lewat kisah-kisah yang dituturkan
oleh sahabat-sahabatnya dan para penyair. Mengenai perkawinan Nabi Muhammad
dengan sembilan perempuan, Schimmel mengatakan bahwa beberapa tokoh pembela
Islam menekankan bahwa pernikahan Nabi Muhammad setelah wafatnya Khadijah
adalah bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi para janda syuhada dan
sepanjang hidup pernikahan Nabi Muhammad, Khadijah tetaplah menjadi istri ideal
baginya walaupun Khadijah telah wafat. Kaum Muslim juga merasa bahwa kemampuan
Nabi Muhammad dalam menggabungkan bidang duniawi dan bidang spiritual merupakan
bukti bagi ketinggian derajatnya. Kelebihan Nabi Muhammad dalam hal ini juga
dapat dilihat dari bagaimana Nabi Muhammad tidak pernah dapat dipalingkan dari
Tuhan dan perjuangan spiritualnya meskipun dia memiliki banyak istri mengingat
banyaknya Nabi dan tokoh agama yang jatuh karena wanita.[40]
Menurut Schimmel, bagi para
pengamat Barat tentulah agama dan politik harus dipisahkan karena agama adalah
masalah batin dan untuk diri sendiri, sehingga dari sana mereka mengkritik Nabi
Muhammad yang merupakan seorang Nabi namun sekaligus seorang negarawan
(politisi). Akan tetapi bagi kamu Muslim, agama dan negara merupakan dua sisi
mata uang yang harus saling melengkapi.[41]
d.
Kedudukan Istimewa Nabi Muhammad
Secara umum, umat Muslim meyakini
Nabi Muhammad sebagai habib Allah
(“sahabat terkasih Allah”). Dalam buku-buku pegangan teologi mendefenisikan
empat sifat penting seorang nabi seperti jujur (shidq) dan bisa mengemban amanat (amanah), pasti menyampaikan Firman Allah (tabligh), dan harus bijaksana serta cerdas (fathanah). Seorang Nabi mustahil untu berdusta (kidzb), tidak setia atau berkhianat (khiyanah), menyembunyikan risalah Ilahi
(katman), atau bodoh (baladah).[42]
Hal ini membawa kita kepada doktrin ‘ishmah
(“terjaga dari kesalahan dan dosa”). Dalam doktrin ini dipercaya bahwa Nabi
Muhammad terbebas dari semua cacat moral.[43]
Namun beberapa mazhab tertentu menganggap bahwa mungkin saja bagi seorang nabi
untuk melakukan dosa, bahkan dosa-dosa besar. Sebagian ulama tafsir dalam
mazhab Mu’tazilah awal, beranggapan bahwa Nabi Muhammad bisa saja melakukan
dosa karena khilaf. Akan tetapi dalam doktri Mu’tazilah di kemudian hari,
diakatakan bahwa Muhammad tidak mungkin berbuat dosa sama sekali.[44]
Kedudukan nabi Muhammad sebagai
nabi terakhir dan penutup para nabi sebelumnya mendorong kaum Muslim untuk
membahas hubungan Nabi Muhammad dengan para rasul sebelumnya. Al-Quran telah
memperingatkan kaum Muslim : “Kami tidak membeda-bedakan di antara para rasul
dan nabi!” (QS Al Baqarah [2]: 285 dan QS Ali ‘Imran [3]: 84. Akan tetapi pada
saat yang hampir bersamaan beredar hadis
lain yang menjelaskan keunggulan Nabi Muhammad atas yang lain melalui kerelaan
dan kemampuannya untuk menjadi wasilah dan pemberi syafaat bagi umatnya.
Seperti hadis Najmuddin Razi Daya yang dikutip oleh Schimmel berikut ini :
Nabi Saw.
Bersabda: “Aku telah diberi keunggulan atas nabi-nabi lain dalam enam perkara:
bumi dijadikan masjid untukku dengan tanahnya dinyatakan suci; harta rampasan
perang dihalalkan untukku; aku diberi kemenangan luar biasa pada jarak satu bulan
perjalanan; aku diizinkan oleh Allah untuk memberikan syafaat; aku diutus untuk
seluruh umat manusia; dan aku adalah penutup para nabi.”[45]
Schimmel kemudian banyak memberikan
contoh-contoh hadis yang menunjukkan keunggulan Nabi Muhammad atas nabi-nabi lain
seperti nabi Musa dan nabi Isa.[46]
Berhubungan dengan ini, maka kedudukan luhur dan unik Nabi Muhammad dipandang
perlu untuk dilindungi dari fitnah, kebencian, dan pencemaran nama baik.
Puji-pujian kepada Nabi Muhammad dipandang tidak boleh disejajarkan dengan
puji-pujian kepada yang lain, dimana dalam hal ini banyak penyair Persia yang
dianggap merendahkan Nabi Muhammad dalam syair-syairnya yang menempatkan Nabi
Muhammad sejajar dengan yang lain dalam pujiannya. Penggunaan ganjil nama Nabi
Muhammad di dalam tulisan-tulisan syair dianggap sebagai sesuatu yang hampir
sama dengan kemurtadan. Melangkah lebih jauh, ahli-ahli lain menganggap bahwa
pemfitnah Nabi layak diberi hukuman berat bahkan dalam perkembangannya, layak
diberi hukuman mati tanpa pemeriksaan pengadilan.[47]
Schimmel kemudian menutup Bab 3 dari bukunya “Cahaya Purnama Kekasih Tuhan”
dengan suatu contoh ketika seorang Hindu dibunuh oleh pemuda muslim karena
menerbitkan buku dengan judul Rangela
Rasul (Nabi yang Suka Berfoya-foya). Pemuda muslim yang membunuhnya
kemudian dinyatakan bersalah dan dihukum mati, namun masyarakat Muslim di India
memberikan simpati yang besar terhadapnya. Schimmel mengatakan bahwa:
“Setiap orang
yang pernah memberikan kuliah dalam sebuah lingkungan Muslim pun tahu bahwa
suatu ucapan yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghina bisa
disalahtafsirkan oleh para pendengarnya, yang menjadi terlalu peka bila sudah
menyangkut Nabi yang mereka cintai.”[48]
Tanggapan Kelompok
Dari pembahasan dalam paper ini,
kelompok melihat bagaimana sosok Nabi Muhammad menjadi sangat penting dalam
kehidupan umat Muslim. Kita dapat melihat bagaimana seluruh detail kehidupannya
menjadi hal yang dapat dikatakan “sakral” bagi umat Muslim. Terlepas dari semua
perdebatan yang mengiringinya, sosok Nabi Muhammad merupakan sosok seorang yang
memberikan pengaruh besar didalam keimanan seorang Muslim.
[1]
Annemarie Schimmel, Cahaya Purnama
Kekasih Tuhan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2012). 23
[2]
Ibid
[3]
Ibid. 22
[4]
Ibid. 25
[5]
Ibid. 26
[6]
Ibid. 28
[7]
Ibid. 27
[8]
Lihat Montgomery Watt, Muhammad at Medina,
(London: Clarendon Press, 1962). 221-226
[9]
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1984). 16
[10]
Annemarie Schimmel, op. cit. 28, 29
[11]
Ibid. 30, 31
[12]
Ibid. 31
[13]
Fazlur Rahman. Op. cit. 8, 9
[14]
Ibid.
[15]
Annemarie Schimmel, op. cit. 32
[16]
Ibid. 33
[17]
Ibid. 34
[18]
Ibid. 34, 35
[19]
Ibid. 36
[20]
Ibid. 42
[21]
Ibid. 43
[22]
Ibid. 44
[23]
Ibid. 45
[24]
Ibid. 45, 46
[25]
Ibid. 46
[26]
Ibid. 47
[27]
Ibid. 49
[28]
Ibid. 50
[29]
Ibid.
[30]
Ibid. 51
[31]
Ibid.
[32]
Ibid. 54, 55
[33]
Ibid. 56, 57
[34]
Ibid. 58
[35]
Ibid. 62 - 67
[36]
Ibid. 67-68
[37]
Ibid. 68
[38]
Ibid. 69-70
[39]
Ibid. 70-71
[40]
Ibid. 76-78
[41]
Ibid. 81
[42]
Ibid. 89
[43]
Ibid. 90
[44]
Ibid. 93
[45]
Ibid. 96
[46]
Lihat Ibid. 97-100
[47]
Ibid. 101
No comments:
Post a Comment