Nahdlatul
Ulama ( NU )
Pada masa saat sekarang ini, kita
telah hidup dalam keanekaragaman yang modern, bukan hanya perbedaan agama, ras,
suku dan kebudayaan. Namun juga terdapat perbedaan didalam agama itu sendiri,
yaitu keanekaragaman pikiran dan sudut pandang yang berbeda, seperti yang
dibahas dalam artikel ini tentang suatu kelompok atau organisasi agama Islam
yang bersifat muslim tradisional yang anggotanya adalah para ulama muslim
tradisional yang organisasinya disebut dengan nama Nahdlatul Ulama (NU) pada
tahun 1926 dan
diprakarsai oleh Kyai Hasyim dengan tujuan yaitu sebagai wahana para
ulama dalam membimbing ulama mencapai kejayaan dan kedaulatan terhadap
keanekaragaman satu dengan yang lainnya.
NU ini memiliki tiga pilar utama, yaitu semangat kebangsaan (nahdlatul wathan), semangat atau
kebangkitan ekonomi (nahdlatul tujjar),
dan gerakan pengembangan pemikiran (taswirul
afkar).
Nama Kyai Hasyim sendiri diakui
dan dikenang sebagai ulama besar karena orientasi politiknya yaitu adalah untuk
bangsa, integritas, serta warisan keilmuan dan kelembagaan yang abadi. KH
Hasyim adalah seorang ulama karismatik yang sangat dihormati masyarakat dan
disegani oleh para penguasa. Rasa hormat diberikan karena Kyai Hasyim adalah
seorang kyai yang mempunyai pengetahuan agama yang sangat luas. Ia seorang
ulama dengan pendirian yang tegas dan mengabdikan hidupnya untuk suatu proses
transformasi masyarakat secara menyeluruh. Ia juga diakui sebagai ulama besar
karena keberhasilannya mendidik santri-santri menjadi tokoh besar di kemudian
hari.
Bukan hanya itu saja, ia juga
seorang patriot yang mencintai tanah airnya. Ia tanpa kenal lelah mendidik
santri-santrinya menjadi ahli agama sekaligus pejuang bangsa untuk merebut
kedaulatan dan kemerdekaan tumpah darahnya. Kyai Hasyim bukan hanya melawan
kolonialisme dalam arti militer, tetapi juga kolonialisme kultural. Patriotisme
dan nasionalisme Kyai Hasyim juga ditunjukkan ketika ia bersama sejumlah kyai
memelopori Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Resolusi itu berisi seruan
kepada umat Islam untuk membangkitkan perang suci (jihad) dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan dengan mengusir tentara Sekutu dan Belanda di
belakangnya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Resolusi itu sendiri
didasarkan atas fatwa Kyai Hasyim bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang diproklamasikan Soekarno-Hatta adalah sah secara fikih. Dengan
demikian, Kyai Hasyim telah memberi status kepada NKRI sebagai negara yang sah
di mata hukum agama (fikih). Di samping seorang nasionalis, Kyai Hasyim juga
bukan sosok yang haus jabatan. Ia tidak pernah tergoda untuk berpolitik
praktis. Ketika diberi jabatan oleh Jepang sebagai Kepala Shumubu (Kantor Urusan
Agama), misalnya, jabatan itu ia serahkan kepada putranya, KH. A Wahid Hasyim.
Kyai Hasyim melibatkan diri dalam
urusan politik untuk jangka waktu tertentu, sementara urusan politik praktis
diserahkan kepada orang lain yang pas di bidang itu. Ibarat seorang resi yang
hanya turun dari padepokan di atas gunung ketika situasi masyarakat sedang
kacau dan membutuhkannya. Kalau situasi sudah normal, sang resi akan kembali
berkhalwat di padepokannya. Demikian juga Kyai Hasyim. Ia hanya terjun ke dunia
politik dalam situasi dan alasan khusus. Selebihnya ia kembali ke pesantren
mengabdikan hidupnya untuk pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat.
Keberanian untuk menjaga jarak dengan politik praktis menjadikannya tidak
pernah kehilangan wawasan dan kebijaksanaan (wisdom) untuk memahami persoalan
secara menyeluruh dan mencarikan alternatif solusi yang lebih diterima
masyarakatnya.
Tanggapan
:
Jika dilihat dari proses serta
tujuan terbentuknya organisasi NU ini, kita pastilah menyatukan suara untuk
memberikan apresiasi terhadap makna dan esensi dari organisasi tersebut, dimana
orang yang membentuknya juga merupakan orang yang memilik karakter pribadi yang
bijak dalam hal agama dan politik. Hal tersebut dapat kita lihat dari
murid-muridnya yang telah berhasil dalam menjalankan tiga pilar organisasi
tersebut dan memaknai berpolitik hanya disaat tertentu saja, tidak haus akan
jabatan serta tidak melupakan hakekat atau tujuan utama terbentuknya organisasi
tersebut. Namun zaman semakin berubah, pemikiran tradisional semakin tertutupi
oleh modernisasi pemikiran yang membuat orang yang tadinya hanya memakai
politik disaat tertentu saja, sekarang generasi penerus malah tergoda akan
fantasi serta kenikmatan dalam berpolitik dan mulai kehilangan orientasi dalam
tujuan organisasi tersebut.
Hal ini memang menjadi ketakutan
bagi setiap orang dan menguntungkan bagi kaum elite dalam organisasi tersebut,
yaitu dengan mudahnya menggerakkan massa sesuka hati dalam mencapai kepentingan
politik untuk pemuasan hasrat pribadi maupun kelompok. Maka daripada itu
perlunya pengkoreksian kembali makna dan hakekat dalam badan organisasi
tersebut, agar setiap anggotanya dapat kembali memegang kaidah yang berlaku dan
tidak melenceng keluar dari jalur, bahkan menabrak jalur orang lain demi
kepentingan pribadinya sendiri. Meskipun kekuatiran itu masih ada, namun saya
tetap percaya bahwa didalam tubuh NU tersebut masih terdapat orang-orang yang
mempunyai karakter seperti Kyai Hasyim dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang
lebih mementingkan kepentingan bersama demi sebuah kebaikan dalam
keanekaragaman, bukan malah mementingkan kebaikan pribadi atau kelompok dan
menghancurkan keanekaragaman itu sendiri.
No comments:
Post a Comment