Monday, October 16, 2017

Apa itu Nahdlatul Ulama (NU)?

Nahdlatul Ulama ( NU )

Pada masa saat sekarang ini, kita telah hidup dalam keanekaragaman yang modern, bukan hanya perbedaan agama, ras, suku dan kebudayaan. Namun juga terdapat perbedaan didalam agama itu sendiri, yaitu keanekaragaman pikiran dan sudut pandang yang berbeda, seperti yang dibahas dalam artikel ini tentang suatu kelompok atau organisasi agama Islam yang bersifat muslim tradisional yang anggotanya adalah para ulama muslim tradisional yang organisasinya disebut dengan nama Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 dan diprakarsai oleh Kyai Hasyim dengan tujuan yaitu sebagai wahana para ulama dalam membimbing ulama mencapai kejayaan dan kedaulatan terhadap keanekaragaman satu dengan yang lainnya. NU ini memiliki tiga pilar utama, yaitu semangat kebangsaan (nahdlatul wathan), semangat atau kebangkitan ekonomi (nahdlatul tujjar), dan gerakan pengembangan pemikiran (taswirul afkar).
Nama Kyai Hasyim sendiri diakui dan dikenang sebagai ulama besar karena orientasi politiknya yaitu adalah untuk bangsa, integritas, serta warisan keilmuan dan kelembagaan yang abadi. KH Hasyim adalah seorang ulama karismatik yang sangat dihormati masyarakat dan disegani oleh para penguasa. Rasa hormat diberikan karena Kyai Hasyim adalah seorang kyai yang mempunyai pengetahuan agama yang sangat luas. Ia seorang ulama dengan pendirian yang tegas dan mengabdikan hidupnya untuk suatu proses transformasi masyarakat secara menyeluruh. Ia juga diakui sebagai ulama besar karena keberhasilannya mendidik santri-santri menjadi tokoh besar di kemudian hari.
Bukan hanya itu saja, ia juga seorang patriot yang mencintai tanah airnya. Ia tanpa kenal lelah mendidik santri-santrinya menjadi ahli agama sekaligus pejuang bangsa untuk merebut kedaulatan dan kemerdekaan tumpah darahnya. Kyai Hasyim bukan hanya melawan kolonialisme dalam arti militer, tetapi juga kolonialisme kultural. Patriotisme dan nasionalisme Kyai Hasyim juga ditunjukkan ketika ia bersama sejumlah kyai memelopori Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Resolusi itu berisi seruan kepada umat Islam untuk membangkitkan perang suci (jihad) dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dengan mengusir tentara Sekutu dan Belanda di belakangnya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Resolusi itu sendiri didasarkan atas fatwa Kyai Hasyim bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan Soekarno-Hatta adalah sah secara fikih. Dengan demikian, Kyai Hasyim telah memberi status kepada NKRI sebagai negara yang sah di mata hukum agama (fikih). Di samping seorang nasionalis, Kyai Hasyim juga bukan sosok yang haus jabatan. Ia tidak pernah tergoda untuk berpolitik praktis. Ketika diberi jabatan oleh Jepang sebagai Kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama), misalnya, jabatan itu ia serahkan kepada putranya, KH. A Wahid Hasyim.
Kyai Hasyim melibatkan diri dalam urusan politik untuk jangka waktu tertentu, sementara urusan politik praktis diserahkan kepada orang lain yang pas di bidang itu. Ibarat seorang resi yang hanya turun dari padepokan di atas gunung ketika situasi masyarakat sedang kacau dan membutuhkannya. Kalau situasi sudah normal, sang resi akan kembali berkhalwat di padepokannya. Demikian juga Kyai Hasyim. Ia hanya terjun ke dunia politik dalam situasi dan alasan khusus. Selebihnya ia kembali ke pesantren mengabdikan hidupnya untuk pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat. Keberanian untuk menjaga jarak dengan politik praktis menjadikannya tidak pernah kehilangan wawasan dan kebijaksanaan (wisdom) untuk memahami persoalan secara menyeluruh dan mencarikan alternatif solusi yang lebih diterima masyarakatnya.

Tanggapan :
Jika dilihat dari proses serta tujuan terbentuknya organisasi NU ini, kita pastilah menyatukan suara untuk memberikan apresiasi terhadap makna dan esensi dari organisasi tersebut, dimana orang yang membentuknya juga merupakan orang yang memilik karakter pribadi yang bijak dalam hal agama dan politik. Hal tersebut dapat kita lihat dari murid-muridnya yang telah berhasil dalam menjalankan tiga pilar organisasi tersebut dan memaknai berpolitik hanya disaat tertentu saja, tidak haus akan jabatan serta tidak melupakan hakekat atau tujuan utama terbentuknya organisasi tersebut. Namun zaman semakin berubah, pemikiran tradisional semakin tertutupi oleh modernisasi pemikiran yang membuat orang yang tadinya hanya memakai politik disaat tertentu saja, sekarang generasi penerus malah tergoda akan fantasi serta kenikmatan dalam berpolitik dan mulai kehilangan orientasi dalam tujuan organisasi tersebut.

Hal ini memang menjadi ketakutan bagi setiap orang dan menguntungkan bagi kaum elite dalam organisasi tersebut, yaitu dengan mudahnya menggerakkan massa sesuka hati dalam mencapai kepentingan politik untuk pemuasan hasrat pribadi maupun kelompok. Maka daripada itu perlunya pengkoreksian kembali makna dan hakekat dalam badan organisasi tersebut, agar setiap anggotanya dapat kembali memegang kaidah yang berlaku dan tidak melenceng keluar dari jalur, bahkan menabrak jalur orang lain demi kepentingan pribadinya sendiri. Meskipun kekuatiran itu masih ada, namun saya tetap percaya bahwa didalam tubuh NU tersebut masih terdapat orang-orang yang mempunyai karakter seperti Kyai Hasyim dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang lebih mementingkan kepentingan bersama demi sebuah kebaikan dalam keanekaragaman, bukan malah mementingkan kebaikan pribadi atau kelompok dan menghancurkan keanekaragaman itu sendiri. 

No comments:

Post a Comment

Pendalaman Alkitab dari Kitab Habakuk 1:12-17

Bahan Pendalaman Alkitab Habakuk 1:12-17 Pendahuluan Sebelum kita mengarah kepada isi dari perikop yang akan saya bahas, izinkan sa...