Monday, October 16, 2017

Pengkabaran Injil di Sumba (Tana Humba)

PENGKABARAN INJIL DI SUMBA (TANA HUMBA)

Pulau Sumba adalah  pulau dengan luas wilayah 10.710 km2. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten: Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur. Kota terbesarnya adalah Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur. Kota tersebut juga terdapat bandar udara dan pelabuhan laut yang menghubungkan Pulau Sumba dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia seperti Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Timor.
Hasil gambar untuk pengkabaran injil di sumba
Peta Sumba
Kondisi topografi Sumba Timur secara umum datar (di daerah pesisir), landai sampai bergelombang (wilayah dataran rendah <100 meter) dan berbukit (pegunungan). Daerah dengan ketinggian di atas 1000 meter hanya sedikit di wilayah perbukitan dan gunung. Lahan pertanian terutama di dataran pantai utara yang memiliki cukup air di permukaan maupun sungai-sungai besar. Setidaknya terdapat 88 sungai dan mata air yang tidak kering di musim kemarau.
Karakteristik dan Agama Penduduk
Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kabupaten Sumba Timur sekitar 234.642 jiwa. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya ditengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba asli. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.
Disamping orang Sumba asli juga terdapat orang Sabu, keturunan Tionghoa, Arab, Bugis, Bima, Jawa dan penduduk yang berasal dari daerah Nusa Tenggara Timur lainnya. Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Masyarakat Sumba secara rasial merupakan campuran dari ras Mongoloid dan Melanesoid. Sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan animisme Marapu dan agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Kaum muslim dalam jumlah kecil dapat ditemukan di sepanjang kawasan pesisir.
Diperkirakan, komposisi penganut agama di P. Sumba saat ini adalah sebagai berikut :
1.      Kristen Protestan : 55%
2.      Marapu : 20%
3.      Islam : 10%
4.      Katolik : 15%
Keadaan Umum Masyarakat Sumba
Sumba pada hakekatnya sangat berbeda dengan masyarakat di kepulauan Timor, pulau Sumba sampai pada pertengahan abad le-19 belum pernah mengalami pengaruh dari Belanda. Daerahnya masih terbagi atas sejumlah besar kerajaan. Struktur hierarkhi masyarakatnya juga ditandai oleh perbedaan yang sangat tajam dan mencolok, dimana lapisan ini dibagi menjadi tiga tingkat masyarakat, yaitu para pembesar, orang merdeka dan budak. Di antara orang sumba asli tidak ada yang menganut agama Islam, agama suku mereka disebut dengan sebutan “agama Marapu”. Kepercayaan Marapu ini sebenarnya mengkultuskan arwah nenek moyang (leluhur) sebagai perantara untuk memuja yang Maha Pencipta atau Ilahi Tertinggi. Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur arwah-arwah lainnya, Masyarakat Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan di tempat-tempat pemujaan, serta menyiapkan segalah alat dan bahan yang di gunakan dalam ritual. Berbagai ritus pengurbanan dan upacara kematian bertujuan untuk menghormati para leluhur. Bagi Masyarakat Sumba, upacara pengurbanan merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan arwah leluhur, sehingga terjadi keseimbangan antara dunia manusia dengan Prai Marapu. Budaya Sumba asli dalam segala bentuknya merupakan manifestasi dari kepercayaan tradisional orang Sumba yaitu Marapu, yang merupakan warisan nenek moyang yang secara holistik telah mendasari seluruh tatanan Masyarakat Sumba. Hal ini yang kemudian menjadi peta koknitif Masyarakat Sumba dalam menjalani berbagai aspek kehidupan sosial kebudayaannya.[1]
Dalam paroan kedua abad ke-19, keadaan di Sumba Timur kacau dan kurang aman, sedangkan hal di daerah Sumba Barat hal yang sebaliknya yang terjadi yaitu situasi dan kondisi yang sangat tenang. Kedua daerah itu berbeda pula dalam hal bahasa dan kebudayaan. Di samping orang Sumba asli, di daerah pantai tersapat trasmigran dari Flores (orang Ende), Sulawesi (Bugis) dan sejak tahun 1862 juga orang Sawu. Pada tahun 1866 pemerintah mengirim tentara ke Sumba yang menaklukkan para raja dan menegakkan “Pax Neerlandica”, perdamaian yang dipaksakan oleh orang Belanda. Pada waktu itu jumlah penduduk masih sekitar 100.000 orang, yang 50 tahun kemudian sudah beripat dua.

Permulaan Agama Kristen di Sumba
Di periode ini akan membahas sekelompok orang kristen asal Sawu. Keberadaan orang sawu menjadi jembatan bagi pekabar injil untuk memperkenalkan kekristenan kepada masyarakat Sumba. Orang sawu adalah sekelompok orang yang mendiami pulau kecil (sangat kering, tidak subur, curah hujan sedikit serta jangka waktu curah hujan pendek) di bagian Timur Sumba. Menurut sejarahnya nenek moyang orang Sawu merupakan perantau yang merantau untuk kehidupan yang lebih baik, mereka merantau ke Flores, Timor, dan ketempat yang menjamin kehidupan. Keberadaan orang Sewu mengakibatkan pernikahan lintas budaya, sebagai bukti ialah pernikahan anak Raja Mangili dan Malolo. Pernikahan ini memberi keuntungan bagi orang Sawu, karena mereka disediakan tempat tinggal dan mendapat dukungan untuk menyerang musuh-musuh mereka.
Pada tahun 1848 D. J Van den Dungen Gronovius, residen Timor memiliki ide untuk memindahkan orang Sawu ke Sumba. Pemindahan orang Sawu ke Sumba didorong oleh beberapa alasan, sbb:
1.      Ekonomi-Perdagangan: menguntungkan pemerintah Hindia Belanda karena orang Sawu adalah orang-orang yang rajin dan suka bekerja sehingga dapat memperbaiki kehidupan di Sumba yang subur, luas, dan jarang penduduk.
2.      Politik-Keamanan: selain rajin orang Sawu adalah orang-orang yang berani, jujur, setia, disiplin, karena itu terpercaya. Pemindahan orang Sawu juga karena dapat dijadikan tentara dan polisi di Pemerintahan Kolonial Keresidenan Timor, juga sebagai pertahanan Kupang dari orang-orang Portugis serta untuk menyerang Orang-orang Ende (dari Flores) yang memperdagangkan budak.
3.      Pengkristenan: di sumba terdapat dua masalah yang menurut Esser (Residen Timor di tahun 1861-1863) yaitu perdagangan budak dan peperangan diantara para raja. Karena itu pemindahan orang Sawu juga sebagai jembatan penginjil untuk mempercepat penginjilan di Sumba. Pemindahan orang Sumba pertama kali ialah penempatan mereka di Melolo dan Kambaniru untuk mencegah perdagangan budak, karena itu terbentuklah juga jemaat di Melolo dan Kambaniru. Namun karena peran politik lebih mendominasi mengakibatkan orang Sawu dibenci dan dimusuhi oleh masyarakat Sumba, itulah tantangan bagi orang Sawu untuk mengabarkan injil. [2]
Atas dorongan Esser, NZG mulai melakukan missinya di Timor sejak tahun 1814 sampai tahun 1901, setelah tahun 1901 tugas dialihkan kepada Indische Kerk. Esser membuka sebuah sekolah di Seba pada tahun 1862, selain itu ia membuat selebaran tentang Jalan Menuju Keselamatan dalam bahasa Sumba. Pada tahun yang sama seorang guru Ambon ditempatkan di Sawu, ia bekerja dengan rajin dan memberitakan injil kepada masyarakat Sawu.
Pada tahun 1870 Donselaar berkunjung ke Sawu dan membaptis 100 orang (diantaranya adalah raja). Jumlah orang Kristen pada akhir tahun 1870 mencapai 105 orang. Kunjungannya yang kedua pada tahun 1871 juga sangat menakjubkan. Selama dua hari ia membaptiskan 132 orang, ia memberi laporan bahwa terdapat 250 orang kristen di Sawu, 3 diantaranya ialah raja, yang terhimpun dalam empat jemaat, yaitu si Seba, Mesera, Timu, dan Liai.[3]
Pada tahun 1872 Teffer juga ditempatkan di Sawu, ia mengajar sekaligus melayani. Ia dibantu oleh beberapa guru Ambon. Pada tahun 1874 terdapat 1000 orang kristen dengan 7 buah jemaat. Teffer juga membatis secara massal juga dengan tergese-gesa sama seperti yang dilakukan oleh Donseller. Baptis massa ini menunjukan bahwa betapa dangkalnya kualitas kekristenan pada orang-orang yang dibaptis. Bahkan pembentukan jemaat langsung dibentuk jika ditempat tersebut guru sekolah. Hal ini dilakukan karena ada kecenderungan perkembangan Islam, jika sistem tersebut tidak dilakukan Sawu akan tertutup untuk tempat penginjilan.
Permulaan agama Kristen di Sumba merupakan hasil upaya Residen Esser di Kupang. Karena jabatannya, ia punya urusan dengan Sumba. Bersama dengan raja Sawu, ia mengatur transmisi sejumlah orang Sawu ke Sumba, yaitu dengan harapan kehadiran mereka akan dapat membuat peperangan dan perampokan budak akan berkurang. Mereka semua menetap di Kambaniri dan Melolo. Namun Esser sadar betul bahwa keadaan tidak mungkin benar-benar membaik kecuali kalau hati orang sumba berubah. Maka diambillah jalan untuk mendesak lembaga-lembaga zending agar memulai pekabaran Injil di Sumba.[4]
Pada tahun 1881, NGAV mengutus seorang zendeling bernama Johan Jacob van Alphen ke Sumba. J. J. Van Alphen adalah seorang pendeta yang diutus ke Sumba. Ia bekerja di Sumba sebelum Belanda menanamkan kekuasaannya di pulau Sumba. J. J. Van Alphen bersama istrinya tiba di Waingapau bersama dengan kontrolir yang baru untuk Sumba, yaitu A. Mallink.[5] Pada saat itu, Van Alphen dan Teffer saling bekerjasama dalam membritakan injil di Sumba, namun mereka bagi tugas Teffer ke orang Sabu sedangkan van Alphen ke Sumba. Untuk itu van Alphen memilih Melolo sebagai tempatnya, ia memilih Melolo karena 3 alasan yaitu: yang pertama Raja Melolo memberi sikap yang baik kepada pihak Belanda sebab pada saat itu banyak daerah yang memusuhi Belanda. Yang kedua karena adanya kelompok Sabu di Melolo yang akan melindunginya dari ancaman orang Sumba. Dan yang ketiga perkampungan orang Sumba lebih dekat dari Melolo dibandingkan dari perkampungan Kambaniru.
J.J. Van Alphen membangun rumahnya di perkampungan Sabu di Melolo (6 September 1881) karena Raja Melolo tidak mengijinkannya menetap di tengah-tengah perkampungan Melolo. Van Alphen melakukan pendekatan ke beberapa raja disana, namun raja-raja tidak mau menerima injil. Bahkan saat van Alphen membangun sebuah sekolah tidak ada orang Sumba yang mau menyekolahkan anaknya disana. Karena itu van Alphen meminta kepada zending agar menebus anak para budak agar dididik, namun rencana itu gagal sebab orang Sumba akan menuduh zending ikut melakukan perdagangan budak. Tetapi van Alphen tetap membangun sekolah karena ia sangat sedih melihat kondisi masyarakat Sumba yang masih primitif dan disengsarakan oleh kaum bangsawan. Ia menyimpulkan bahwa karakter orang Sumba sbb:
“... orang Sumba bersifat curiga, egois dan bermulut besartanpa kenal malu. Dan
kami ditambahkan lagi: pengecut dan munafik. Sebagai sifat-sifat baiknya
dapat kami sebutkan: bersahabat, ramah tamah, periang dan tidak malas.” [6]
Orang Sumba tidak mau menerima injil karena mereka menyamakan Marapu dengan injil. Pertanyaan orang Sumba kepada van Alphen tidak dapat dijawab oleh van Alphen, sebab mereka bertanya dapatkah van Alphen menurunkan hujan atau dapatkah kitab bisa memberi tahu kapan hujan akan turun, dan mengapa hujan tidak turun, semua itu tidak dapat dijawab oleh Alphen. Bahkan kematian istri van Alphen dipandang karna kemarahan Marapu kepada van Alphen. Tujuan yang sangat bertolak belakang antara raja Melolo dengan van Alphen. Raja membutuhkan perlindungan dan itu bukan injil, sebaliknya van Alphen menganggap inji sangat dibutuhkan masyarakat Sumba.[7]
Pada tahun 1883 Teffer meninggalkan Sawu dan setelah ditinggal oleh Teffer keadaan jemaat mundur dan kekafiran merajalela. Guru-guru Ambon sama sekali tidak belajar bahasa Sawu, mereka mengajar menggunakan bahasa Melayu sehingga orang Sawu tidak mengerti. Keadaan ini ditemukan oleh J.F. Niks ketika ia berkunjung ke Sawu pada tahun 1885 dan tahun  1887. Karena itu ia berpendapat bahwa dibutuhkan pendeta yang di tempatkan di Sawu. Ph.Bieger ditempatkan di Sawu pada tahun 1888, namun tahun berikutnya ia meninggalkan Sawu karena sakit. Karena itu ia digantikan oleh J. K. Wijngaarden pada tahun 1889. Ia melaporkan bahwa terdapat 3.500 orang kristen dari 19.000 jumlah penduduk. Keadaan jemaat sangat menyedihkan karena mereka dibaptis namun hati mereka masih kafir. Namun pada tahun 1892 Wijngaarden meninggalkan Sawu.
Pada tahun 1895 J. H. Letteboer mulai bekerja di Sawu. Ia memberi laporan bahwa kehidupan di Sawu tidak mengembirakan, liar, dan sangat memalukan. Ia menulis tentang Fetor Timo, sebagai berikut: “Fetor ini hanya namanya Kristen karena ia dibaptis, tetapi ia sesungguhnya seorang kafir. Ia beristri empat dan masih menyembah arwah leluhur”. Selain kualitas iman, kualitas SDM juga merosot. Menurutnya kemerosotan dikarenakan oleh praktek baptisan massal, dimana masyarakat mau dibaptis karena perintah dari rajanya, karenanya mudah sekali bagi mereka kembali ke dalam kekafiran. Sebelumnya pada tahu 1883 Teffer datang mengunjungi Sawu untuk kedua kalinya, lagi-lagi ia melakukan baptis massal di Melolo dan Kambaniru. Sebanyak 373 orang yang ia baptis, namun J. J. Van Alphen memperingatkan ia agar tidak membaptis orang yang tidak memiliki persiapan baptisan (tidak memperhatikan kelakukan hidup). Namun Teffer tidak mempedulikan peringan Alphen. Setelah Teffer meninggalkan Sawu, kedua jemaat tersebut berada dibawah naungan seorang pendeta pembantu di Kupang.
Pada tahun 1884 J. F. Niks melaporkan bahwa jemaat Melolo terdiri dari 259 anggota diantaranya hanya 3 orang yang sidi, sementara jemaat yang di Kambaniru terdiri dari 103 anggota jemaat dan diantaranya hanya 5 orang yang sidi. Hal ini membuat kesan buruk terhadap kehidupan jemaat, kulitas hidup mereka menurun. Bahkan kehidupan moral jemaat sangat menyedihkan; perzinahan, ketidaktaatan beragama, dosa-dosa pokok menyelimuti jemaat. Jemaat mengeluh juga terhadap guru-guru sekolah yang sudah 7 tahun berada di Sawu tetapi tidak belajar bahasa Sawu.
Wijngaarden berpendapat bahwa jemaat-jemaat Sawu tidak akan menjadi jembatan memasuki masyarakat, karena orang Sawu datang ke Sumba hanya mencari keuntungan. Oleh sebab itu orang Sumba tidak mempercayai orang Sawu. Dalam kasus ini Wijngaarden mempu=[nyai ide untuk berkenalan dengan orang Sumba dan meyakinkan  mereka dengan injil.[8] 
Dia mencari tau dan mendapati bahwa orang Sumba juga tidak mau mendengarkan Injil, karena mereka saling bermusuhan dengan orang Sawu. Maka selama 20 tahun lebih, para utusan NGZV (mulai 1892: Zending Gereja Gereformeerd), tak bisa berbuat apa-apa, selain mengasuh jemaat-jemaat orang Sawu, sambil menjalin hubungan dengan orang Sumba yaitu dengan maksud mempelajari bahasa dan adat-istiadat mereka. Sementara itu, misi pun menetap di Sumba, tetapi tak berbuah manis, mereka harus terpaksa mundur lagi karena hasil usahanya (1885-1898), mulai lagi secara resmi 1931).[9]

Pemberitaan Injil Sungguh-sungguh Mulai di Tangani Secara Serius
Dalam rangka penyusunan kembali organisasi karya PI Gereformeerd, pada tahun 1902 Sumba menjadi lapangan jemaat-jemaat Gereformeerd di Belanda Utara. Mulai saat itu tersedia daya dan dana lebih banyak dari sebelumnya, sedangkan keadaan umum membaik karena kekuatan  raja-raja dipatahkan oleh tindakan pemerintah (1906-1912). Pada tanggal 30 September 1907, setelah dua kali rumah zendeling dibakar, dibuka pos zending pertama dalam lingkup orang Sumba asli. Pekerjaan penginjilan berjalan paling lancar di Sumba Barat. Selama masa pertama, pendidikan sekolah merupakan cabang karya zending yang paling penting, disebabkan kebijakan pemerintah yang menyerahkan bidang tersebut kepada zending. Tetapi sama seperti Jawa Tengah, sekolah tetap dipandang sebagai sarana penunjang bagi tugas utama, yaitu pengabaran Injil. Guru-guru yang didatangkan dari Ambon, Rote dan Sawu dibimbing agar mengabarkan Injil pula di luar sekolah. Untuk sementara masyarakat Sumba masih mengadakan perlawanan sengit. Berkali-kali rumah seorang pendeta utusan atau gedung sekolah dibakar. Pada tahun 1915 adalah pembabtisan pertama yang dilakukan kepada orang-orang Sumba.

Menuju Gereja Mandiri
Hal yang sama seperti di Jawa Tengah, Zending Gereformeerd bermaksud hendak menciptakan prasarana bagi gereja yang mandiri. Akan tetapi di Sumba proses ini tidak berlangsung sama cepat seperti di Jawa Tengah. Jemaat Kambaniru dinyatakan berdiri sendiri pada tahun 1916, yang artinya pada tahun ini ditahbiskan untuk pertama kalinya penatua dan diaken. Hanya saja Kambaniru adalah jemaat orang Sawu, barulah pada tahun 1937 dua jemaat Sumba berdiri sendiri. Pada masa itu terdapat 4.000 orang Kristen. Sebetulnya peresmian jemaat Sumba bisa berlangsung lebih dulu, tetapi soal poligami (perkawinan ganda) mempersulit pengangkatan majelis, sebab orang yang hidup berpoligami tidak diterima menjadi anggota majelis. Di samping penatua dan diaken dibutuhkan pula penghantar jemaat. Tenaga pelayanan ini disediakan lewat pendidikan dalam sekolah pendidikan guru (normaalcursus) yang pada tahun 1914 didirikan di Payeti, dan lewat Kursus Teologi yang pada tahun 1924 dimulai di karuni. Akan tetapi, sampai tahun 1942 tidak satu pun penghantar jemaat yang ditahbiskan menjadi pendeta, meskipun jemaatnya telah dinyatakan berdiri sendiri. Pada tahun 1931 jemaat Melolo memanggil seorang guru injil (yang bukan anak daerah, bnd. kejadian serupa di Toraja, § 40) agar menjadi pendetanya. Akan tetapi, dua pendeta utusan menyatakan kepada guru Injil tersebut bahwa Melolo "belum matang" secara rohani dan finansial, dengan akibat ia tidak berani menerima panggilan. Zending mengupayakan pula penerjemahan Alkitab. Langkah pertama di bidang itu dilakukan oleh pendeta zending D.K Wielenga (1904-1921 di Sumba), tetapi karena tugas seperti itu sulit untuk diselenggarakan di samping sekian tugas lain, maka Lembaga Alkitab Belanda (§ 30) mengutus seorang ahli bahasa bernama L. Onvlee (di Sumba (1926-1955). Pada tahun 1961 PB bahasa Kambera (Sumba Timur) dan pada tahun 1970 PB bahasa Wewewa (Sumba Barat) diterbitkan oleh LAI. Sebelum perang hanya tersedia buku bacaan Alkitab. Di tahun 1941 diterbitkan pula kumpulan Mazmur dan nyanyian rohani dalam bahasa Kambera yang memakai gaya sastra Sumba dan yang bisa dinyanyikan dengan lagu Eropa dan dengan lagu Sumba asli. Semua karangan tersebut dikerjakan bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat Sumba, diantara Umbu H. Kapita, yang pada masa kemerdekaan mengepalai bagian pendidikan dalam pemerintahan daerah tingkat II Sumba. Di samping Alkitab berbahasa Melayu, karangan-karangan itulah yang menjadi bekal jemaat-jemaat Sumba selama masa Jepang. Nasib orang Sumba pada waktu itu berat: sebab letak pulau Sumba dekat Australia, maka di sana terdapat pasukan Jepang yang kuat dan banyak orang yang ditangkap oleh Kempetai karena dicurigai sebagai mata-mata Sekutu.[10]

Hasil gambar untuk pengkabaran injil di sumba
Masyarakat Sumba
Gereja Kristen Sumba (GKS) Mandiri
Hasil gambar untuk pengkabaran injil di sumba
Gereja Kristen Sumba (GKS)
Sama seperti di daerah-daerah lain, begitu pula di Sumba Perang Dunia II mempunyai peranan yang sangat penting, termasuk mempercepat proses kearah kemandirian gereja. Menjelang kedatangan Jepang, dua orang guru Injil Sumba ditahbiskan menjadi pendeta (Maret 1942). Seorang diantaranya, bernama H. Mbaij, dibunuh oleh orang Jepang (1945). Namun ditengah kesusahan, kehidupan jemaat-jemaat berlangsung terus, dengan dipimpin oleh guru-guru Injil dan pendeta Sumba. Pada permulaan tahun 1946, para pendeta zending kembali ke Sumba dan untuk sementara mereka lagi mengambil alih pimpinan. Namun, perkembangan di Sumba terdorong oleh kejadian di dalam gereja Indonesia Timur pada umumnya. Dalam rangka persiapan Konferensi Gereja-gereja Indonesia Timur di Malino, jemaat-jemaat Sumba turut diundang. Maka atas prakarsa seorang pendeta zending jemaat Payeti memanggil jemaat-jemaat lainnya agar bersama-sama merundingkan urusan tersebut. Itulah yang menjadi Sinode pertama Gereja Kristen Sumba (GKS, 15 Januari 1947). GKS yang mandiri meneruskan kerjasama dengan zending Gereformeerd Kerken. Dalam proses yang berlangsung sekitar 10 tahun, peranan para pendeta zending berubah dari pemimpin menjadi pembantu dan penasihat. Zending Gereformeerd yang relative kuat keuangannya sempat memberi dukungan yang luas di bidang pekabaran Injil, pendidikan dan ekonomi. Dalam tahun-tahun 1960-n dan 1970-an, GKS dan zending mengupayakan kemajuan pertanian di Sumba yang merupakan daerah minus itu, antara lain memalui Pusat Latihan Petani Kristen (1966). Ternyata tidak mungkin mencapai kemajuan tersebut dengan memasukkan teknik serta alat-alat pertanian yang lebih baik semata-mata, sebab metode pertanian yang lazim berkaitan baik dengan factor alam setempat maupun dengan pola social-ekonomi yang berlaku di Sumba.[11]

Tantangan-tantangan yang dihadapi
Hasil gambar untuk pengkabaran injil di sumba
Gereja Kristen Sumba (GKS)
Baik sebelum maupun sesudah Perang Dunia II, gereja di Sumba menghadapi berbagi tantangan khusus. Zending tidak mau mengasingkan orang Kristen dari masyarakatnya, tetapi membiarkan meraka tetap tingal dikampungnya. Akan tetapi, persekutuan kampung yang pada hakekatnya bersifat relegius itu masih kuat sekali, lebih-lebih di pulau sumba yang relatif terpencil fankurang terpengaruh oleh modernisasi. Maka di satu pihak anggota msyarakat kampung yang menjadi Kristen mengalami perlawanan yang hebat sekali, di pihak lain, upacara-upacara agama yang diadakan oleh persekutuan kampung itu merupakan godaan besar sekali bagi mereka. Dan bagaiman kalau mereka tidak ikut serta dalam upacara itu, tetapi daging dari kurban persembahan diantar kerumah mereka. Para zendeling pun tidak sepkat mengenai hal itu. Tetapi mereka merasa sulit untuk menjelaskan larangan menerima daging itu sedemikian rupa, hingga bagi orang Kristen sendiri laranganitu berubah menjadi perkara hati dan tidak menjadi hokum yang mematikan. Para zendeling juga berupaya untuk menghadapi persoalan tersebut dengan mengadakan pesta-pesta Kristen yaitu pada tahun1935 sehabis panen untuk pertama kalinya diadakan pesta pengucapan syukur. Tetapi kemacetan akibat keengganan orang Sumba untuk menerima larangan makan daging persembahan itu barulah diatasi oleh nasehat yang diberikan seorang raja Kristen. Ia ini membandingkan upacara mempersembahkan kurban hewan kepada Marapu dengan usaha pembesar Sumba untuk mempermalukan musuhnya dengan memotong banyak hewan. Marapu merangsang manusia untuk memotong hewan dengan maksud mempermalukan Tuhan yang sejati. Persoalan lainnya yang tidak kalah penting adalah poligami yang banyak ditemukan di kalangan orang kaya. Zending sendiri setuju membabtis orang yang hidup berpoligami, meskipun mereka (suami) tidak boleh menambah jumlah istrinya. Dalam hal ini punpara zendeling sendiri tidak seratus persen sepakat dan ternyata sulit untuk meyakinkan orang Sumba tentang kekeliruan perkawinan poligami. Mengenai orang yang menambah jumlah istri sesudah masuk Kristen berlakulah hokum pengucilan dari Sakramen Perjamuan Suci untuk seumur hidup (kalau tidak menceraikan istri mudanya itu). Aturan itu dihapuskan oleh Sinode GKS pada tahun 1976. Terhadap pemukulan gong dan tari-tarian tradisonal, Zending mengambil sikap yang sangat hati-hati, hal-hal itu diperbolehkan kecuali kalau ada hubungan langsung dengan penyembahan dewa.[12]
Hasil gambar untuk pengkabaran injil di sumba
Masyarakat Sumba
Perpecahan
Kedua persoalan tersebut merupakan tantangan yang terus-menerus dialami oleh gereja dan dapat menimbulkan perpecahan dalam tubuhnya. Pendeta zending di Melolo memiliki  pendirian yang berbeda mengenai hal disiplin gereja dari pendeta-pendeta yang lainnya. Tentang soal-soal yang disinggungkan tadi, ia mempunyai pendapat yang tegas dan kalau ada pelanggaran ia akan langsung dikenakan hukuman pengucilan dari jemaat. Perbedaan pendapat dan prakti disiplin yang menyimpang pada zaman itu terdapat pula di daerah-daerah lain, misalnya kita ambil contoh di Tanah Toraja. Tetapi di Sumba pihak yang bersikap keras itu menganggap rekan-rekannya yang bersikap lebih hati-hati sebagai perusak jemaat, yang merintangi kedatangan kerajaan Kristus. Sebagian besar orang Kristen di Sumba Timur mengikuti dia. Ketika pendeta tersebut diberhentikan oleh klasis di Nederland yang telah mengutus dia (1939), maka mereka memisahkan diri dari jemaat-jemaat zending itu dan membentuk jemaat-jemaat tersendiri. Pada masa perang jemat-jemaat itu bersatu kembali dengan yang lain dalam wadah kesatuan yang diciptakan oleh orang Jepang. Tetapi sesudah itu pendetanya yang dulu, dengan bantuan salah satu kelompok di Nederland yang telah memisahkan diri dari Gereja-gereja Gereformeerd (Gereja Bebas, 1944), berhasil menghidupkan kembli api yang lama. Lahirlah Gereja-gereja Bebas di Sumba, pada tahun 1953 berlangsunglah perpecahan dalam lingkungan gereja tersebut, sehingga berdirilah gereja “Bebas”. Di samping itu, Gereja Kristen Sumba menghadapi pula tantangan dari pihak misi, yang pada tahun 1931 kembali ke Sumba dan menangani pekerjaan secara besar-besaran. Kini (1997) anggota GKS berjumlah kurang lebih 180.000 (hampir 40% dari seluruh penduduk Sumba), sedangkan kedua Gereja Bebas (yang satu kini bernama Gereja-gereja Reformasi Indonesia-NTT) beranggotakan beberapa ribu orang. Orang Katolik Roma di Sumba berjumlah 65.000 orang pada tahun 1990.[13]

Kesimpulan
Gereja Kristen Sumba(GKS) adalah lembaga gerejawi yang berkarya di Pulau Sumba, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pelayanan GKS meliputi empat Kabupaten yang ada di Sumba, yaitu: Kabupaten Sumba TimurSumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. GKS berdiri sendiri pada tanggal 15 Januari 1947 setelah melewati beberapa periode, yakni: periode perintisan (1881-1902), periode peletakan dasar (1902-1947) dan periode berdiri sendiri (1947). Gereja Kristen Sumba adalah hasil pekabaran Injil dari Zending GKN (Gereformeerde Kerken in Nederland) yang dmulai sejak tahun 1881. dalam perkembangan setelah berdiri sendiri, GKS mengalami berbagai dinamika dalam karya pelayanan di Sumba. Dinamika pelayanan tersebut mulai dari tahap mencari bentuk (1947-1972), tahap penyusunan rencana pendewasaan (1970-an), tahap pekabaran Injil dan berbenah diri (1980-1990) hingga mengalami pertumbuhan sampai sekarang ini. Sebagai gereja yang lahir hasil dari pekabaran Injil gereja dari Belanda (GKN) yang bercorak/azas Calvinis, maka GKS mewarisi corak/azas Calvinis. Dalam menjalankan Organisasi gerejawinya, GKS menerapkan sistim pemerintahan Prebiterial Sinodal dimana melalui sistim ini pada satu sisi memberi penekanan kepada Majelis Jemaat (Jemaat setempat) dan di sisi lain menekankan kebersamaan antar jemaat se-GKS melalui peran Sinode GKS.




[1] Th. Van den End, Ragi Carita 2 Sejarah Gereja di Indonesia. 1500-1860., (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 208), hlm 262
[2] F. D Wellem, Injil dan Merapu, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004 Cet. 1), hlm 126-130
[3] Ibid., hlm 130-131
[4] Op.Cit., Th. Van den End., hlm 262
[5] F. D Wellem, Injil dan Merapu, hlm 136
[6] J. J. Van Alphen, “lets over de bewoners van Soemba” dalam  F. D Wellem, Injil dan Merapu, hlm 137
[7] F. D Wellem, Injil dan Merapu, hlm 138
[8] F. D Wellem, Injil dan Merapu,hlm 136

[9] Op.Cit., Th. Van den End., hlm 263
[10] Ibid., hlm 264
[11] Ibid., hlm 265
[12] Ibid., hlm 266
[13] Ibid., hlm 267-268

4 comments:

  1. tidak mudah melakukan pekabaran Injil di Indonesia timur

    ReplyDelete
  2. saya dari STT Nusantara salatiga, mendapat Tugas untuk mempresentsikan Gereja Kristen Sumba, Web ini sangat sangat membantu.

    ReplyDelete
  3. bahas sejarah tentang Gereja Bebas, sangat semabarang dan sembronno, upayakan kalau membahas gereja yg bukan gereja Anda, harus berkomunikasi dgn gerja yang bersangkatun, sehingga mendapat data yag akurat, dan tidak bicara sembarang... anda dapat data dari mana sehingga anda berani menyatakan seperti itu tentang sejarah Gereja - Gereja Bebas Sumba Timur... datang ke Gereja Bebas dan lakukan Dikusi supaya anda tau dengan baik... jagn asbun

    ReplyDelete

Pendalaman Alkitab dari Kitab Habakuk 1:12-17

Bahan Pendalaman Alkitab Habakuk 1:12-17 Pendahuluan Sebelum kita mengarah kepada isi dari perikop yang akan saya bahas, izinkan sa...