PENGKABARAN INJIL DI SUMBA (TANA HUMBA)
Pulau Sumba adalah
pulau dengan luas
wilayah 10.710 km2. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Pulau ini sendiri
terdiri dari empat kabupaten: Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba
Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur. Kota terbesarnya adalah Waingapu, ibukota
Kabupaten Sumba Timur. Kota tersebut juga terdapat bandar udara dan pelabuhan
laut yang menghubungkan Pulau Sumba dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia
seperti Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Timor.
Peta Sumba |
Kondisi topografi Sumba
Timur secara umum datar (di daerah pesisir), landai sampai bergelombang
(wilayah dataran rendah <100 meter) dan berbukit (pegunungan). Daerah dengan
ketinggian di atas 1000 meter hanya sedikit di wilayah perbukitan dan gunung.
Lahan pertanian terutama di dataran pantai utara yang memiliki cukup air di
permukaan maupun sungai-sungai besar. Setidaknya terdapat 88 sungai dan mata
air yang tidak kering di musim kemarau.
Karakteristik dan Agama
Penduduk
Pulau Sumba didiami oleh
suku Sumba. Jumlah
penduduk terbesar terdapat di Kabupaten Sumba Timur sekitar 234.642 jiwa. Masyarakat Sumba cukup
mampu mempertahankan kebudayaan aslinya ditengah-tengah arus pengaruh asing
yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah
Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba asli. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya
Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah
rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya,
ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat
busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan
senjata.
Disamping orang Sumba asli
juga terdapat orang
Sabu, keturunan Tionghoa, Arab, Bugis, Bima, Jawa dan penduduk yang berasal
dari daerah Nusa Tenggara Timur lainnya. Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba),
pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam
dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias
dan busananya. Masyarakat Sumba secara rasial merupakan campuran dari ras Mongoloid
dan Melanesoid. Sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan animisme Marapu
dan agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Kaum muslim dalam jumlah
kecil dapat ditemukan di sepanjang kawasan pesisir.
Diperkirakan, komposisi penganut agama di P.
Sumba saat ini adalah sebagai berikut :
1.
Kristen Protestan : 55%
2.
Marapu : 20%
3.
Islam : 10%
4.
Katolik : 15%
Keadaan Umum Masyarakat Sumba
Sumba
pada hakekatnya sangat berbeda dengan masyarakat di kepulauan Timor, pulau Sumba sampai pada pertengahan abad le-19 belum pernah mengalami
pengaruh dari Belanda. Daerahnya masih terbagi atas sejumlah besar
kerajaan. Struktur hierarkhi masyarakatnya juga ditandai oleh perbedaan yang
sangat tajam dan mencolok, dimana lapisan ini dibagi menjadi tiga tingkat
masyarakat, yaitu para pembesar, orang merdeka dan budak. Di antara orang sumba asli tidak ada yang menganut agama
Islam, agama suku mereka disebut dengan sebutan “agama Marapu”. Kepercayaan Marapu ini sebenarnya mengkultuskan arwah
nenek moyang (leluhur) sebagai perantara untuk memuja yang Maha Pencipta atau
Ilahi Tertinggi. Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur
arwah-arwah lainnya, Masyarakat Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan di
tempat-tempat pemujaan, serta menyiapkan segalah alat dan bahan yang di gunakan
dalam ritual. Berbagai ritus pengurbanan dan upacara kematian bertujuan untuk
menghormati para leluhur. Bagi Masyarakat Sumba, upacara pengurbanan merupakan
sarana untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan arwah leluhur, sehingga
terjadi keseimbangan antara dunia manusia dengan Prai Marapu. Budaya Sumba asli
dalam segala bentuknya merupakan manifestasi dari kepercayaan tradisional orang
Sumba yaitu Marapu, yang merupakan warisan nenek moyang yang secara holistik
telah mendasari seluruh tatanan Masyarakat Sumba. Hal ini yang kemudian menjadi
peta koknitif Masyarakat Sumba dalam menjalani berbagai aspek kehidupan sosial
kebudayaannya.[1]
Dalam paroan kedua abad ke-19, keadaan di Sumba Timur kacau dan
kurang aman, sedangkan hal di daerah Sumba Barat hal
yang sebaliknya yang terjadi yaitu situasi dan kondisi yang sangat tenang.
Kedua daerah itu berbeda pula dalam hal bahasa dan kebudayaan. Di samping orang
Sumba asli, di daerah pantai tersapat trasmigran dari Flores (orang Ende),
Sulawesi (Bugis) dan sejak tahun 1862 juga orang Sawu. Pada tahun 1866
pemerintah mengirim tentara ke Sumba yang menaklukkan para raja dan menegakkan
“Pax Neerlandica”, perdamaian yang dipaksakan oleh orang Belanda. Pada waktu
itu jumlah penduduk masih sekitar 100.000 orang, yang 50 tahun kemudian sudah
beripat dua.
Permulaan Agama Kristen di Sumba
Di periode ini akan membahas sekelompok orang
kristen asal Sawu. Keberadaan orang sawu menjadi
jembatan bagi pekabar injil untuk memperkenalkan kekristenan kepada masyarakat
Sumba. Orang sawu adalah sekelompok orang yang mendiami pulau kecil
(sangat kering, tidak subur, curah hujan sedikit serta jangka waktu curah hujan
pendek) di bagian Timur Sumba. Menurut sejarahnya nenek moyang orang Sawu merupakan
perantau yang merantau untuk kehidupan yang lebih baik, mereka merantau ke
Flores, Timor, dan ketempat yang menjamin kehidupan. Keberadaan orang Sewu
mengakibatkan pernikahan lintas budaya, sebagai bukti ialah pernikahan anak
Raja Mangili dan Malolo. Pernikahan ini memberi keuntungan bagi orang Sawu,
karena mereka disediakan tempat tinggal dan mendapat dukungan untuk menyerang
musuh-musuh mereka.
Pada tahun 1848 D. J Van den Dungen
Gronovius, residen Timor memiliki ide untuk memindahkan orang Sawu ke Sumba. Pemindahan orang Sawu ke Sumba didorong oleh
beberapa alasan, sbb:
1.
Ekonomi-Perdagangan: menguntungkan pemerintah
Hindia Belanda karena orang Sawu adalah
orang-orang yang rajin dan suka bekerja sehingga dapat memperbaiki
kehidupan di Sumba yang subur, luas, dan jarang
penduduk.
2.
Politik-Keamanan: selain rajin orang Sawu adalah orang-orang yang berani, jujur, setia, disiplin, karena itu terpercaya.
Pemindahan orang Sawu juga karena dapat dijadikan
tentara dan polisi di Pemerintahan Kolonial Keresidenan Timor, juga sebagai
pertahanan Kupang dari orang-orang Portugis serta untuk menyerang Orang-orang
Ende (dari Flores) yang memperdagangkan budak.
3.
Pengkristenan: di sumba terdapat dua
masalah yang menurut Esser (Residen Timor di tahun 1861-1863) yaitu perdagangan
budak dan peperangan diantara para raja. Karena itu pemindahan orang
Sawu juga sebagai jembatan penginjil untuk mempercepat penginjilan di Sumba.
Pemindahan orang Sumba pertama kali ialah penempatan mereka di Melolo dan Kambaniru untuk mencegah perdagangan
budak, karena itu terbentuklah juga jemaat di
Melolo dan Kambaniru. Namun karena peran
politik lebih mendominasi mengakibatkan orang Sawu dibenci dan dimusuhi oleh
masyarakat Sumba, itulah tantangan bagi orang Sawu untuk mengabarkan injil.
[2]
Atas dorongan Esser, NZG mulai melakukan missinya di
Timor sejak tahun 1814 sampai tahun 1901, setelah tahun 1901 tugas dialihkan
kepada Indische Kerk. Esser membuka sebuah sekolah di Seba pada tahun 1862,
selain itu ia membuat selebaran tentang Jalan Menuju Keselamatan dalam bahasa
Sumba. Pada tahun yang sama seorang guru Ambon ditempatkan di Sawu, ia bekerja
dengan rajin dan memberitakan injil kepada masyarakat Sawu.
Pada tahun 1870 Donselaar berkunjung ke Sawu dan
membaptis 100 orang (diantaranya adalah raja). Jumlah orang Kristen pada akhir
tahun 1870 mencapai 105 orang. Kunjungannya yang kedua pada tahun 1871 juga
sangat menakjubkan. Selama dua hari ia membaptiskan 132 orang, ia memberi
laporan bahwa terdapat 250 orang kristen di Sawu, 3 diantaranya ialah raja,
yang terhimpun dalam empat jemaat, yaitu si Seba, Mesera, Timu, dan Liai.[3]
Pada tahun 1872 Teffer juga ditempatkan di
Sawu, ia mengajar sekaligus melayani.
Ia dibantu oleh beberapa guru Ambon. Pada tahun 1874
terdapat 1000 orang kristen dengan 7 buah jemaat. Teffer juga membatis
secara massal juga dengan tergese-gesa sama seperti yang dilakukan oleh
Donseller. Baptis massa ini menunjukan bahwa betapa dangkalnya kualitas
kekristenan pada orang-orang yang dibaptis. Bahkan pembentukan jemaat langsung
dibentuk jika ditempat tersebut guru sekolah. Hal ini dilakukan karena ada
kecenderungan perkembangan Islam, jika sistem tersebut tidak dilakukan Sawu
akan tertutup untuk tempat penginjilan.
Permulaan
agama Kristen di Sumba merupakan hasil upaya Residen Esser di Kupang. Karena
jabatannya, ia punya urusan dengan Sumba. Bersama dengan raja Sawu, ia mengatur
transmisi sejumlah orang Sawu ke Sumba, yaitu dengan harapan kehadiran mereka
akan dapat membuat peperangan dan perampokan budak akan berkurang. Mereka semua
menetap di Kambaniri dan Melolo. Namun Esser sadar betul bahwa keadaan tidak
mungkin benar-benar membaik kecuali kalau hati orang sumba berubah. Maka
diambillah jalan untuk mendesak lembaga-lembaga zending agar memulai pekabaran
Injil di Sumba.[4]
Pada
tahun 1881, NGAV mengutus seorang zendeling bernama Johan Jacob van Alphen ke
Sumba. J. J. Van Alphen adalah seorang pendeta yang diutus ke Sumba. Ia bekerja
di Sumba sebelum Belanda menanamkan kekuasaannya di pulau Sumba. J. J. Van
Alphen bersama istrinya tiba di Waingapau bersama dengan kontrolir yang baru
untuk Sumba, yaitu A. Mallink.[5] Pada saat itu, Van Alphen dan Teffer saling bekerjasama dalam
membritakan injil di Sumba, namun mereka bagi tugas Teffer ke orang Sabu
sedangkan van Alphen ke Sumba. Untuk itu van Alphen memilih Melolo sebagai
tempatnya, ia memilih Melolo karena 3 alasan yaitu: yang pertama Raja Melolo
memberi sikap yang baik kepada pihak Belanda sebab pada saat itu banyak daerah
yang memusuhi Belanda. Yang kedua karena adanya kelompok Sabu di Melolo yang
akan melindunginya dari ancaman orang Sumba. Dan yang ketiga perkampungan orang
Sumba lebih dekat dari Melolo dibandingkan dari perkampungan Kambaniru.
J.J. Van Alphen membangun rumahnya di perkampungan
Sabu di Melolo (6 September 1881) karena Raja Melolo tidak mengijinkannya menetap di
tengah-tengah perkampungan Melolo. Van Alphen melakukan pendekatan ke beberapa
raja disana, namun raja-raja tidak mau menerima injil. Bahkan saat van Alphen
membangun sebuah sekolah tidak ada orang Sumba yang mau menyekolahkan anaknya
disana. Karena itu van Alphen meminta kepada zending agar menebus anak para
budak agar dididik, namun rencana itu gagal sebab orang Sumba akan menuduh
zending ikut melakukan perdagangan budak. Tetapi van Alphen tetap membangun
sekolah karena ia sangat sedih melihat kondisi masyarakat Sumba yang masih
primitif dan disengsarakan oleh kaum bangsawan. Ia menyimpulkan bahwa karakter
orang Sumba sbb:
“... orang Sumba bersifat curiga,
egois dan bermulut besartanpa kenal malu. Dan
kami ditambahkan lagi: pengecut
dan munafik. Sebagai sifat-sifat baiknya
dapat kami sebutkan: bersahabat,
ramah tamah, periang dan tidak malas.” [6]
Orang Sumba tidak mau menerima injil karena mereka
menyamakan Marapu dengan injil. Pertanyaan orang Sumba
kepada van Alphen tidak dapat dijawab oleh van Alphen, sebab mereka bertanya
dapatkah van Alphen menurunkan hujan atau dapatkah kitab bisa memberi tahu
kapan hujan akan turun, dan mengapa hujan tidak turun, semua itu tidak dapat
dijawab oleh Alphen. Bahkan kematian istri van Alphen dipandang karna kemarahan
Marapu kepada van Alphen. Tujuan yang sangat bertolak belakang antara raja
Melolo dengan van Alphen. Raja membutuhkan perlindungan dan itu bukan injil,
sebaliknya van Alphen menganggap inji sangat dibutuhkan masyarakat Sumba.[7]
Pada tahun 1883 Teffer meninggalkan Sawu dan setelah
ditinggal oleh Teffer keadaan jemaat mundur dan kekafiran merajalela. Guru-guru
Ambon sama sekali tidak belajar bahasa Sawu, mereka mengajar menggunakan bahasa
Melayu sehingga orang Sawu tidak mengerti. Keadaan ini ditemukan oleh J.F. Niks
ketika ia berkunjung ke Sawu pada tahun 1885 dan tahun 1887. Karena itu ia berpendapat bahwa
dibutuhkan pendeta yang di tempatkan di Sawu. Ph.Bieger ditempatkan di Sawu
pada tahun 1888, namun tahun berikutnya ia meninggalkan Sawu karena sakit.
Karena itu ia digantikan oleh J. K. Wijngaarden pada tahun 1889. Ia melaporkan
bahwa terdapat 3.500 orang kristen dari 19.000 jumlah penduduk. Keadaan jemaat
sangat menyedihkan karena mereka dibaptis namun hati mereka masih kafir. Namun
pada tahun 1892 Wijngaarden meninggalkan Sawu.
Pada tahun 1895 J. H. Letteboer mulai bekerja di
Sawu. Ia memberi laporan bahwa kehidupan di Sawu tidak mengembirakan, liar, dan
sangat memalukan. Ia menulis tentang Fetor Timo, sebagai berikut: “Fetor ini
hanya namanya Kristen karena ia dibaptis, tetapi ia sesungguhnya seorang kafir.
Ia beristri empat dan masih menyembah arwah leluhur”. Selain kualitas iman,
kualitas SDM juga merosot. Menurutnya kemerosotan dikarenakan oleh praktek
baptisan massal, dimana masyarakat mau dibaptis karena perintah dari rajanya,
karenanya mudah sekali bagi mereka kembali ke dalam kekafiran. Sebelumnya pada
tahu 1883 Teffer datang mengunjungi Sawu untuk kedua kalinya, lagi-lagi ia
melakukan baptis massal di Melolo dan Kambaniru. Sebanyak 373 orang yang ia
baptis, namun J. J. Van Alphen memperingatkan ia agar tidak membaptis orang
yang tidak memiliki persiapan baptisan (tidak memperhatikan kelakukan hidup).
Namun Teffer tidak mempedulikan peringan Alphen. Setelah Teffer meninggalkan
Sawu, kedua jemaat tersebut berada dibawah naungan seorang pendeta pembantu di
Kupang.
Pada tahun 1884 J. F. Niks melaporkan bahwa jemaat
Melolo terdiri dari 259 anggota diantaranya hanya 3 orang yang sidi, sementara
jemaat yang di Kambaniru terdiri dari 103 anggota jemaat dan diantaranya hanya
5 orang yang sidi. Hal ini membuat kesan buruk terhadap kehidupan jemaat,
kulitas hidup mereka menurun. Bahkan kehidupan moral jemaat sangat menyedihkan;
perzinahan, ketidaktaatan beragama, dosa-dosa pokok menyelimuti jemaat. Jemaat
mengeluh juga terhadap guru-guru sekolah yang sudah 7 tahun berada di Sawu
tetapi tidak belajar bahasa Sawu.
Wijngaarden berpendapat bahwa jemaat-jemaat Sawu
tidak akan menjadi jembatan memasuki masyarakat, karena orang Sawu datang ke
Sumba hanya mencari keuntungan. Oleh sebab itu orang Sumba tidak mempercayai
orang Sawu. Dalam kasus ini Wijngaarden mempu=[nyai ide untuk berkenalan dengan
orang Sumba dan meyakinkan mereka dengan
injil.[8]
Dia
mencari tau dan mendapati bahwa orang Sumba juga tidak mau mendengarkan Injil,
karena mereka saling bermusuhan dengan orang Sawu. Maka selama 20 tahun lebih,
para utusan NGZV (mulai 1892: Zending Gereja Gereformeerd), tak bisa berbuat
apa-apa, selain mengasuh jemaat-jemaat orang Sawu, sambil menjalin hubungan
dengan orang Sumba yaitu dengan maksud mempelajari bahasa dan adat-istiadat
mereka. Sementara itu, misi pun menetap di Sumba, tetapi tak berbuah manis,
mereka harus terpaksa mundur lagi karena hasil usahanya (1885-1898), mulai lagi
secara resmi 1931).[9]
Pemberitaan Injil Sungguh-sungguh Mulai
di Tangani Secara Serius
Dalam
rangka penyusunan kembali organisasi karya PI
Gereformeerd, pada tahun 1902 Sumba menjadi lapangan jemaat-jemaat
Gereformeerd di Belanda Utara. Mulai saat itu tersedia daya dan dana lebih
banyak dari sebelumnya, sedangkan keadaan umum membaik
karena kekuatan raja-raja dipatahkan
oleh tindakan pemerintah (1906-1912). Pada tanggal 30 September 1907, setelah
dua kali rumah zendeling dibakar, dibuka pos zending pertama dalam lingkup
orang Sumba asli. Pekerjaan penginjilan berjalan paling lancar di Sumba
Barat. Selama masa pertama, pendidikan sekolah
merupakan cabang karya zending yang paling penting, disebabkan kebijakan
pemerintah yang menyerahkan bidang tersebut kepada zending. Tetapi sama
seperti Jawa Tengah, sekolah tetap dipandang sebagai sarana penunjang bagi
tugas utama, yaitu pengabaran Injil. Guru-guru yang didatangkan dari Ambon,
Rote dan Sawu dibimbing agar mengabarkan Injil pula di luar sekolah. Untuk
sementara masyarakat Sumba masih mengadakan perlawanan sengit. Berkali-kali
rumah seorang pendeta utusan atau gedung sekolah dibakar. Pada tahun 1915
adalah pembabtisan pertama yang dilakukan kepada orang-orang Sumba.
Menuju Gereja Mandiri
Hal
yang sama seperti di Jawa Tengah, Zending Gereformeerd
bermaksud hendak menciptakan prasarana bagi gereja yang mandiri. Akan
tetapi di Sumba proses ini tidak berlangsung sama cepat seperti di Jawa Tengah.
Jemaat Kambaniru dinyatakan berdiri sendiri pada tahun 1916, yang artinya pada
tahun ini ditahbiskan untuk pertama kalinya penatua dan diaken. Hanya saja
Kambaniru adalah jemaat orang Sawu, barulah pada tahun 1937 dua jemaat Sumba
berdiri sendiri. Pada masa itu terdapat 4.000 orang
Kristen. Sebetulnya peresmian jemaat Sumba bisa berlangsung lebih dulu,
tetapi soal poligami (perkawinan ganda) mempersulit pengangkatan majelis, sebab orang yang hidup berpoligami tidak diterima menjadi anggota
majelis. Di samping penatua dan diaken dibutuhkan pula penghantar
jemaat. Tenaga pelayanan ini disediakan lewat pendidikan dalam sekolah
pendidikan guru (normaalcursus) yang pada tahun 1914 didirikan di Payeti, dan
lewat Kursus Teologi yang pada tahun 1924 dimulai di karuni. Akan tetapi,
sampai tahun 1942 tidak satu pun penghantar jemaat yang ditahbiskan menjadi
pendeta, meskipun jemaatnya telah dinyatakan berdiri sendiri. Pada tahun 1931
jemaat Melolo memanggil seorang guru injil (yang bukan anak daerah, bnd.
kejadian serupa di Toraja, § 40) agar menjadi pendetanya. Akan tetapi, dua pendeta
utusan menyatakan kepada guru Injil tersebut bahwa Melolo "belum
matang" secara rohani dan finansial, dengan akibat ia tidak berani
menerima panggilan. Zending mengupayakan pula penerjemahan Alkitab. Langkah
pertama di bidang itu dilakukan oleh pendeta zending D.K Wielenga (1904-1921 di
Sumba), tetapi karena tugas seperti itu sulit untuk diselenggarakan di samping
sekian tugas lain, maka Lembaga Alkitab Belanda (§ 30) mengutus seorang ahli
bahasa bernama L. Onvlee (di Sumba (1926-1955). Pada tahun 1961 PB bahasa
Kambera (Sumba Timur) dan pada tahun 1970 PB bahasa Wewewa (Sumba Barat)
diterbitkan oleh LAI. Sebelum perang hanya tersedia buku bacaan Alkitab. Di
tahun 1941 diterbitkan pula kumpulan Mazmur dan nyanyian rohani dalam bahasa
Kambera yang memakai gaya sastra Sumba dan yang bisa dinyanyikan dengan lagu
Eropa dan dengan lagu Sumba asli. Semua karangan tersebut dikerjakan bersama
dengan tokoh-tokoh masyarakat Sumba, diantara Umbu H. Kapita, yang pada masa
kemerdekaan mengepalai bagian pendidikan dalam pemerintahan daerah tingkat II
Sumba. Di samping Alkitab berbahasa Melayu, karangan-karangan itulah yang
menjadi bekal jemaat-jemaat Sumba selama masa Jepang. Nasib orang Sumba pada
waktu itu berat: sebab letak pulau Sumba dekat Australia, maka di sana terdapat
pasukan Jepang yang kuat dan banyak orang yang ditangkap oleh Kempetai karena
dicurigai sebagai mata-mata Sekutu.[10]
Masyarakat Sumba |
Gereja Kristen Sumba (GKS) |
Sama
seperti di daerah-daerah lain, begitu pula di Sumba Perang Dunia II mempunyai
peranan yang sangat penting, termasuk mempercepat proses kearah kemandirian
gereja. Menjelang kedatangan Jepang, dua orang guru Injil Sumba ditahbiskan
menjadi pendeta (Maret 1942). Seorang diantaranya, bernama H. Mbaij, dibunuh
oleh orang Jepang (1945). Namun ditengah kesusahan, kehidupan jemaat-jemaat
berlangsung terus, dengan dipimpin oleh guru-guru Injil dan pendeta Sumba. Pada
permulaan tahun 1946, para pendeta zending kembali ke Sumba dan untuk sementara
mereka lagi mengambil alih pimpinan. Namun, perkembangan di Sumba terdorong
oleh kejadian di dalam gereja Indonesia Timur pada umumnya. Dalam rangka
persiapan Konferensi Gereja-gereja Indonesia Timur di Malino, jemaat-jemaat
Sumba turut diundang. Maka atas prakarsa seorang pendeta zending jemaat Payeti
memanggil jemaat-jemaat lainnya agar bersama-sama merundingkan urusan tersebut.
Itulah yang menjadi Sinode pertama Gereja Kristen Sumba
(GKS, 15 Januari 1947). GKS yang mandiri meneruskan kerjasama dengan
zending Gereformeerd Kerken. Dalam proses yang berlangsung sekitar 10 tahun,
peranan para pendeta zending berubah dari pemimpin menjadi pembantu dan
penasihat. Zending Gereformeerd yang relative kuat
keuangannya sempat memberi dukungan yang luas di bidang pekabaran Injil,
pendidikan dan ekonomi. Dalam tahun-tahun 1960-n dan 1970-an, GKS dan
zending mengupayakan kemajuan pertanian di Sumba yang merupakan daerah minus
itu, antara lain memalui Pusat Latihan Petani Kristen (1966). Ternyata tidak
mungkin mencapai kemajuan tersebut dengan memasukkan teknik serta alat-alat pertanian
yang lebih baik semata-mata, sebab metode pertanian yang lazim berkaitan baik
dengan factor alam setempat maupun dengan pola social-ekonomi yang berlaku di
Sumba.[11]
Tantangan-tantangan yang dihadapi
Gereja Kristen Sumba (GKS) |
Masyarakat Sumba |
Perpecahan
Kedua
persoalan tersebut merupakan tantangan yang terus-menerus dialami oleh gereja
dan dapat menimbulkan perpecahan dalam tubuhnya. Pendeta zending di Melolo
memiliki pendirian yang berbeda mengenai
hal disiplin gereja dari pendeta-pendeta yang lainnya. Tentang soal-soal yang
disinggungkan tadi, ia mempunyai pendapat yang tegas dan kalau ada pelanggaran
ia akan langsung dikenakan hukuman pengucilan dari jemaat. Perbedaan pendapat
dan prakti disiplin yang menyimpang pada zaman itu terdapat pula di
daerah-daerah lain, misalnya kita ambil contoh di Tanah Toraja. Tetapi di Sumba
pihak yang bersikap keras itu menganggap rekan-rekannya yang bersikap lebih
hati-hati sebagai perusak jemaat, yang merintangi kedatangan kerajaan Kristus. Sebagian
besar orang Kristen di Sumba Timur mengikuti dia. Ketika pendeta tersebut
diberhentikan oleh klasis di Nederland yang telah mengutus dia (1939), maka
mereka memisahkan diri dari jemaat-jemaat zending itu dan membentuk
jemaat-jemaat tersendiri. Pada masa perang jemat-jemaat itu bersatu kembali
dengan yang lain dalam wadah kesatuan yang diciptakan oleh orang Jepang. Tetapi
sesudah itu pendetanya yang dulu, dengan bantuan salah satu kelompok di
Nederland yang telah memisahkan diri dari Gereja-gereja Gereformeerd (Gereja
Bebas, 1944), berhasil menghidupkan kembli api yang lama. Lahirlah Gereja-gereja Bebas di Sumba, pada tahun 1953
berlangsunglah perpecahan dalam lingkungan gereja tersebut, sehingga berdirilah
gereja “Bebas”. Di samping itu, Gereja Kristen Sumba menghadapi pula tantangan
dari pihak misi, yang pada tahun 1931 kembali ke Sumba dan menangani pekerjaan
secara besar-besaran. Kini (1997) anggota GKS berjumlah kurang lebih 180.000
(hampir 40% dari seluruh penduduk Sumba), sedangkan kedua Gereja Bebas (yang
satu kini bernama Gereja-gereja Reformasi Indonesia-NTT) beranggotakan beberapa
ribu orang. Orang Katolik Roma di Sumba berjumlah 65.000 orang pada
tahun 1990.[13]
Kesimpulan
Gereja Kristen Sumba(GKS) adalah lembaga gerejawi yang berkarya di Pulau Sumba, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pelayanan GKS meliputi
empat Kabupaten yang ada di Sumba, yaitu: Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. GKS berdiri sendiri pada tanggal 15 Januari 1947
setelah melewati beberapa periode, yakni: periode perintisan (1881-1902),
periode peletakan dasar (1902-1947) dan periode berdiri sendiri (1947). Gereja Kristen Sumba adalah hasil pekabaran Injil dari Zending GKN (Gereformeerde
Kerken in Nederland) yang dmulai sejak tahun 1881. dalam perkembangan setelah
berdiri sendiri, GKS mengalami berbagai dinamika dalam karya pelayanan
di Sumba.
Dinamika pelayanan tersebut mulai dari tahap
mencari bentuk (1947-1972), tahap penyusunan rencana pendewasaan (1970-an),
tahap pekabaran Injil dan berbenah diri (1980-1990) hingga mengalami
pertumbuhan sampai sekarang ini. Sebagai gereja yang lahir hasil dari pekabaran
Injil gereja dari Belanda (GKN) yang bercorak/azas Calvinis, maka GKS mewarisi
corak/azas Calvinis. Dalam menjalankan Organisasi gerejawinya, GKS menerapkan
sistim pemerintahan Prebiterial Sinodal dimana melalui sistim ini pada satu
sisi memberi penekanan kepada Majelis Jemaat (Jemaat setempat) dan di sisi lain
menekankan kebersamaan antar jemaat se-GKS melalui peran Sinode GKS.
[1] Th. Van
den End, Ragi Carita 2 Sejarah
Gereja di Indonesia. 1500-1860., (Jakarta
: BPK Gunung Mulia, 208), hlm 262
[2] F. D Wellem, Injil dan Merapu, (Jakarta: Gunung
Mulia, 2004 Cet. 1), hlm 126-130
[3] Ibid., hlm
130-131
[4] Op.Cit., Th. Van
den End., hlm 262
[5] F. D Wellem, Injil dan Merapu, hlm 136
[6] J. J. Van Alphen, “lets
over de bewoners van Soemba” dalam F. D Wellem, Injil dan Merapu, hlm 137
[7] F. D Wellem, Injil dan Merapu, hlm 138
[8] F. D Wellem, Injil dan Merapu,hlm 136
[9] Op.Cit., Th. Van den End., hlm 263
[10] Ibid., hlm 264
[11] Ibid., hlm 265
[12] Ibid., hlm 266
[13] Ibid., hlm 267-268
tidak mudah melakukan pekabaran Injil di Indonesia timur
ReplyDeleteamiinn
ReplyDeletesaya dari STT Nusantara salatiga, mendapat Tugas untuk mempresentsikan Gereja Kristen Sumba, Web ini sangat sangat membantu.
ReplyDeletebahas sejarah tentang Gereja Bebas, sangat semabarang dan sembronno, upayakan kalau membahas gereja yg bukan gereja Anda, harus berkomunikasi dgn gerja yang bersangkatun, sehingga mendapat data yag akurat, dan tidak bicara sembarang... anda dapat data dari mana sehingga anda berani menyatakan seperti itu tentang sejarah Gereja - Gereja Bebas Sumba Timur... datang ke Gereja Bebas dan lakukan Dikusi supaya anda tau dengan baik... jagn asbun
ReplyDelete